Kabar Mu Tiongkok
Temukan Kami di Sosial Media :
  • Beranda
  • Berita
  • Wawasan
  • Risalah Netizen
    • Refleksi Netizen
    • Reportase Netizen
    • Opini Netizen
    • Romadhan di Tiongkok
    • GongXi-Tiongkok
  • Aktivitas
    • School Of Journalism
    • Agenda
    • Lomba Foto >
      • form-lomba-foto
      • Poling Lomba Foto
    • Polling Puisi Favorite >
      • Puisi Favorite 2018
    • Polling
    • Lomba Ramadhan >
      • Pemenang Lomba
      • Polling Video-Favorite
  • Tamadun
    • Karya Fiksi
    • Galeri Foto
    • Karya Video
    • Karya Puisi
    • Kantin Kartini
  • Kontak Kami
  • Organisasi
  • Muhibah Ukuwah
    • NANJING >
      • Poling Lomba Foto Nanjing
      • Foto Ukuwah Nanjing
    • HANGZHOU >
      • Pooling Lomba Foto Hangzhou
      • Foto Ukhuwah Hangzhou
    • SHANGHAI >
      • Foto Ukhuwah Shanghai
  • Tiongkonomi
  • Kemitraan
    • UHAMKA - Pengantar TI
    • UHAMKA - Etika Profesi
    • UHAMKA - Digital Sistem
    • UHAMKA - Praktikum Digital

Spirit Zheng He, Syiar Islam, dan Diplomasi Global

17/5/2019

0 Comments

 
Picture

Spirit Zheng He, Syiar Islam, dan Diplomasi Global

Oleh: Nanang Zulkarnaen
Baru-baru ini dalam grup WeChat, sekretaris PRIM Nanjing menuliskan pesan: “Insya Allah tanggal 19 Mei (2019-red) PRIM Nanjing berkolaborasi dengan HK Nanjing akan mengadakan pengajian ramadhan”. Dani Fadillah, nama sekretaris itu, menyebut dua pembicara yang akan tampil: (1). Assoc. Prof. Dr. Muchlas, M.T. (Ketua MPI PP Muhammadiyah, Wakil. Rektor I UAD Yogyakarta); dan (2) Ir. Endy Sjaiful Alim, M.Sc. (Ketua PCIM Tiongkok, Dosen UHAMKA Jakarta). Kegiatan ini juga merupakan rangkaian kegiatan pra-musyawarah cabang PCIM Tiongkok yang puncaknya akan dilaksanakan di Beijing pada bulan September yang akan datang.

Tulisan ini adalah ucapan selamat datang kepada dua pembicara di atas. Karena mereka berdua berkenan mengunjungi Kota Nanjing. Sebuah kota di Tiongkok yang sangat erat dengan sejarah sosok Zheng He (di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan laksamana Cheng ho). Zheng He pernah mengajukan permohonan renovasi masjid Jingjue Nanjing sebelum melakukan tujuh ekspedisi pelayarannya yang terkenal sehingga luas masjid melebihi 26.000 m2. Kabar tersebut terpampang pada tembok timur areal kompleks masjid. Persis di sekitar pintu masuk. Dalam kompleks masjid, koleksi peninggalan Zheng He juga disimpan rapi di satu bangunan museum.


Spirit Zheng He

Zheng He adalah legenda besar China (Zhao and Gui-Fen 2005), sukses memimpin armada laut China dalam tujuh kali pelayaran sejak 1405 sd. 1433, mengunjungi lebih dari 30 negeri di dunia dalam promosi ekonomi dan budaya China, dengan pola hubungaan yang mesra. Zheng He dilahirkan dari keluarga muslim dan berpartisipasi dalam banyak aktivitas agama islam di China. Pelayaran Zheng He di samping berpengaruh dalam perkembangan islam, juga menjadi bagian dari pertukaran budaya antara China dan Asia Tenggara  (Kong 2006). Alasan rasionalnya dapat di telusuri dari cerita rakyat dan jejak historis asli yang banyak terdapat di luar negara China. Di samping membangun masjid dan mendesiminasikan islam di Asia tenggara, dalam pelayarannya, Zheng He juga menyatukan dan mengorganisasikan muslim China di Asia Tenggara yang sudah menetap lebih dulu akibat migrasi sebelumnya. Merekalah yang turut menyebarkan islam ke penduduk lokal di semenanjung Malaysia dan kepulauan Indonesia (Liao 2005).

