Evolusi Ekonomi Tiongkok:
PAST, PRESENT, FUTURE
Sejak pondasi pembangunan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok dicanangkan oleh Mao Zedong, struktur ekonomi Tiongkok terus berkembang ke arah yang semakin seimbang dengan memberi peran lebih banyak pada permintaan domestik dan melakukan liberalisasi sektor eksternalnya secara bertahap. Reformasi ekonomi yang pertama kali digagas oleh Deng Xiaoping dan kemudian dilanjutkan oleh para Presiden Tiongkok hingga saat ini dipimpin oleh Xi Jinping telah membawa Tiongkok memasuki era baru. Gagasan ekonomi sosialisme Tiongkok saat ini menitikberatkan pada keterbukaan pasar melalui dukungan sektor industri yang kuat didasari oleh inovasi teknologi, urbanisasi, dan sistem keuangan modern. Berbagai kebijakan ekonomi yang semula fokus pada pencapaian high speed growth secara bertahap berubah orientasinya menjadi high quality growth. Tiongkok secara serius dan konsisten berusaha mengintegrasikan sektor ekonomi riil dengan digital economy serta intens melakukan aliansi dengan negara di kawasan dalam Belt & Road Initiative demi mewujudkan Made in China di tahun 2025. Melihat capaian pembangunan dalam 40 tahun terakhir yang begitu impresif menjadikan Tiongkok sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, maka besar kemungkinan mewujudkan mimpinya menjadi negara maju di 2020. Namun demikian, upaya mewujudkan ambisi itu masih dibayangi risiko eksternal yang dipicu perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) yang hingga saat ini belum jelas arah penyelesaiannya dan di domestik adanya risiko gangguan stabilitas sistem keuangan terkait shadow banking dan persoalan mengatasi overcapacity.
PAST PERIOD
Tahap perkembangan kebijakan makroekonomi Tiongkok pada past period dapat dibagi menjadi 3 (tiga) stages yang didasarkan oleh dinamika kebijakan yang diambil pada waktu itu, yaitu stage I (1948-1975), stage II (1976-1995), dan stage III (1996-2010). Pada stage I, kebijakan makroekonomi Tiongkok yang saat itu dipimpin Mao Zedong adalah kebijakan terpusat (strictly centralized) dan fokus pada penyiapan infrastruktur dan pondasi Tiongkok sebagai negara industri. Pendanaan proyek infrastruktur Tiongkok saat itu mayoritas bersumber dari Uni Soviet dan belum membuka investasi dari negara lainnya. Pada stage I, kondisi yang terjadi adalah sistem mono banking system, dimana People’s Bank of China (PBoC) bertindak sebagai bank sentral sekaligus bank komersial. Dalam hal fungsinya sebagai bank sentral, PBoC bertanggung jawab menjaga keseimbangan uang yang beredar (money supply), suku bunga, dan cadangan devisa. Sementara dalam hal fungsinya sebagai bank komersial, PBoC bertanggung jawab menerima deposit dana masyarakat dan sekaligus menyalurkan pinjaman kepada masyarakat. Kondisi pasar keuangan pada stage I dikontrol penuh oleh pemerintah melalui 5-Year Plan.
Implementasi kebijakan makroekonomi Tiongkok di stage II oleh Deng Xiaoping berlanjut dengan merintis reformasi ekonomi dan menjadikan perekonomian Tiongkok lebih terbuka. Dana investasi luar negeri diperbolehkan masuk meskipun secara terbatas. Bank-bank komersial mulai didirikan namun tetap dalam kontrol penuh Pemerintah. Bursa saham didirikan di Shanghai dan Shenzhen dengan listed company awal berjumlah 10 (sepuluh) perusahaan. Untuk membiayai jalannya mesin perekonomian, pemerintah Tiongkok mulai memanfaatkan pasar modal dan surat utang dengan menerbitkan treasury bonds yang berupa central bank bills, financial bonds oleh bank komersial dan corporate bonds oleh State Owned Enterprises (SOE) atau BUMN. Pada stage ini juga terjadi reformasi SOE dari semula beroperasi dengan mengandalkan anggaran pemerintah menjadi lebih mandiri. Pemerintah pusat juga mulai memberikan kebebasan bagi SOE untuk berinvestasi. Di sisi lain, peran Pemerintah Daerah juga mulai ditingkatkan dalam pengambilan kebijakan lokal daerah.
