Kabar Mu Tiongkok
Temukan Kami di Sosial Media :
  • Beranda
  • Berita
  • Wawasan
  • Risalah Netizen
    • Refleksi Netizen
    • Reportase Netizen
    • Opini Netizen
    • Romadhan di Tiongkok
    • GongXi-Tiongkok
  • Aktivitas
    • School Of Journalism
    • Agenda
    • Lomba Foto >
      • form-lomba-foto
      • Poling Lomba Foto
    • Polling Puisi Favorite >
      • Puisi Favorite 2018
    • Polling
    • Lomba Ramadhan >
      • Pemenang Lomba
      • Polling Video-Favorite
  • Tamadun
    • Karya Fiksi
    • Galeri Foto
    • Karya Video
    • Karya Puisi
    • Kantin Kartini
  • Kontak Kami
  • Organisasi
  • Muhibah Ukuwah
    • NANJING >
      • Poling Lomba Foto Nanjing
      • Foto Ukuwah Nanjing
    • HANGZHOU >
      • Pooling Lomba Foto Hangzhou
      • Foto Ukhuwah Hangzhou
    • SHANGHAI >
      • Foto Ukhuwah Shanghai
  • Tiongkonomi
  • Kemitraan
    • UHAMKA - Pengantar TI
    • UHAMKA - Etika Profesi
    • UHAMKA - Digital Sistem
    • UHAMKA - Praktikum Digital

Daya Tahan Tiongkok dalam Menghadapi Perang Dagang

2/12/2018

0 Comments

 
Picture
Konflik perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dalam beberapa bulan terakhir masih belum menunjukkan perbaikan dan kepastian arah penyelesaiannya. Indikasi tensi konflik dalam jangka menengah cenderung meningkat. Isu proteksionisme mengemuka sejalan dengan strategi ekonomi masing-masing negara. Kedua negara saling membalas pengenaan tarif impor dengan cakupan produk dan nilai yang semakin besar. Pemerintah Tiongkok menerbitkan White Paper sebagai upaya Beijing untuk mengklarifikasi posisi Tiongkok dalam kerjasama perdagangan AS-Tiongkok. Tiongkok konsisten membalas penerapan tarif impor AS (tit-for-tat) sehingga meningkatkan risiko ketidakpastian pemulihan ekonomi global. Selain dampak langsungnya, kekhawatiran semakin besar terkait dampak tidak langsung yakni seberapa besar dampaknya terhadap global value chains, termasuk seberapa besar potensi supply chain  yang keluar  dari  Tiongkok  dan meluasnya  proteksionisme  serta  aliansi  blok perdagangan.

"As a result, trade and economic friction between the two sides has escalated quickly over a short period of time, causing serious damage to the economic and trade relations which have developed over the years through the collective work of the two governments and the two peoples, and posing a grave threat to the multilateral trading system and the principle of free trade"

(The State Council of The People’s Republic of China–White Paper, “The Facts and China’s
Position on China-US Trade Friction,” pp.4, 24 September 2018)​
​

