Wuhan. Kabarmu.tiongkok.org. Seperti biasanya setiap Jumat malam, Ngaji bareng diadakan oleh mahasiswa Indonesia di CCNU. Diawali dengan membaca Al Qur’an bersama-sama disambung dengan kultum. Setiap minggu yang menyampaikan materi bergantian. Dan semua jamaah yang hadir pasti akan mendapatkan kesempatan. Pada 12 April 2019, mahasiswa asal kota Malang, Jawa Timur yang sedang mendalami bahasa Mandarin di CCNU yang akrab dipanggil Jilly mengangkat topik yang sangat menarik, yakni: tren hijrah.
Ia menyampaikan kata “hijrah” telah mengalami perluasan makna. Kini kata itu bermakna mengajak para pemuda pemudi untuk "bertaubat", karena menurut anak muda sekarang kata "taubat" terkesan terlalu menyeramkan, akhirnya mengajak dengan kata yang lebih halus, yaitu "hijrah".
Menurutnya, membahas hijrah terkadang membuatnya merasa serba salah untuk mengeluarkan pendapat, karena tren hijrah ini semacam menciptakan standar tersendiri tentang batas identitas keagamaan. Ada dua hal yang ia paparkan secara kritis. Pertama, ketika hijrah dimaknai bahwa perempuan harus memakai jilbab panjang syar’i, dan jika ia pria maka memakai celana cingkrang. Manakala dulu memakai jeans, sekarang pakai kulot, langsung dibilang "eh udah hijrah ya?" dan jika berniqab dirasa menjadi puncak keberhasilan hijrah. Menurut mahasiswa lulusan Universitas Machung ini bahwa mereka merasa melakukan sesuatu yang religius tapi jika lihat praktiknya lebih ke lifestyle. (Ada perpindahan nilai yaitu nilai keren yang datang bersama hijrah) terutama dari tampilan seseorang dan akhirnya orang menjadi sibuk mengategorikan keimanan seseorang dari luarnya saja.
Ia menyayangkan mereka yang katanya berhijrah namun justru sibuk menilai orang lain yang menurutnya tidak lebih baik darinya.
“Terkadang ada orang yang sibuk mengomentari perubahan seseorang, sedangkan dirinya tidak ada perubahan. Yang buruknya lagi, kalau dia lebih mengerti aturan-aturan agama, tapi tidak betul-betul memahami jadi tidak diaplikasikan. Padahal baiknya kita mulai dari hal-hal kecil saja seperti makan minum baiknya duduk, pakai tangan kanan, jaga omongan, jaga sikap. Karena perubahan-perubahan kecil seperti ini nantinya bisa jadi perubahan besar”.
Menurut mahasiswa yang punya nama lengkap Jelita Pekerti ini memang banyak yang berhenti sampai hijrah fisik atau penampilan saja.
“Ya bagus, positif, tapi itu belum masuk ke dalam inti hijrah. Jadi hijrah bukan hanya sekedar mengubah gaya hidup atau mengubah gaya berpakaian saja. Tapi hijrah yang bener juga yang menjadikan sikap atau perilaku menjadi lebih baik. Dan hal itu bisa dilakukan kalau kita mampu membekali penghijrahan kita dengan ilmu dan mengimplementasikan ke amal sehari hari.”
Lebih jauh ia menyampaikan” hijrah memang gampang, tapi istiqomah yang susah. Intinya, manusia tidak ada yang sempurna. Keadaan setiap orang berbeda-beda, jadi tiap orang pun punya proses dan jalan masing-masing untuk berusaha menjadi lebih baik. Dan orang-orang pun tidak berhak untuk menjudge seseorang dengan melakukan labelling atas nama hijrah. Jadi, berhijrahlah senyamannya. Jangan menjadikan hijrah cuma sekedar tren saja.” imbuhnya.
Dalam kultumnya ia menyebutkan hal kedua yang perlu mendapat sorotan adalah penyebar luasan pemahaman Islam yang sangat mudah dikonsumsi karena ustadz/dzah yang sudah viral dan banyak follower di medsos, jadi pemahaman keagamaan yang seharusnya tumbuh bersama dengan kedewasaan kita, keluasan berpikir, kemampuan bermasyarakat itu direduksi menjadi sesuatu yang cuma wajib/tidak halal/haram. Jadinya agama itu menjadi sesuatu yang kering dari etika. Mudah dikonsumsi.
