Seruan Zakat Fitrah PCIMT bekerjasama dengan PPIT
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Beijing, 24/05/19. Dalam ajaran agama Islam dikenalkan oleh Rasulullah SAW sebagai salah satu rukun Islam setelah syahadat, shalat, puasa dan kewajiban yang satu ini merupakan salah satu kewajiban yang berhubungan dengan Allah SWT tetapi memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh sesama manusia yaitu kewajiban membayar zakat.
Ustadz Taufiq menyampaikan bahwa “yang pertama perlu diingat dalam kewajiban kita membayar zakat adalah sesuai yang sudah digariskan oleh Rasulullah SAW bahwa kewajiban zakat sebagai deretan dari rukun Islam. Rukun Islam merupakan suatu bangunan yang sempurna, dimana keimanan kita atau syahadat kita diibaratkan sebagai pondasinya, tiangnya itu diibaratkan seperti “الصَّلاةُ عِمادُ الدِّينِ” artinya shalat adalah tiang agama. Bangunan itu tidak lengkap jika hanya memiliki tiang saja maka diperlukan lah suatu tembok, tembok tersebut diibaratkan sebagai amalan kita yaitu ibadah puasa karena puasa itu “الصِّيَامُ جُنَّةٌ” yang artinya puasa itu dinding atau perisai, kemudian kalau rumah itu memerlukan suatu fentilasi atau sirkulasi untuk mendapatkan udara yang sehat dan oksigen yang cukup dan fentilasi itu dapat diibaratkan sebagai Zakat”. “Dalam Al-Qur’an Allah SWT selalu menyebutkan kewajiban shalat yang dibarengi dengan kewajiban membayar zakat, maka sering kali kita mendengar pembacaan ayat suci Al-Quran yang berbunyi “وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ” dalam sekian banyak ayat suci al-quran terdapat lebih dari 80 kali Allah SWT menyampaikan kewajiban kita dalam membayar zakat setelah menunaikan kewajiban shalat”, imbuh Ustadz Taufiq Da’I Ambassador Dompet Dhu’afa-Indonesia.
Ustadz Taufiq menyampaikan bahwa “yang pertama perlu diingat dalam kewajiban kita membayar zakat adalah sesuai yang sudah digariskan oleh Rasulullah SAW bahwa kewajiban zakat sebagai deretan dari rukun Islam. Rukun Islam merupakan suatu bangunan yang sempurna, dimana keimanan kita atau syahadat kita diibaratkan sebagai pondasinya, tiangnya itu diibaratkan seperti “الصَّلاةُ عِمادُ الدِّينِ” artinya shalat adalah tiang agama. Bangunan itu tidak lengkap jika hanya memiliki tiang saja maka diperlukan lah suatu tembok, tembok tersebut diibaratkan sebagai amalan kita yaitu ibadah puasa karena puasa itu “الصِّيَامُ جُنَّةٌ” yang artinya puasa itu dinding atau perisai, kemudian kalau rumah itu memerlukan suatu fentilasi atau sirkulasi untuk mendapatkan udara yang sehat dan oksigen yang cukup dan fentilasi itu dapat diibaratkan sebagai Zakat”. “Dalam Al-Qur’an Allah SWT selalu menyebutkan kewajiban shalat yang dibarengi dengan kewajiban membayar zakat, maka sering kali kita mendengar pembacaan ayat suci Al-Quran yang berbunyi “وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ” dalam sekian banyak ayat suci al-quran terdapat lebih dari 80 kali Allah SWT menyampaikan kewajiban kita dalam membayar zakat setelah menunaikan kewajiban shalat”, imbuh Ustadz Taufiq Da’I Ambassador Dompet Dhu’afa-Indonesia.
Suasana Saat berdo’a Usai Shalat Witir Berjama’ah
(Firmansyah/PCIMT/LPB)
(Firmansyah/PCIMT/LPB)
“Dalam kesempatan ini kewajiban zakat yang berhubungan dengan kewajiban kita di bulan suci Ramadhan yaitu kewajiban kita untuk membayar Zakatul Fitri atau dalam Bahasa indonesia sering disebut sebagai zakat fitrah, tapi dalam teksnya nabi menyampaikan bahwa “زَكاَةُ الْفِطْرِ” atau Zakatul Fitri. Zakat yang berhubungan dengan kesempatan kita setelah puasa itu adalah buka puasa atau dalam bahasa Arabnya “إفْطَار” yang artinya berbuka setelah puasa seharian setelah memasuki waktu magribh, kata “إفْطَار” masih satu akar bahasa dengan “فِطْر” atau artinya berbuka puasa. Zakat yang berhubungan dengan selesainya kewajiban kita berpuasa selama bulan suci Ramadhan yaitu ada kewajiban kita untuk membayar “زَكاَةُ الْفِطْرِ” sebagai pertanda selesai ibadah kita di bulan suci Ramadhan”, tambah Ustadz Taufiq seorang Da’i Ambassador Indonesia.