​Eskalasi Konflik Perdagangan

Eskalasi perang dagang AS dan Tiongkok  tidak terlepas dari hubungan ekonomi kedua negara yang dalam beberapa bulan terakhir cenderung memburuk.  Beberapa event yang mengindikasikan hal tersebut diantaranya:
  1. Pada tanggal 22 September 2018, Pemerintah Tiongkok secara resmi menolak invitasi AS untuk melakukan negosiasi perdagangan, setelah sehari sebelumnya Pemerintah AS mengumumkan pengenaan sanksi kepada militer Tiongkok terkait pembelian senjata dari Rusia;
  2. Berdasarkan USMCA (US, Meksiko, Kanada) agreement pada tanggal 1 Oktober 2018 terdapat pengaturan yang melarang anggotanya untuk menandatangani free trade agreement dengan non-market economies, yang diinterpretasikan Tiongkok sebagai strategi AS untuk mengisolasi Tiongkok.
Persepsi Beijing mengenai harapan negosiasi perang dagang nampak turun. Diperkirakan pengenaan tarif AS akan painful meskipun masih manageable. Tiongkok nampak akan menunggu bagaimana dampak tarif tersebut terhadap kedua negara dibandingkan menyetujui semua terms yang diminta oleh AS. Tensi non perdagangan juga membatasi peluang negosiasi.
​
Eskalasi perang dagang ini sudah dimulai sejak Januari 2018. Pada saat itu AS mengumumkan tarif impor solar panel dan mesin cuci dan mengambil sikap konfrontatif dalam hubungan perdagangan dengan Tiongkok. Pada bulan Maret 2018, AS mengumumkan tarif impor baja dan aluminium diikuti pada Mei 2018 yaitu 25% tarif impor dari Tiongkok senilai USD50 miliar. Selanjutnya AS mengumumkan pemberlakuan tarif 10% tambahan USD200 miliar dari impor Tiongkok di awal September dan 25% yang akan diberlakukan di awal Januari 2019.

​Tiongkok merespon dengan pengenaan tarif atas produk AS. Di bulan April 2018, Tiongkok mengenakan tarif atas USD3 miliar termasuk 15% terhadap 128 produk AS yang berbeda dan 25% untuk 8 (delapan) produk tertentu. Berikutnya Tiongkok mengenakan tarif impor lainnya ke produk AS termasuk kedelai. Di bulan Juni 2018, Tiongkok mengumumkan pengenaan tarif 25% untuk USD50 miliar impor barang dengan fokus daging sapi, unggas, tembakau dan produk otomotif. Pemerintah Tiongkok juga merespon dengan tindakan kualitatif seperti penolakan merger senilai USD44 miliar antara Qualcomm dan NXP yang dinilai merupakan stance konfrontatif dengan AS.
Meningkatnya Protesionisme
 
Meskipun perekonomian global sejauh ini masih cukup resilien terhadap konflik perang dagang, namun kenaikan tensi konflik ini berdampak pada volatilitas di pasar keuangan dan isu proteksionisme yang menguat secara luas. Kebijakan proteksionisme Trump diperkirakan diilhami retorika tahun 1980-an ketika AS mengalami defisit perdagangan dengan Jepang. Saat ini AS lebih fokus pada defisit perdagangan dengan Tiongkok, dan untuk tingkat yang lebih rendah dengan Meksiko dan Eropa. Namun demikian, tujuan utama dari Pemerintahan Trump nampak tidak mudah dipahami. Di satu sisi selama kampanyenya, Trump mengkritisi defisit perdagangan yang besar dengan Tiongkok dan mitra dagang lainnya. Akan tetapi di sisi lain beberapa pejabat pemerintahan AS, seperti dari US Trade Representatif, Trade & Industrial Policy, dan US Secretary on Commerce, lebih fokus pada pencurian hak atas kepemilikan intelektual, dan transfer teknologi dari perusahaan multinasional kepada Tiongkok sebagai syarat untuk akses pasar.

Sementara itu kebijakan Tiongkok relatif lebih jelas yaitu untuk menjaga status quo pengaturan perdagangan saat ini dan menghindari perang dagang dalam skala yang besar. Secara umum saat ini Tiongkok, sedang berupaya untuk menghindari middle income trap dengan terus mendorong strategi ekonomi industri dalam jangka menengah sehingga dapat memperoleh status sebagai salah satu negara yang maju. Guna mencapai hal tersebut, Pemerintah Tiongkok menjalankan serangkaian strategi jangka menengah-panjang seperti Belt and Road Initiative dan Made in China 2025, guna mencapai tujuan socialist modernization di tahun 2035.