Sejarah kedatangan Zheng He ke Indonesia disebut Cak Nun, budayawan Indonesia yang namanya mentereng itu, sebagai upaya “silaturahmi”. Informasinya bisa didengar dan dilihat di laman Youtube yang menyiarkan acara penggajian Maiyahnya. Kunjungan Zheng He yang dilakukan beberapa kali itu, lanjut Cak Nun, menjadi bukti bahwa Zheng He bisa diterima masyarakat Indonesia zaman dulu. Berbeda dengan kedatangan beberapa negara Eropa dan Jepang. Alih-alih silaturahmi, kedatangan mereka malah menguras sumber daya bumi Indonesia dengan corak penjajahannya yang menyengsarakan.

Jika dulu Zheng He melakukan rihlah dari China ke Indonesia, sebaliknya bagi Pak Muchlas,  Beliau datang dari Indonesia mengunjungi China. Jika dalam muhibahnya Zheng He tak luput mengorganisasikan muslimin China dalam penyebaran islam seperti disebut dalam paper Liao di paragraph atas, sama halnya dengan Pak Muchlas. Dalam silaturahminya kali ini, di samping melakukan kerja sama dengan beberapa institusi pendidikan China di Nanjing, Pak Muchlas juga akan menyapa pelajar dan masyarakat muslim Indonesia yang sudah lebih dulu datang di kota ini. Misalnya, menyapa warga Indonesia dalam acara Ngaji sambil ngabuburit, kolaborasi PRIM dengan HK.


Syiar Islam di Nanjing

Sebagai basa basi ucapan selamat datang, kepada dua tamu istimewa yang akan menjadi pembicara, penulis ingin menceritakan syiar islam yang sudah berjalan di kalangan masyarakat Indonesia di Nanjing. Apa yang sudah diupayakan oleh HK akan diutarakan lebih awal, disusul upaya lainnya yang telah dan akan dilakukan oleh PRIM Nanjing.

HK, kependekan dari Husnul Khotimah, adalah salah satu komunitas masyarakat muslim di Nanjing. Selain menghimpun pelajar, HK juga mengakomodir warga muslim Indonesia lainnya. Kehadirannya merupakan buah dari semangat muslimin muslimat untuk berkumpul. Cara mereka mengurangi kejenuhan dan memupus kerinduan akan kampung halamannya yang selalu kerap datang. Dengan acara kumpul itu, syiar islam lambat laun dihidup-hidupkan.

Semaraknya syiar islam HK salah satunya ditentukan oleh hitungan beratus-ratus jamaah. Jamaah HK dipengaruhi oleh gelombang kedatangan mahasiswa Indonesia dalam jumlah yang besar. Seperti datangnya banyak mahasiswa Indonesia ke China yang ternaungi dalam program Seamolec. Tentu dengan juga memperhitungkan mahasiswa lainnya yang datang secara sendiri- sendiri. Dalam menempuh studinya, mereka mendominasi strata diploma dan sarjana. Data sensus terakhir menunjukkan,  jumlah pelajar  Indonesia  di Nanjing mencapai lebih dari 700 orang. Mayoritas pelajar didominasi oleh muslimin/muslimat. Inilah yang menjadi alasan kenapa HK tetap dipertahankan. Menjaga syiar islam di kalangan musimin  muslimat Nanjing yang dominan itu, agar tidak redup.