Suasana Saat Ceramah Oleh Ustadz Taufiq
(Firmansyah/PCIMT/LPB)
(Firmansyah/PCIMT/LPB)
Kemudian Ustadz Taufiq mengatakan bahwa “dalam sabda Rasulullah SAW dari Ibnu Umar RA, dahulu Rasulullah SAW mempraktikkan kepada para sahabat membayar “زَكاَةُ الْفِطْرِ” dengan “أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
”, yang artinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. Sha’ itu artinya suatu ukuran atau wadah, di zaman Nabi Muhammad SAW satu sha’ itu “مِنْ تَمْرٍ” atau dalam bentuk kurma dan “أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ” atau satu sha’ dalam bentuk makanan pokok yaitu gandum, jadi pada zaman Nabi Muhammad SAW membayar zakat itu dengan gandum atau kurma. Tapi para ulama kemudian membuat suatu kiasan atau persamaan tentang membayar zakat, ketika dulu orang Arab makanan pokoknya ialah gandum tapi bagi orang Indonesia yang makanan pokoknya adalah beras maka bagi orang Indonesia untuk membayar zakat fitrah dipersamakan dengan menggunakan beras. Berapa ukurannya? Satu sha’ kalau dilihat ukurannya saat ini kemungkinan besar satu wadah itu 3,5liter beras atau sekitar 2,5 kg jika ingin digenapkan menjadi 3kg. Menurut madzhab Imam Syafi’i yang dianut oleh warga indonesia atau secara umum di wilayah Asia Tenggara membayar zakat fitrah itu harus dengan makanan pokoknya dan kalau itu dilaksanakan secara murni atau mutlak dilakukan seperti halnya madzhab Imam Syafi’i berarti kita membayar zakat harus dengan beras. Tapi kemudian para Ulama mengambil pendapat madzhab lain yaitu dalam madzhab Hanafi diperbolehkan bayar zakat itu dengan “dikimatihi” atau seharga yang seharusnya dia tunaikan, jadi 3,5 liter jika harga 1 liternya Rp 10.000,- maka zakat yang ditunaikan sebesar Rp 35.000,- atau seharga beras yang biasa dia konsumsi. Kita boleh mengikuti madzhab yang lain selama masih ada dasar hukumnya, karena zakat fitrah itu konsentrasinya agar fakir miskin ketika lebaran masih bisa menikmati hari lebaran itu dengan makanan yang cukup dan kalau kita membayar zakatnya hanya dengan menggunakan beras saja maka bagaimana dengan lauk lainnya maka dari itu boleh kita mengambil madzhab yang lain selama itu masih dalam koridor syariat hukum yang mempernbolehkan. Jadi 4 madzhab yaitu madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i Dan Hambali itu inshaallah menurut para ulama “sah” jika kita beramal berdasarkan pendapatnya.
Masyarakat Indonesia pun sampai saat ini sudah mulai belajar bahwa madzhab syafi’I pun tidak boleh terlalu saklek sehingga seolah-olah tidak boleh beramal dengan ajaran fiqih dari madzhab lain dan itu ternyata sudah diajarkan pula oleh para Ulama yang berpendapat boleh sekiranya jika kita agak susah membayar zakat fitrah dengan beras boleh bayar dengan seharga beras yang kita bayarkan untuk zakat fitrah atau yang saat ini di Indonesia berkisar antara Rp 40.000 – Rp 50.000. Standar minimum itu sudah terpenuhi yang kaitannya dengan zakat fitrah atau “زَكاَةُ الْفِطْرِ” yang merupakan kewajiban kita untuk kita bayarkan selama sebelum kita berangkat untuk melaksanakan shalat idul fitri dan yang wajib bayar fitrah itu adalah laki-laki. Perempuan walaupun masih kecil belum sempat puasa dan bahkan baru dilahirkan tapi kalau dia dilahirkan saat bulan Ramadhan pada waktu tersebut maka wajib membayar zakat fitrah”.