Ia menutup kultumya dengan ajakan untuk melalukan hijrah kemanusiaan. “Jadi menurut saya yang tidak kalah penting ya hijrah kemanusiaan, apasih sebenarnya barometer orang beragama (apapun agamanya) jika benar-benar beriman/bertaqwa? itu adalah dari sikap kemanusiaan, jadi coba keluar dan mengenal teman yg beragama lain etnis gender/seksualitas lainnya, dan terus saja mempraktekkan yang katanya Islam rahmatan lil alamin itu kepada mereka semua ini (lebih sulit daripada membeli hijab/kulkas halal) jadi menurutku itu yang harus dilakukan kalo memang hijrah kembali kepada internal kejiwaan kita dan menumbuhkan lagi rasa kemanusiaan kita terhadap sesama.”
Lebih lanjut menanggapi apa yang disampaikan Jilly, Arum Priadi, mahasiswa program doctoral pada school of foreign languages, sebagai pemateri kedua menyampaikan tentang pentinganya mengintegrasikan hijrah kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dengan tigal hal pertama, menghindari hujatan/cacian/ujaran kebencian (bullying, hate speech), kedua. menjauhkan diri dari prasangka buruk ketiga. menghargai perbedaan sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. Al-Hujurat 11-13 tentang akhlak terhadap sesama manusia dalam pergaulan sehari-hari.
Maraknya ujaran kebencian di media sosial akhir-akhir ini telah menimbulkan kecemasan dan ketakutan bagi penggunanya. Tak jarang netizen (sebutan untuk para pengguna media sosial) terusik kehidupan pribadinya karena imbas yang dirasakan tidak sekedar siksaan batin atau psikisnya namun juga siksaan fisik bahkan berujung kematian. Bullying dan hate speech dilakukan secara verbal dan non-verbal/fisik dengan menggunakan kata-kata, kalimat-kalimat dan perbuatan kasar untuk merendahkan atau melecehkan dan mengintimidasi korbannya sehingga mereka mengalami luka traumatic jangka panjang. Kejadian tersebut biasanya berawal dari candaan atau saling mengolok-olok kekurangan atau kelemahan dari situasi yang sedang dialami oleh lawan bicara. Merasa tidak cukup hinaan dan makian di dunia maya, pertikaian berlanjut ke dunia nyata.
Kondisi seperti ini memungkinkan korban merespon dengan perilaku serupa atau dengan tindakan yang lebih ekstrim untuk melampiaskan dendamnya. Korban yang rapuh mentalnya akan cenderung tertutup, tidak percaya diri dan penakut karena merasa kekurangan yang melekat pada dirinya melebihi energi positifnya (potensi). Jika tidak mendapat treatment (perlakuan) yang tepat dari lingkungan sekitarnya (orang tua/kerabat/guru/tokoh/teman/masyarakat/sekolah), dampak terburuk baik dari pelaku maupun korban bullying dan hate speech kerap terjadi, misal; melukai bahkan menghilangkan nyawa diri sendiri atau orang lain, seperti yang terjadi pada seorang korban siswi SMP berusia empat belas tahun oleh dua belas pelaku siswi SMA di Kota Pontianak beberapa waktu lalu karena pertikaian di media sosial yang berujung penganiayaan (http://pontianak.tribunnews.com/2019/04/08).
Arum menegaskan pentingnya mengambil hikmah dari Al Hujrat ayat 11-13. “Oleh karena itu, Islam mengajarkan akhlak berinteraksi dengan orang lain yang sekaligus menjadi solusi atas konflik horizontal dalam kehidupan bermasyarakat. Allah mengingatkan umatnya dalam Al Quran Surat Al Hujrat 11 untuk tidak saling mengolok-olok dan merendahkan harga diri orang lain karena bisa jadi korban lebih baik dari pelaku bullying dan hate speech. Karena termasuk perbuatan dholim, Allah menyuruh para pelaku nya untuk bertaubat. Ayat selajutnya Allah menegaskan para hambaNYA untuk selalu berprasangka baik (Q.S. Al_Hujrat 12) dan menghargai perbedaan (Q.S. Al_Hujurat 13). Perumpamaan orang yang gemar menggunjing dan mencari-cari kesalahan orang lain tak ubahnya seperti memakan mayat saudaranya sendiri. Di samping itu perbedaan adalah bagian dari Sunnatullah karena Allah menciptakan perbedaan sehingga umat manusia harus menyikapi perbedaan tersebut dengan sikap saling menghargai agar dengan perbedaan itu dapat tercipta kerukunan dengan saling mengenal satu sama lain.