Pada tanggal 24 September 2018, Tiongkok menerbitkan White Paper berjudul “The Facts and China’s Position on China-US Trade Friction,” yang menjelaskan mengenai posisi Beijing terhadap perang dagang.  White paper ini berisi 6 (enam) bagian4 yaitu: (1) Hubungan saling menguntungkan dan memperoleh win-win cooperation antara Tiongkok dengan AS di bidang perdagangan dan ekonomi; (2) Klarifikasi fakta mengenai hubungan perdagangan dan ekonomi Tiongkok–AS; (3) Praktik proteksionisme dagang dari Pemerintahan AS; (4) Praktek bullying dagang dari Pemerintahan AS; (5) Kerugian dari praktek yang tidak tepat dari pemerintah AS kepada ekonomi global; dan (6) Posisi Tiongkok. Secara umum, White Paper tersebut menekankan Tiongkok telah merespon dari perspektif kepentingan kedua pihak dan world trade order, mengupayakan penyelesaian perselisihan melalui dialog dan konsultasi, dan
menjawab concern AS dengan kesabaran dan niat baik.

Ironisnya, beberapa tujuan dari Tiongkok dan Pemerintahan AS ada yang sejalan. Tiongkok akan bergeser dari fokus pertumbuhan ekspor ke konsumsi domestik, dengan transisi dari produsen dengan low-cost ke value chain, disamping akan meliberalisasi suku bunga, nilai tukar dan akan membuka arus modal yang saat ini masih terbatas. Sebagai dampaknya, akan terjadi surplus perdagangan yang lebih rendah dengan AS, dan seharusnya menjadi faktor positif bagi AS. Namun demikian, dengan proses peralihan ke value chain pada manufaktur dan industri dengan teknologi tinggi, akan meningkatkan concern dari AS terkait dengan intellectual properti protection dan kebutuhan industri Tiongkok yang perlu transfer teknologi.

Secara keseluruhan, interaksi antara Tiongkok dan AS pada kebijakan perdagangan, bersamaan dengan tujuan strategis dari masing-masing negara, mengindikasikan eskalasi tit-for-tat. Beberapa argumen pendukungnya diantaranya, pertama hubungan jangka menengah antara kedua negara lebih banyak di sisi konfrontasi-nya dibandingkan dengan kooperatif-nya dan kecil kemungkinan dalam jangka pendek tercapai kesepakatan dalam perdagangan barang mengingat masih cukup besarnya concern seputar teknologi, intellectual property dan artificial intelligence. Kedua, naiknya eskalasi tit-for tat juga merupakan rational outcome dari strategi masing-masing negara. Dengan tidak adanya kerjasama internasional, dimana masing-masing negara memiliki komitmen bersama, maka strategi yang paling optimal adalah melalui pengenaan nonzero tariff rate. Ketiga, upaya mengurangi tarif tanpa komitmen dari mitra dagang untuk melakukannya, merupakan tindakan yang kurang kredibel. Jika suatu negara mengenakan tarif yang lebih tinggi, akan memicu negara lain bertindak secara resiprokal.

Namun demikian, oleh karena perbedaan struktur biaya produksi kedua negara, dimungkinkan bahwa response tarif balasan tidak selalu sama. Pengenaan tarif akan meningkatkan marginal cost of production. Dalam hal ini Tiongkok memiliki advantage karena memiliki cost of production yang lebih rendah, sehingga AS perlu mengenakan tarif impor yang lebih tinggi daripada yang diperlukan oleh Tiongkok guna menyamakan struktur cost. Namun demikian, cost differential kedua negara mengalami penurunan signifikan. Di awal tahun 2000- an, upah rata-rata pekerja manufaktur di AS sekitar 20-25 kali dibandingkan Tiongkok, sementara di tahun 2016-2017 perbedaannya hanya sekitar 4 (empat) kali. Hal tersebut yang mendorong Pemerintah Tiongkok untuk mengakselerasi sektor bernilai tambah tinggi sebagai bagian dari kebijakan Made in China 2025 Initiative.