Sejak tahun 2015 HK memperkuat organisasinya dengan menunjuk ketua dan perangkat pendukungnya. Dengan durasi kepemimpinan yang hanya setahun, hingga sekarang, HK telah melahirkan jumlah ketua terpilih lebih dari tiga orang. Puluhan orang perangkat organisasi dalam tiap periodenya telah mengupayakan syiar islam mengumandang ke seantero Nanjing. Semuanya diihtiarkan sedemikian rupa untuk menjaga rasa keislaman muslimin muslimat Nanjing. Keberadaan HK juga terpengaruh oleh gelombang kedatangan program 300 doktor Jawa Barat. Dan keterlibatan beberapa orang mahasiswa tugas belajar dari program tersebut sejak tahun 2015, semakin menguatkan organisasi HK dalam menghidup-hidupkan syiar islam di Nanjing.


Menyebut gelombang kedatangan mahasiswa bukan dalam konteks mengungkit. Khawatir dengannya malah merusak kemurnian niat para pelaku dalam beramal:  men-syiarkan islam. Penyebutannya  tidak  lebih  ditujukan  untuk  menyokong  dan  menegaskan  bahwa  gelombang kedatangan mahasiswa muslim Indoneisa memberikan warna bagi berkembangnya syiar islam di Nanjing. Seperti juga gelombang kedatangan para dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang di kemudian hari, perannya dalam menyemarakkan syiar Islam, menjadi fakta baru yang tak terbantahkan. Kenapa? Karena gelombang kedatangan para dosen UAD ini telah memantapkan berdirinya ranting baru dari PCIM Tiongkok yang berkedudukan di Wuhan. Itulah PRIM Nanjing, yang oleh sang ketua dipopulerkan dengan nama lain yang maknanya mirip : PCIM Tiongkok regional Nanjing !.

Demikian syiar islam di Nanjing, menggema dan nampaknya akan terus diupayakan magmanya oleh para aktivis muslim yang peduli. Melalui  musyawarah ranting yang telah lalu misalnya, PCIM Tiongkok regional Nanjing telah menyiapkan beberapa agenda. Dan akan dieksekusi beberapa saat lagi. Seperti aksinya yang akan dilakukan di tanggal 19 Mei 2019 serta rangkaian kegiatan lain yang menyertai sebelum dan sesudahnya. Ya, syiar islam yakin akan menggema. Terlebih di luar dua organisasi yang disebut di atas, kami juga punya banyak saudara muslim lainnya yang mengupayakan hal sama dengan bendera berbeda. Sekedar menyebut contoh, Nahdatul Ulama cabang Tiongkok juga telah menginisiasi sayap barunya di Nanjing. Dan akhirnya fastabiqul khoirot, berlomba-lomba dalam kebaikan. Kelak semua upaya muslimin/muslimat Nanjing tersebut pada gilirannya dapat menjaga lilin syiar islam agar tidak padam, bukan hanya beberapa tahun tapi diharapkan bisa terus terjadi selamanya. Lebih jauh dengan banyaknya aktivis muslim yang tersebar di Tiongkok, dengan atau tanpa keterikatannya dengan organisasi massa yang sudah besar di Indonesa, syiar islam di kalangan masyarakat Indonesia di Tiongkok diharapkan akan semakin moncer.

Diplomasi Global China

Yang dilakukan Zheng He di zaman perahu layar dan Pak Muchlas di era globalisasi dunia sekarang adalah gambaran nyata dari bentuk hubungan China Indonesia, dan sebaliknya. Hubungan kedua negara, dalam amatan saya, tetap ada jalinannya di segala bidang yang dari dulu hingga saat sekarang, namun juga diwaspadai banyak kalangan dengan stigma negatif. Saya ingin menghadirkan contoh kasus yang relatif baru, yakni terealisasinya kerja sama kereta api cepat Jakarta-Bandung yang tendernya dimenangkan oleh perusahaan dari China. Keberhasilan ini bahkan diharapkan Ridwan kamil, Gubernur Jawa Barat, untuk dapat diteruskan sejauh 60 km ke arah Bandara Kertajati di kawasan special economic zone  REBANA. Bandara baru di Propinsi Jawa Barat  yang masih sepi  dengan  akses  yang belum memadai jika dibandingkan  dengan infrastruktur menuju bandara Soekarno Hatta di Tangerang atau Husen Sanstranegara di jantung kota Bandung. Bagi saya, dengan fenomena ini saja mustahil jika hubungan Indonesia-China tidak terus terjalin. Tapi bahwa banyak orang Indonesia yang mencibir asing dan aseng adalah kenyataan yang turut mewarnai pasang surut hubungan itu. Lebih-lebih jika trauma faham komunis, yang menjadi momok, turut di sematkan.

