Fenomena Ghost Cities di Tiongkok
(Tiongkonomi : serial pembahasan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang dibahas khusus oleh pakar ekonomi dari Bank Indonesia Kantor Perwakilan Beijing)
“Urbanization is a powerful engine for China's sustained and healthy economic growth, but urbanization is not about building big, sprawling cities. We should aim to avoid the typical urban malady where skyscrapers coexist with shanty towns”
(PM Le Keqiang dalam Siaran Pers Resmi Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok tanggal 18 Maret 2013)
(PM Le Keqiang dalam Siaran Pers Resmi Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok tanggal 18 Maret 2013)
Awal Mula Fenomena Ghost Cities
Abad 21 menjadi titik awal akselerasi pesatnya pertumbuhan perekonomian Tiongkok hingga akhirnya mampu mencapai dua digit. Ditopang oleh sektor industri dan perdagangan, pemerintah Tiongkok memacu perekonomian domestik untuk menguasai berbagai lini industri mulai dari komunikasi, komputer, otomotif, hingga barang elektronik. Guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, pemerintah Tiongkok selanjutnya melakukan kebijakan pembangunan secara besar-besaran di sektor infrastruktur dan properti baik untuk bisnis dan perkantoran maupun untuk residensial. Pemerintah Tiongkok juga melakukan kebijakan deregulasi dengan melonggarkan pembatasan investasi swasta di sektor properti untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang diharapkan menjadi pusat ekonomi baru. Pembangunan sektor properti kemudian menjadi salah satu motor utama perekonomian Tiongkok, di mana 50% Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok disumbangkan oleh fixed asset investment assets dengan 20% berasal dari kontribusi sektor properti berupa investasi properti baru dan 10% berasal dari penjualan properti baru.
Dalam kurun waktu 65 tahun, sebanyak 600 kota baru telah dibangun di wilayah-wilayah yang sebelumnya adalah pedesaan Tiongkok dengan rata-rata pembangunan lahan untuk properti residensial seluas 300 km² pertahun. Selain proses pembangunan yang masif, Tiongkok juga mampu membangun infrastruktur dan properti dengan tempo cepat. Beberapa bangunan properti perkantoran dan apartemen bahkan dibangun kurang dari sebulan. Sebagai contoh apartemen Mini Sky City di propinsi Hunan yang dibangun hanya dalam waktu 19 hari. Batas masa pakai properti di Tiongkok juga tergolong lebih singkat dibanding negara lain. Properti yang telah memiliki masa pakai selama 25 tahun harus dilakukan renovasi total atau digantikan dengan pembangunan bangunan baru. Ledakan pembangunan properti yang meluas juga tercermin dari besarnya penggunaan bahan konstruksi seperti semen oleh Tiongkok yang hanya dalam waktu tiga tahun telah jauh melampaui penggunaan selama satu abad oleh AS.
Secara umum, definisi ghost cities atau guicheng (鬼城) di Tiongkok dapat dijelaskan dengan mengacu pada standar densitas populasi normal yang dikeluarkan oleh China’s Ministry of Housing and Urban Rural Development (MoHURD), yaitu sebesar 10 ribu penduduk per km².
Dari standar tersebut, maka kota yang memiliki densitas populasi di bawah separuh dari densitas populasi normal atau di bawah 5 ribu penduduk per km² dapat dikategorikan sebagai ghost cities. Definisi ghost cities juga bukan mencakup kota yang semula memiliki densitas populasi normal namun kemudian perlahan ditinggalkan karena krisis ekonomi atau konflik sosial. Berdasarkan definisi tersebut China Urban Construction Statistical Yearbook 2015 mempublikasikan data 50 (lima puluh) kota di Tiongkok yang dikategorikan sebagai ghost cities. Kota-kota ini terdiri dari 42 (empat puluh dua) prefecture level cities (setingkat kotamadya) dan 8 (delapan) county level cities (setingkat kabupaten). Sebagian besar dari ghost cities tersebut terletak di bagian timur Tiongkok, di mana kota-kota tersebut sebelumnya adalah wilayah pedesaan yang bertumpu pada hasil sumber daya alam dan pertanian sebagai sumber perekonomian.