Picture

​Dampak Tarif Terhadap Perdagangan Global

​Perdagangan global menghubungkan ekonomi antar negara dan menjadi salah satu driver dari pertumbuhan ekonomi dunia. Data dari World Bank menunjukkan ketergantungan ekonomi internasional terhadap perdagangan global meningkat dari 17,5% di tahun 1960 menjadi 52% di tahun 2017.
Picture
Dengan pengenaan tarif oleh AS akan berdampak pada terhambatnya aliran perdagangan dunia yang akan mempengaruhi pemulihan ekonomi global. Pengenaan ini akan diikuti dengan eskalasi tit-for-tat yang mempengaruhi penurunan perdagangan global. Menurut World Bank kenaikan tarif secara broad-based akan menurunkan perdagangan dunia sebesar 9% di tahun 2020. Dampak ini akan lebih besar pada negara emerging market dan developing economies khususnya yang memiliki keterikatan perdagangan dan pasar keuangan dengan AS. Lebih lanjut menurut WTO, jika tarif akan kembali ke level sebelum GATT/WTO, maka pertumbuhan ekonomi global akan terkontraksi sebesar 2,5% dan lebih dari 60% perdagangan global akan menghilang, sehingga membawa dampak yang lebih serius dibandingkan krisis keuangan global di tahun 2008.
​
Secara umum, sejumlah lembaga telah memperkirakan dampak dari perang dagang terhadap ekonomi global antara 0,6-1%. Perang dagang akan berdampak mengganggu aturan perdagangan dan ekonomi dunia, menahan pemulihan ekonomi global, merugikan kepentingan usaha dan masyarakat global dan dapat mendorong ekonomi mengarah ke resesi.
Picture
Secara khusus, dampak terhadap PDB Tiongkok diperkirakan dapat mencapai -0,9% bila persisten hingga 2019. Pada pengenaan tarif AS sebesar USD50 miliar di fase 1 yang diterapkan pada Juli-Agustus 2018 diperkirakan berdampak -0,1%, sedangkan di fase 2 untuk tarif 10% terhadap USD200 miliar yang diterapkan secara efektif tanggal 24 September 2018 (dan meningkat menjadi 25% sejak 2019) diperkirakan menurunkan PDB sebesar 0,3%, sehingga total penerapan dampak keduanya menjadi -0,4%. Kondisi lebih berisiko lagi adalah di fase 3 untuk pengenaan tarif atas USD267 miliar ekspor Tiongkok ke AS sebagaimana dikemukakan Presiden Trump yang kemungkinan akan diterapkan di Desember 2018 atau awal Januari 2019, diperkirakan PDB turun sebesar 0,5%, sehingga bila digabungkan dengan fase 1 dan 2 dapat menurunkan PDB Tiongkok sebesar 0,9%.

Lebih lanjut, Barclays memperkirakan dampak perang dagang dengan 2 (dua) skenario yaitu : (1) Bilateral trade war : apabila AS menerapkan 20% tarif pada impor Tiongkok dan selanjutnya Tiongkok meresponnya senilai yang sama; dan (2) Isolasi terhadap AS : AS menerapkan 20% tarif untuk seluruh impor barangnya, dan semua mitra dagang merespon senilai yang sama.
​
Dengan  skenario  bilateral trade war,  pertumbuhan  AS  dan  Tiongkok  diperkirakan masing-masing turun 0,8% dan 1,3%. Dibandingkan dengan nilai tahun 2017 diperkirakan impor dan ekspor AS dengan Tiongkok akan turun masing-masing USD126 miliar dan USD32 miliar. Tiongkok akan memiliki lebih rendah impor USD41 miliar dan ekspor USD114 miliar. Secara total volume perdagangan barang antara AS-Tiongkok turun USD156 miliar. Nilai ini setara dengan 0,8% PDB AS dan 1,3% PDB Tiongkok.
Selanjutnya dengan skenario isolasi terhadap AS, pertumbuhan AS dan Tiongkok diperkirakan masing-masing turun 4,9% dan 8,6%. Dibandingkan dengan nilai 2017, impor AS akan turun USD581 miliar dan ekspor turun USD384 miliar. Nilai impor Tiongkok ke AS turun USD461 miliar, dan ekspor turun USD587 miliar. Secara keseluruhan, volume perdagangan global akan turun USD2 triliun dari kedua negara tersebut. Nilai ini setara dengan penurunan 4,9% PDB AS dan 8,6% PDB Tiongkok. Hal ini juga berdampak global trade share terhadap PDB kembali ke level di bawah tahun 1990. Turunnya PDB Tiongkok yang lebih besar dengan skenario ini khususnya berasal dari penurunan PDB dunia yang berdampak penurunan arus perdagangan dan kenaikan economic cost ke negara-negara di luar mitra dagang dari AS.
Picture