Baru-baru ini hubungan China ke negara luar, termasuk Indonesia, lebih digaungkan lagi dalam bingkai Belt and Road initiative (BRI). Di pertengahan tahun 2013 Presiden Tiongkok Xi Jinping menginisiasi “The Silk Road Economic Belt” yang ia dilontarkan pertama kali di Kazakhstan. Berselang sebulan ia meluncurkan konsep “The 21st Century Maritime Silk Road” [Szczudlik-Tatar 2015: 1–2], yang diucapkan pada kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Presiden Tiongkok ini tengah mengembangkan visi besar  pembangunan  seiring  menguatnya  perkembangan  ekonomi  China.  Hingga  saat  ini  China  bisa membayang-bayangi posisi Amerika yang masih menjadi raja. BRI menjadi ambisi ekonomi internasional China terbesar yang bertujuan untuk menstimulasi pembangunan ekonomi regional di Asia, Eropa dan Africa. Mencakup sebanyak 64% jumlah populasi penduduk dunia dan 30% Gross Domestic Product (GDP) dunia. Elemen kerja sama BRI , di samping mempromosikan kerja sama antar-pemerintah, juga memperkuat konektivitas kawasan; perdagangan bebas; integrasi kerja sama keuangan; dan hubungan people-to-people (Yiping Huang.,2016). BRI ditujukan untuk mempromosikan kerja sama sosial-ekonomi antar Negara sepanjang Belt and road ketimbang hanya membangun jalan, jalur kereta dan pelabuhan (Bojie Fu, 2016). Namun bagi Asia tenggara, BRI di samping memiliki banyak peluang dan juga dihadapkan dengan dilemma (Khanindra Ch Das. 2017). Misalnya seperti yang dikemukakan (Yiping Huang, 2016) yang menyebut hambatan BRI berupa lemahnya mekanisme koordinasi, potensi pertentangan karena beda penguasa politik, dan kemampuan finansial proyek lintas batas.

Dalam diplomasi global, keagamaan adalah entitas yang patut dipertimbangkan, demikian Xu Yihua (2015) dalam papernya yang berjudul Religion and China’s Public Diplomacy in the Era of Globalization. Professor dari Fudan university ini menyebut bahwa religios public diplomacy (faith diplomacy) yang menghimpun tiga kekuatan yakni kelompok agama, akademisi dan pemerintah patut dipertimbangkan China dalam menjalin hubungan luar negerinya di era global.

Penutup

Pada tanggal 19 Mei 2019, Pak Muchlas dan Pak Endy akan hadir mewakili Muhammadiyah, organisasi besar yang pengalamannya telah teruji jauh sebelum Indonesia merdeka dan telah memiliki asset ratusan triliun rupiah bukan saja di Indonesia tapi juga di Negara tetangga.  Kepada dua orang pembicara tersebut, setelah mengucapkan “selamat datang di Nanjing”, sebagai penutup, penulis juga menitip harap dan mengajukan tanya. Pertama, semoga upaya Pak Muchlas mewakili institusi Muhammadiyah dapat semakin mempererat hubungan dua Negara sekaligus mencairkan stigma negatif yang selama ini berkembang. Kecuali yang bersifat tujuan ukhrowi, kepentingan pragmatis para pelajar yang jumlah muslimnya dominan serta tersebar di seantero Tiongkok, adalah penerimaan (atmosfir) Indonesia yang semestinya di tengah kontroversi asing-aseng. Kenapa? Karena dengan adanya stigma negatif yang berkembang ini, boleh jadi dampaknya dapat menghambat reputasi dan harapan para pelajar yang akan kembali ke Indonesia setelah sekian lama mengikuti pepatah arab : Uthlubul ‘ilma walau bisshiin, carilah ilmu walaupun (jauhnya harus sampai) ke negeri China.