Sepeninggal Deng Xiaoping, Tiongkok terus melanjutkan reformasi dalam negeri melalui stage III. Jiang Zemin sebagai Presiden Tiongkok terpilih memfokuskan kebijakan ekonomi pada high speed growth untuk mengejar ketertinggalan Tiongkok dan melanjutkan reformasi pasar keuangannya. Presiden Tiongkok selanjutnya, Hu Jiantao juga mendorong Tiongkok untuk semakin membuka perekonomiannya. Hal ini terbukti ketika Tiongkok memantapkan langkah untuk bergabung ke dalam World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001. Kebijakan ini secara perlahan mengakselerasi investasi hingga meningkat secara signifikan (investment boom) dan perekonomian Tiongkok tumbuh mencapai double digit. Pada stage ini, mesin perekonomian Tiongkok mengalami overheating sehingga terjadi overcapacity dan tingginya ketimpangan perekonomian antara kota-kota industri dengan rural area.
Bagan Evolusi Perekonomian Tiongkok
PRESENT: CHINA NEW ERA
Presiden Xi Jinping telah menyatakan bahwa Tiongkok akan menuju era baru dan mentargetkan menjadi advanced economies di tahun 2020 dengan menfokuskan kebijakan makroekonominya pada steady growth with improved quality melalui upaya reformasi struktural pada supply-side dan mengurangi overcapacity industri berat. Sebagaimana kita ketahui pada stage II, Tiongkok telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak diiringi oleh upaya yang memadai untuk menjaga kestabilan perekonomian, cenderung menomorduakan pengawasan terhadap potensi kerentanan pasar keuangan, serta mengabaikan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan. Pada era baru ini, semua permasalahan tersebut mulai mendapat perhatian serius dan secara bertahap dapat diatasi. Untuk menjaga momentum pertumbuhan global digital economy, pemerintah Tiongkok berkomitmen untuk mengintegrasikan internet, big data, dan artificial intelligence dengan ekonomi riil termasuk di dalamnya penciptaan China’s digital and a smart society. Sebagai blueprint untuk memperkuat ketahanan nasional dan kemajuan industri domestik, Tiongkok juga mengimplementasikan kebijakan Made in China 2025.
Dari sisi kebijakan moneter, saat ini PBoC menjalankan kebijakan moneter yang akomodatif dengan fokus utama pencegahan risiko sistemik dari pasar keuangan. Di sisi lain, PBoC juga mengambil sikap untuk tidak reaktif terhadap kenaikan Fed Rate, mengarahkan RMB agar lebih market driven dan fokus menjaga likuiditas pasar dari potensi capital outflow.
Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah Tiongkok cenderung ekspansif dan terukur, dilakukan secara proaktif dengan memberikan prioritas untuk menaikkan social spending (kesehatan, pendidikan dan subsidi) guna meningkatkan konsumsi domestik. Namun disisi lain, Pemerintah Tiongkok mulai melakukan pengetatan regulasi utang oleh Pemerintah Daerah sejalan pertumbuhan utang yang semakin meningkat. Pada akhir 2017, utang Pemerintah tumbuh 8% mencapai $2,6 trilyun, atau naik dua kali lipat dari tahun 2016.
Dari sisi stabilitas sistem keuangan, pemerintah Tiongkok melakukan upaya mengatasi persoalan shadow banking dengan berupaya menurunkan persentase aktivitas shadow banking yang tidak termonitor melalui connecting fintech-commercial bank dan pengawasan terhadap financial risk.
Lebih lanjut, upaya ini diperkuat dengan melakukan integrasi penyelesaian transaksi keuangan yang dilakukan oleh institusi keuangan non bank secara on line melalui fasilitasi Nets Union Clearing Corporation (NUCC) dimana PBoC memiliki konstribusi yang cukup besar.