​Dampak Tarif Terhadap Global Value Chain

Pengenaan tarif akan berdampak pada terganggunya global value chain. Laporan World Economic Outlook oleh IMF tanggal 17 April 2018 mengemukakan bahwa kenaikan tarif maupun hambatan perdagangan lainnya akan mengganggu global value chain, memperlambat perkembangan teknologi baru dan mengurangi produktivitas dan investasi global. Lebih lanjut, Peterson Institue for International Economies (PIIE) mengemukakan bahwa perang dagang AS- Tiongkok dapat memukul negara-negara yang melakukan ekspor intermediate inputs dan raws material ke Tiongkok.

Pada tahap awal perang dagang, dampak pengenaan tarif kepada supply chain di kawasan Asia diperkirakan terbatas. Hal ini disebabkan produk Tiongkok yang dikenakan tarif– selain produk teknologi dan elektronik–tidak memiliki linkage supply chain yang signifikan di Asia, dan banyak supplier Asia yang memproduksi barang untuk dikonsumsi di Tiongkok.

Data historis menunjukkan bahwa penerapan tarif AS dapat secara efektif memindahkan pabrikan dari Tiongkok, namun hanya yang melayani pasar AS. Dalam studi kasus anti-dumping AS terkait dengan mesin cuci dari Tiongkok, menunjukkan bahwa ekspor mesin cuci Tiongkok ke AS mengalami collapse, sementara ekspor ke negara lain dan permintaan domestik justru meningkat.

Eksposur dari sektor industri Tiongkok terhadap ekspor diperkirakan sekitar 30%. Hal ini mencakup: (1) Output industri yang langsung diekspor sebesar 13% (2% ke AS, dan 11% ke negara  lain);  (2) Dikonsumsi  secara  domestik  oleh  supply chain  yang  mendukung  ekspor sebesar 17% (3% ke AS, dan 14% ke negara lain). Besarnya pasar domestik Tiongkok merupakan salah satu faktor yang mendukung tetap bertahannya supply chain.

Dengan status sebagai world factory, maka pergeseran yang signifikan dari supply chain keluar dari Tiongkok, dapat membawa implikasi yang mendalam terhadap ekonomi global. Pendapatan perusahaan multinasional akan terdampak, rumah tangga di AS, Tiongkok dan negara lain purchasing power dan pendapatannya akan mengalami pergeseran.

Namun demikian, pengenaan tarif AS atas produk Tiongkok diindikasikan saat ini tidak berdampak besar pada supply chain domestik untuk produk tersebut. Di luar mesin cuci, terhadap produk yang ditargetkan oleh AS seperti cooking appliance, AC, dan refrigerators, terdapat beberapa kesamaan kasus antara produk tersebut dengan mesin cuci yaitu: (1) Pangsa pasar AS terhadap produk tersebut relatif kecil yaitu 7% refrigerators, 5% AC, dan 8% cooking appliances; (2) Pasar domestik Tiongkok cukup besar: lebih dari 50% produk Made in China 2025 juga dijual di Tiongkok; (3) Ekspor ke negara non-AS cukup besar antara 24-31%.

Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa AS tidak menargetkan tarif atas dishwasher dan microwave oven yang memiliki pangsa  yang cukup besar di AS. Apabila hal ini dilakukan maka gangguan pada supply chain di Tiongkok akan lebih besar. Namun demikian, nampaknya kebijakan tarif AS juga mempertimbangkan dampaknya kepada ekonomi dan konsumen AS. AS lebih memilih menargetkan produk yang memiliki substitusi tinggi dan tidak memiliki market share yang besar.

Berdasarkan analisa di level industri, hanya produk furnitur Tiongkok yang diperkirakan berpotensi menderita kerugian yang cukup signifikan. Terhadap 17 (tujuh belas) jenis industri, diperoleh beberapa hal sebagai berikut:
  1. Semua permintaan domestik melebihi permintaan ekspor, kecuali 1 (satu) yakni furnitur.
  2. Pangsa ekspor cukup besar di industri tradisional yang berorientasi ekspor seperti furnitur (55%), komputer dan elektronik (35%), tekstil dan apparels (4%), dan perlengkapan elektronik (21%). Pangsa ekspor terendah di sektor makanan minuman (3%), petroleum (3%), base metal (5%) dan sepeda motor (5%).
  3. Pangsa ekspor AS terbesar adalah di furnitur (17%), komputer dan elektronik (7%), apparels (3%) dan perlengkapan elektronik (3%). Industri ini yang paling vulnerable terhadap tarif AS. Pangsa ekspor di industri lainnya cukup rendah yaitu di bawah 2%.
  4. Diantara jenis yang vulnerable tersebut, produk furnitur telah masuk dalam USD200 miliar tariff list, dimana berpotensi menimbulkan kerugian bagi Tiongkok yang cukup tinggi. Sedangkan perlengkapan elektronik meski termasuk di daftar namun dampak terhadap Tiongkok relatif kecil. Sementara itu untuk komputer dan elektronik serta apparels nampaknya dikeluarkan dari tariff list karena menghindari dampak yang besar kepada konsumen AS.
Picture
Picture
​Diperkirakan, setidaknya hingga saat ini, hanya sebagian kecil (kurang dari 2%) dari supply chain yang akan keluar dari Tiongkok. Hal ini didukung beberapa alasan sebagai berikut:
  1. Negara-negara lain tidak memiliki jumlah tenaga kerja terdidik dan infrastruktur untuk menggantikan Tiongkok, paling tidak dalam jangka pendek. Barang-barang yang sederhana dengan nilai yang rendah kemungkinan dapat berpindah, namun barang-barang yang sophisticated kemungkinan besar akan tetap stay.
  2. Diperkirakan RMB masih akan melemah terhadap USD hingga di akhir tahun 2019, sehingga dapat mengkompensasi sebagian dampak dari kenaikan tarif.
  3. Diperkirakan meskipun terdapat pabrik yang keluar, namun supply chain yang lain diperkirakan akan tetap. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman negara lain seperti Korea yang pernah dikenakan tarif oleh AS atas ekspor mesin cuci, meskipun terdapat penurunan ekspor mesin cuci, namun ekspor spare part (intermediate goods) atas mesin cuci justru meningkat.

Picture
0 Comments



Leave a Reply.

    Picture

    Tiongkonomi

    Analisa Perkembangan Ekonomi Tiongkok oleh Tim Bank Indonesia Kantor Perwakilan Beijing

    Picture
    Harmoni senergi pencerahan berkemajuan

    Archives

    May 2019
    December 2018
    November 2018

    Categories

    All
    Ekonomi China
    Ekonomi Tiongkok

    RSS Feed

BERANDA
BERITA     
WAWASAN
  

REPORTASE NETIZEN
​OPINI NETIZEN
AGENDA
GALERI
POLING ARTIKEL FAVORITE
Flag Counter
Picture
​

PCIM TIONGKOK
kabarmutiongkok.org
Di Dukung Oleh BPTI UHAMKA