​Kedua, menengarai hubungan dua negara di era globalisasi dalam bingkai BRI, dengan segala pro-kontra nya semoga waktu bisa menjawab beberapa pertanyaan ini: (a) apakah Muhammadiyah bisa menjadi jembatan penting dalam membangun peradaban berkemajuan baru dengan merekonstruksi spirit Zheng He?; dan sejauh mana kepentingan rekonstruksi spirit Zheng He bagi kesetaraan harga diri Indonesia di mata China dan juga dengan kesejahteraan masyarakatnya? Jika dengan spirit Zheng He kesetaraan hubungan dua negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia berbuah manis, pertanyaan lanjutannya adalah (b) relevankah jika Muhammadiyah terus mendorong gerakan syiar islam yang dilakukan mahasiswa muslim di Nanjing khususnya dan Tiongkok umumnya hingga dapat berkontribusi menguatkan spirit Zheng He dalam hubungan dua Negara?. Wallohua’lam.[] Nanang Zulkarnaen, Ketua Majelis Pendidikan dan Litbang, PCIM Tiongkok regional Nanjing, sedang menempuh program doctoral di School of Geography Science Nanjing Normal University.
​
Referensi
  1. Bojie  Fu.  2016.  Understanding  China’s  Geography:  Linking  Science  and  Society.  The Geographical Society of China. The 33rd International Geographical Congress di Beijing.
  2. Khanindra Ch Das. 2017. The Making of One Belt, One Road and Dilemmas in South Asia. Sage Journals. Vol 53, Issue 2, 2017
  3. Kong Y. 2006. Zheng He and Islam in Southeast Asia. Southeast Asian Studies.
  4. Liao D. 2005. Zheng He and Chinese Muslims in Southeast Asia. Journal of Jinan University.
  5. Szczudlik-Tatar, J. 2015. “One Belt, One Road”: Mapping China’s New Diplomatic Strategy, “Bulletin PISM”, no. 67 (799).
  6. Xu Yihua. 2015. Religion and China’s Public Diplomacy in the Era of Globalization. Journal Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia) Vol. 9, No. 4
  7. Yiping Huang. 2016. Understanding China's Belt & Road Initiative: Motivation, framework and assessment. China Economic Review Volume 40, September 2016, Pages 314-321.
  8. Zhao GJA, Gui-Fen MA. 2005. Seeing Zheng He and His Navigation Enterprise from the angle of Muslim. Researches on the Hui.
0 Comments



Leave a Reply.

    Picture

    Wawasan

    Memuat berbagai artikel penting dalam ketegori : Keumatan, Kemuhammadiyahan dan Kebangsaan.

    Archives

    December 2020
    October 2020
    September 2020
    August 2020
    October 2019
    July 2019
    June 2019
    May 2019
    November 2018
    October 2018
    September 2018
    May 2018
    December 2017
    July 2017
    May 2017
    April 2017

    Categories

    All
    Kajian Muslimah Wuhan
    Kebangsaan
    Kemuhammadiyahan
    Keumatan
    Muhammadiyah Nanjing
    Muhammadiyah Shanghai
    Muhammadiyah Tiongkok
    Muhammadiyah Wuhan
    PCIMT Shanghai
    PCIMT Wuhan

    RSS Feed

    Didukung Oleh BPTI UHAMKA

BERANDA
BERITA     
WAWASAN
  

REPORTASE NETIZEN
​OPINI NETIZEN
AGENDA
GALERI
POLING ARTIKEL FAVORITE
Flag Counter
Picture
​

PCIM TIONGKOK
kabarmutiongkok.org
Di Dukung Oleh BPTI UHAMKA