Secara umum, definisi ghost cities atau guicheng (鬼城) di Tiongkok dapat dijelaskan dengan mengacu pada standar densitas populasi normal yang dikeluarkan oleh China’s Ministry of Housing and Urban Rural Development (MoHURD), yaitu sebesar 10 ribu penduduk per km².
Dari standar tersebut, maka kota yang memiliki densitas populasi di bawah separuh dari densitas populasi normal atau di bawah 5 ribu penduduk per km² dapat dikategorikan sebagai ghost cities. Definisi ghost cities juga bukan mencakup kota yang semula memiliki densitas populasi normal namun kemudian perlahan ditinggalkan karena krisis ekonomi atau konflik sosial. Berdasarkan definisi tersebut China Urban Construction Statistical Yearbook 2015 mempublikasikan data 50 (lima puluh) kota di Tiongkok yang dikategorikan sebagai ghost cities. Kota-kota ini terdiri dari 42 (empat puluh dua) prefecture level cities (setingkat kotamadya) dan 8 (delapan) county level cities (setingkat kabupaten). Sebagian besar dari ghost cities tersebut terletak di bagian timur Tiongkok, di mana kota-kota tersebut sebelumnya adalah wilayah pedesaan yang bertumpu pada hasil sumber daya alam dan pertanian sebagai sumber perekonomian.
Hingga saat ini, ghost cities terbesar Tiongkok berada di propinsi Dongsheng, yaitu kota Ordos Kangbashi yang dibangun sejak 2004 dan dibuka untuk digunakan pada tahun 2009. Sebelum proses pembangunan, Ordos Kangbashi termasuk daerah pedesaan miskin dan tertinggal di Tiongkok dengan populasi hanya 1,400 orang. Pemerintah Tiongkok kemudian melakukan pengembangan wilayah tersebut seluas 350 km² atau setara dengan luas kota Surabaya, Rencana awal pengembangan Ordos Kangbashi adalah dapat digunakan untuk menampung satu juta penduduk. Seluruh prasarana untuk menunjang aktivitas keseharian masyarakat berupa apartemen, sekolah, pasar, gedung perkantoran, stadion olahraga, dan bandara telah lengkap dibangun dan siap digunakan. Namun demikian, hingga akhir 2017, jumlah penduduk yang bersedia menempati Ordos Kangbashi hanya sekitar 100 ribu orang atau hanya memiliki densitas populasi sebanyak 285 penduduk per km². Meskipun pemerintah Tiongkok telah memberikan insentif berupa subsidi kepada masyarakat yang bersedia menempati Ordos Kangbashi, namun pada kenyataannya biaya hidup dan pajak di Ordos Kangbashi masih jauh lebih tinggi bahkan dibanding kota besar seperti Beijing. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Tiongkok enggan menempati kota tersebut.
Faktor Penyebab Ghost Cities
Akar permasalahan ghost cities sebagaimana yang terjadi di Ordos Kangbashi disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu (1) tingkat urbanisasi di Tiongkok yang terlalu cepat, dan (2) struktur kepemilikan properti di Tiongkok itu sendiri. Kedua faktor tersebut saling terkait dan hingga saat ini masih menjadi fokus pemerintah Tiongkok.
1. Tingkat Urbanisasi Tiongkok
Kebijakan pembangunan properti Tiongkok yang semakin meluas telah mendorong munculnya urbanisasi besar-besaran yang ditandai oleh migrasi puluhan juta penduduk pedesaan ke kota-kota baru untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam tiga dasawarsa terakhir, pertumbuhan rata-rata tahunan urbanisasi di Tiongkok meningkat signifikan dari 12,9% menjadi 52,6%4. Kenaikan urbanisasi di Tiongkok pada dasarnya adalah fase ketiga (setelah industrialisasi dan reformasi struktural) yang biasa terjadi pada suatu negara yang sedang mengakselerasi pertumbuhan ekonomi5. Dengan urbanisasi secara besar-besaran penduduk pedesaan ke kota-kota baru, pemerintah Tiongkok berharap mewujudkan perekonomian yang lebih berbasis konsumsi. Hal ini akan menjadi faktor penyeimbang pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang selama ini terlalu bergantung pada investasi dan ekspor.