”, yang artinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. Sha’ itu artinya suatu ukuran atau wadah, di zaman Nabi Muhammad SAW satu sha’ itu “مِنْ تَمْرٍ” atau dalam bentuk kurma dan “أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ” atau satu sha’ dalam bentuk makanan pokok yaitu gandum, jadi pada zaman Nabi Muhammad SAW membayar zakat itu dengan gandum atau kurma. Tapi para ulama kemudian membuat suatu kiasan atau persamaan tentang membayar zakat, ketika dulu orang Arab makanan pokoknya ialah gandum tapi bagi orang Indonesia yang makanan pokoknya adalah beras maka bagi orang Indonesia untuk membayar zakat fitrah dipersamakan dengan menggunakan beras. Berapa ukurannya? Satu sha’ kalau dilihat ukurannya saat ini kemungkinan besar satu wadah itu 3,5liter beras atau sekitar 2,5 kg jika ingin digenapkan menjadi 3kg. Menurut madzhab Imam Syafi’i yang dianut oleh warga indonesia atau secara umum di wilayah Asia Tenggara membayar zakat fitrah itu harus dengan makanan pokoknya dan kalau itu dilaksanakan secara murni atau mutlak dilakukan seperti halnya madzhab Imam Syafi’i berarti kita membayar zakat harus dengan beras. Tapi kemudian para Ulama mengambil pendapat madzhab lain yaitu dalam madzhab Hanafi diperbolehkan bayar zakat itu dengan “dikimatihi” atau seharga yang seharusnya dia tunaikan, jadi 3,5 liter jika harga 1 liternya Rp 10.000,- maka zakat yang ditunaikan sebesar Rp 35.000,- atau seharga beras yang biasa dia konsumsi. Kita boleh mengikuti madzhab yang lain selama masih ada dasar hukumnya, karena zakat fitrah itu konsentrasinya agar fakir miskin ketika lebaran masih bisa menikmati hari lebaran itu dengan makanan yang cukup dan kalau kita membayar zakatnya hanya dengan menggunakan beras saja maka bagaimana dengan lauk lainnya maka dari itu boleh kita mengambil madzhab yang lain selama itu masih dalam koridor syariat hukum yang mempernbolehkan. Jadi 4 madzhab yaitu madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i Dan Hambali itu inshaallah menurut para ulama “sah” jika kita beramal berdasarkan pendapatnya.
Masyarakat Indonesia pun sampai saat ini sudah mulai belajar bahwa madzhab syafi’I pun tidak boleh terlalu saklek sehingga seolah-olah tidak boleh beramal dengan ajaran fiqih dari madzhab lain dan itu ternyata sudah diajarkan pula oleh para Ulama yang berpendapat boleh sekiranya jika kita agak susah membayar zakat fitrah dengan beras boleh bayar dengan seharga beras yang kita bayarkan untuk zakat fitrah atau yang saat ini di Indonesia berkisar antara Rp 40.000 – Rp 50.000. Standar minimum itu sudah terpenuhi yang kaitannya dengan zakat fitrah atau “زَكاَةُ الْفِطْرِ” yang merupakan kewajiban kita untuk kita bayarkan selama sebelum kita berangkat untuk melaksanakan shalat idul fitri dan yang wajib bayar fitrah itu adalah laki-laki. Perempuan walaupun masih kecil belum sempat puasa dan bahkan baru dilahirkan tapi kalau dia dilahirkan saat bulan Ramadhan pada waktu tersebut maka wajib membayar zakat fitrah”.
Ustadz Taufiq yang merupakan Da’I Ambassador Dompet Dhu’afa ini menyatakan bahwa “kita dapat diperkenankan untuk membayar zakat fitrah secara cepat bahkan dapat dilakukan ketika masih awal bulan suci Ramadhan atau seminggu atupun sepuluh hari terakhir biasanya panitia zakat sudah mulai mempersiapkan diri untuk menerima zakat fitrah itu karena nanti dengan harapan akan segera didistribusikan dan boleh kita langsung membayarnya kepada para mustahiqnya, yang pasti pembayaran zakat fitrah itu tidak boleh ditunda sampai pelaksanaan shalat idul fitri. Karena sesungguhnya zakat fitrah itu menjadi modal kita untuk memberi kebahagiaan kepada sesama muslim khususnya para mustahiq yang memang memerlukan bantuan akan tetapi jika ada mustahiq zakat dia fakir miskin kalo selama dia punya persediaan makanan hari terakhir Ramadhan dan saat lebaran masih ada sisanya maka dia wajib membayar zakat fitrah walaupun mungkin setelah dia membayar dia dapat lagi bantuan karena dia termasuk mustahiqnya”. Semoga kita dapat melengkapi ibadah puasa di bulan suci Ramadhan ini dan menutupnya dengan memberikan sebagian harta yang kita miliki kepada orang yang membutuhkan.
Semoga bermanfaat.
Billahi Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat.
Semoga bermanfaat.
Billahi Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat.
وَ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Pewarta: M. Firmansyah/PCIMT-Regional Beijing/LPB/BUCT