Bagan Kebijakan Makroekonomi Tiongkok
FUTURE CHALLENGES
Upaya Tiongkok untuk mencapai target perekonomiannya ke depan akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan dari kondisi ekonomi domestik sehingga lebih tahan terhadap gejolak eksternal. Secara umum, perekonomian Tiongkok diperkirakan masih akan cenderung melambat dalam beberapa tahun ke depan. Hal yang mendasarinya karena di sisi eksternal pemulihan perekonomian global belum sekuat yang diharapkan, sementara di sisi domestik sedang terjadi proses rebalancing. Peran investasi diperkirakan akan melambat sesuai dengan target pemerintah dan secara perlahan digantikan oleh pengeluaran konsumsi yang semakin besar. Sementara itu, fokus kebijakan di sektor keuangan diperkirakan akan fokus pada upaya untuk mengatasi risiko stabilitas sistem keuangan. Konsekuensinya, regulasi terhadap investment loan untuk proyek investasi akan lebih ketat dan pertumbuhan kredit khususnya investment loan diperkirakan akan melambat sehingga menahan laju investasi. Terkait dengan kebijakan poverty reduction yang ditempuh antara lain melalui peningkatan social spending dan rural revitalization diperkirakan berdampak meningkatkan konsumsi masyarakat terutama di perdesaan dan mengurai persoalan kesenjangan desa-kota. Berbagai langkah di sisi domestiK tersebut diperkuat dengan upaya aliansi dengan ekonomi di berbagai kawasan melalui Kebijakan Belt Road Initiative (BRI). Langkah strategis dengan komitmen yang kuat dan dukungan pembiayaan ini diperkirakan akan signifikan menopang kinerja ekspor dan perdagangan di kawasan sejalan dengan kemudahan akses transportasi dan efisiensi distribusi barang ekspor Tiongkok ke negara tujuan, dan sebaliknya. BRI menjadi alternatif solusi yang strategis bagi Tiongkok ditengah risiko perang dagang dengan AS yang belum jelas arah penyelesaiannya.
PENUTUP
Perubahan yang terjadi di Tiongkok akan memberikan dampak bagi perekonomian secara global maupun bagi ekonomi Indonesia. Dari jalur keuangan, yang perlu dicermati terkait dengan volatilitas market sejalan dengan semakin terbukanya pasar keuangan dan pasar modal Tiongkok yang dapat berimbas pada semakin besarnya aliran modal yang masuk kedalam dan keluar Indonesia yang sumbernya dari Tiongkok serta pada fluktuasi nilai tukar RMB. Semakin terbuka peluang untuk menarik investasi jangka panjang dari investor Tiongkok untuk menanamkan modalnya di sektor produktif dan bernilai tambah tinggi serta membuka lapangan kerja di Indonesia. Belajar dari pengalaman pembangunan Tiongkok yang konsisten dan serius menerapkan “investment and industrial policy” sehingga berhasil melakukan “transfer of technology” tercermin dari banyaknya produk industri Tiongkok seperti kendaraan bermotor, kereta cepat, peralatan rumah tangga dan perkantoran, dan sebagainya. Dari jalur perdagangan (ekspor dan impor), dinamika perang dagang yang diwarnai penurunan tarif atas impor produk Tiongkok dari negara lain yang merupakan substitusi produk AS menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspornya. Di samping itu upaya Tiongkok untuk semakin membuka diri pasar ekonominya yang sangat besar dengan jumlah penduduk sekitar 1,4 miliar perlu dimanfaatkan oleh eksportir Indonesia secara optimal.
Hal lain yang penting dicatat adalah kemampuan otoritas Tiongkok mengelola perekonomiannya dengan cukup baik ditengah tekanan eksternal yang cukup besar, kondisi struktur keuangan domestik yang belum pulih, dan struktur kelembagaan yang cukup kompleks di Tiongkok, koordinasi kebijakan antara moneter, fiskal dan stabilitas sistem keuangan dapat berjalan dengan baik. Koordinasi dan implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan lebih efektif karena bentuk pemerintahan yang terpusat sehingga satu komando dengan garis koordinasi antar instansi dan lembaga dilakukan dengan ketat dan jelas. Pusat komando dan koordinasi kebijakan dilakukan oleh State Council. Untuk bisa mewujudkan hal ini tentu bukan hal yang mudah, diperlukan strong leadership karena implementasi kebijakan melibatkan koordinasi lintas otoritas, lintas sektor, dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Oleh : Tim Bank Indonesia Kantor Perwakilan Beijing