Di akhir pembahasan, pemateri menghimbau untuk bersama-sama memaknai hijrah kemanusiaan dengan saling menunjukkan akhlaqul karimah. [] sumber tulisan: kultum Jelita Pekerti dan Arum Priadi.
Ia menyampaikan kata “hijrah” telah mengalami perluasan makna. Kini kata itu bermakna mengajak para pemuda pemudi untuk "bertaubat", karena menurut anak muda sekarang kata "taubat" terkesan terlalu menyeramkan, akhirnya mengajak dengan kata yang lebih halus, yaitu "hijrah".
Menurutnya, membahas hijrah terkadang membuatnya merasa serba salah untuk mengeluarkan pendapat, karena tren hijrah ini semacam menciptakan standar tersendiri tentang batas identitas keagamaan. Ada dua hal yang ia paparkan secara kritis. Pertama, ketika hijrah dimaknai bahwa perempuan harus memakai jilbab panjang syar’i, dan jika ia pria maka memakai celana cingkrang. Manakala dulu memakai jeans, sekarang pakai kulot, langsung dibilang "eh udah hijrah ya?" dan jika berniqab dirasa menjadi puncak keberhasilan hijrah. Menurut mahasiswa lulusan Universitas Machung ini bahwa mereka merasa melakukan sesuatu yang religius tapi jika lihat praktiknya lebih ke lifestyle. (Ada perpindahan nilai yaitu nilai keren yang datang bersama hijrah) terutama dari tampilan seseorang dan akhirnya orang menjadi sibuk mengategorikan keimanan seseorang dari luarnya saja.
Ia menyayangkan mereka yang katanya berhijrah namun justru sibuk menilai orang lain yang menurutnya tidak lebih baik darinya.
“Terkadang ada orang yang sibuk mengomentari perubahan seseorang, sedangkan dirinya tidak ada perubahan. Yang buruknya lagi, kalau dia lebih mengerti aturan-aturan agama, tapi tidak betul-betul memahami jadi tidak diaplikasikan. Padahal baiknya kita mulai dari hal-hal kecil saja seperti makan minum baiknya duduk, pakai tangan kanan, jaga omongan, jaga sikap. Karena perubahan-perubahan kecil seperti ini nantinya bisa jadi perubahan besar”.
Menurut mahasiswa yang punya nama lengkap Jelita Pekerti ini memang banyak yang berhenti sampai hijrah fisik atau penampilan saja.
“Ya bagus, positif, tapi itu belum masuk ke dalam inti hijrah. Jadi hijrah bukan hanya sekedar mengubah gaya hidup atau mengubah gaya berpakaian saja. Tapi hijrah yang bener juga yang menjadikan sikap atau perilaku menjadi lebih baik. Dan hal itu bisa dilakukan kalau kita mampu membekali penghijrahan kita dengan ilmu dan mengimplementasikan ke amal sehari hari.”
Lebih jauh ia menyampaikan” hijrah memang gampang, tapi istiqomah yang susah. Intinya, manusia tidak ada yang sempurna. Keadaan setiap orang berbeda-beda, jadi tiap orang pun punya proses dan jalan masing-masing untuk berusaha menjadi lebih baik. Dan orang-orang pun tidak berhak untuk menjudge seseorang dengan melakukan labelling atas nama hijrah. Jadi, berhijrahlah senyamannya. Jangan menjadikan hijrah cuma sekedar tren saja.” imbuhnya.
Dalam kultumnya ia menyebutkan hal kedua yang perlu mendapat sorotan adalah penyebar luasan pemahaman Islam yang sangat mudah dikonsumsi karena ustadz/dzah yang sudah viral dan banyak follower di medsos, jadi pemahaman keagamaan yang seharusnya tumbuh bersama dengan kedewasaan kita, keluasan berpikir, kemampuan bermasyarakat itu direduksi menjadi sesuatu yang cuma wajib/tidak halal/haram. Jadinya agama itu menjadi sesuatu yang kering dari etika. Mudah dikonsumsi.
Ia menutup kultumya dengan ajakan untuk melalukan hijrah kemanusiaan. “Jadi menurut saya yang tidak kalah penting ya hijrah kemanusiaan, apasih sebenarnya barometer orang beragama (apapun agamanya) jika benar-benar beriman/bertaqwa? itu adalah dari sikap kemanusiaan, jadi coba keluar dan mengenal teman yg beragama lain etnis gender/seksualitas lainnya, dan terus saja mempraktekkan yang katanya Islam rahmatan lil alamin itu kepada mereka semua ini (lebih sulit daripada membeli hijab/kulkas halal) jadi menurutku itu yang harus dilakukan kalo memang hijrah kembali kepada internal kejiwaan kita dan menumbuhkan lagi rasa kemanusiaan kita terhadap sesama.”
Lebih lanjut menanggapi apa yang disampaikan Jilly, Arum Priadi, mahasiswa program doctoral pada school of foreign languages, sebagai pemateri kedua menyampaikan tentang pentinganya mengintegrasikan hijrah kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dengan tigal hal pertama, menghindari hujatan/cacian/ujaran kebencian (bullying, hate speech), kedua. menjauhkan diri dari prasangka buruk ketiga. menghargai perbedaan sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. Al-Hujurat 11-13 tentang akhlak terhadap sesama manusia dalam pergaulan sehari-hari.
Maraknya ujaran kebencian di media sosial akhir-akhir ini telah menimbulkan kecemasan dan ketakutan bagi penggunanya. Tak jarang netizen (sebutan untuk para pengguna media sosial) terusik kehidupan pribadinya karena imbas yang dirasakan tidak sekedar siksaan batin atau psikisnya namun juga siksaan fisik bahkan berujung kematian. Bullying dan hate speech dilakukan secara verbal dan non-verbal/fisik dengan menggunakan kata-kata, kalimat-kalimat dan perbuatan kasar untuk merendahkan atau melecehkan dan mengintimidasi korbannya sehingga mereka mengalami luka traumatic jangka panjang. Kejadian tersebut biasanya berawal dari candaan atau saling mengolok-olok kekurangan atau kelemahan dari situasi yang sedang dialami oleh lawan bicara. Merasa tidak cukup hinaan dan makian di dunia maya, pertikaian berlanjut ke dunia nyata.
Kondisi seperti ini memungkinkan korban merespon dengan perilaku serupa atau dengan tindakan yang lebih ekstrim untuk melampiaskan dendamnya. Korban yang rapuh mentalnya akan cenderung tertutup, tidak percaya diri dan penakut karena merasa kekurangan yang melekat pada dirinya melebihi energi positifnya (potensi). Jika tidak mendapat treatment (perlakuan) yang tepat dari lingkungan sekitarnya (orang tua/kerabat/guru/tokoh/teman/masyarakat/sekolah), dampak terburuk baik dari pelaku maupun korban bullying dan hate speech kerap terjadi, misal; melukai bahkan menghilangkan nyawa diri sendiri atau orang lain, seperti yang terjadi pada seorang korban siswi SMP berusia empat belas tahun oleh dua belas pelaku siswi SMA di Kota Pontianak beberapa waktu lalu karena pertikaian di media sosial yang berujung penganiayaan (http://pontianak.tribunnews.com/2019/04/08).
Arum menegaskan pentingnya mengambil hikmah dari Al Hujrat ayat 11-13. “Oleh karena itu, Islam mengajarkan akhlak berinteraksi dengan orang lain yang sekaligus menjadi solusi atas konflik horizontal dalam kehidupan bermasyarakat. Allah mengingatkan umatnya dalam Al Quran Surat Al Hujrat 11 untuk tidak saling mengolok-olok dan merendahkan harga diri orang lain karena bisa jadi korban lebih baik dari pelaku bullying dan hate speech. Karena termasuk perbuatan dholim, Allah menyuruh para pelaku nya untuk bertaubat. Ayat selajutnya Allah menegaskan para hambaNYA untuk selalu berprasangka baik (Q.S. Al_Hujrat 12) dan menghargai perbedaan (Q.S. Al_Hujurat 13). Perumpamaan orang yang gemar menggunjing dan mencari-cari kesalahan orang lain tak ubahnya seperti memakan mayat saudaranya sendiri. Di samping itu perbedaan adalah bagian dari Sunnatullah karena Allah menciptakan perbedaan sehingga umat manusia harus menyikapi perbedaan tersebut dengan sikap saling menghargai agar dengan perbedaan itu dapat tercipta kerukunan dengan saling mengenal satu sama lain.
Di akhir pembahasan, pemateri menghimbau untuk bersama-sama memaknai hijrah kemanusiaan dengan saling menunjukkan akhlaqul karimah. [] sumber tulisan: kultum Jelita Pekerti dan Arum Priadi.