Tingginya tingkat urbanisasi kemudian justru memicu dampak lanjutan berupa kenaikan ekspektasi terhadap penyediaan properti di kota-kota baru yang terlalu cepat dibanding jumlah yang dibutuhkan. Kelebihan supply properti residensial perumahan ini kemudian menjadi perhatian dari pemerintah. Pada 11th Central Finance and Economy Leading Group Meeting pada 10 November 2015, Presiden Xi Jinping menekankan bahwa pemerintah akan mempercepat reformasi struktural di sisi supply. Hingga tahun 2016, rata-rata tingkat ketersediaan properti di kota-kota baru yang disediakan oleh pemerintah adalah untuk 18 juta orang pertahun, sementara tingkat kebutuhan properti hanya sekitar 8 juta orang pertahun6. Penyediaan properti yang melebihi kebutuhan ini kemudian menyebabkan munculnya ghost cities yang terlihat dari banyaknya kota-kota baru yang memiliki gedung perkantoran, apartemen, dan taman kota yang indah namun sedikit atau bahkan tidak berpenghuni.
2. Struktur Kepemilikan Properti
Berdasarkan the Land Administrative Law, pemerintah Tiongkok mengatur kepemilikan lahan dan properti secara berbeda di wilayah pedesaan dengan perkotaan. Pada tabel berikut disajikan beberapa penjelasan pengaturan kepemilikan lahan di Tiongkok.
Sementara ditinjau dari penggunaan, struktur kepemilikan properti di Tiongkok terdiri dari 2 (dua) tipe yaitu:
- Properti tipe residensial dengan harga yang terjangkau, di mana secara tata kelola harus ditempati oleh pemiliknya dan tidak dapat diperjualbelikan sebagai investasi. Harga penjualan properti jenis ini hanya diperbolehkan maksimal sebesar 5% di atas biaya konstruksi.
- Properti tipe komoditas, di mana secara tata kelola dapat diperjualbelikan sebagai investasi. Properti jenis ini lebih diminati oleh masyarakat Tiongkok mengingat populasi penduduk yang besar sehingga dianggap dapat menjamin adanya permintaan yang berkelanjutan. Selain itu properti tipe ini juga dianggap sebagai bentuk investasi yang lebih aman dibanding bentuk investasi lainnya karena lebih mudah dijual, kecuali untuk kota di tier-3 dan tier-4 yang memiliki peraturan penjualan properti yang lebih ketat.
Dengan struktur kepemilikan properti yang lebih berorientasi pada investasi dan mesin pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada pembangunan properti, maka secara perlahan membentuk pola spasial perkotaan Tiongkok. Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan munculnya persaingan di antara kota-kota baru. Karena ketatnya persaingan antar kota, masing-masing pemerintah daerah kemudian menerapkan kebijakan penyewaan lahan kepada investor dan pengembang properti dengan harga murah dan bersubsidi. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan spill over effect berupa meningkatnya permintaan terhadap properti sekaligus menjadi pendapatan bagi pemerintah daerah untuk membiayai penyediaan layanan publik7. Investor pada akhirnya kemudian lebih memilih lahan untuk dijadikan properti tipe komoditas karena didorong oleh adanya margin yang cukup tinggi antara harga tanah perkotaan dan pedesaan.
Sesuai dengan peraturan yang telah disajikan pada table di atas, lahan di wilayah pedesaan harus dimiliki secara kolektif dan kemudian dapat dibangun oleh pemerintah daerah sebagai urban construction land. Lahan pedesaan yang sudah mendapatkan izin pembangunan sebagai urban construction land kemudian dapat dijual dengan harga 40 (empat puluh) kali lipat lebih tinggi. Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dan investor dari pengembangan properti tipe komoditas jauh lebih besar dibanding pendapatan dari pengembangan properti tipe residensial. Sekitar 40% kontribusi atas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah berasal dari pengembangan properti tipe komoditas8. Di sisi lain, kebijakan pemerintah pusat yang menjadikan PDRB sebagai indikator utama pencapaian kinerja pemerintah daerah secara tidak langsung telah menyebabkan pemerintah daerah hanya memfokuskan pendapatan dari pengembangan properti tipe komoditas.
Investor yang melakukan pengembangan lahan properti tipe komoditas juga diberi mandat untuk membangun kawasan sekitarnya. Investor tidak diperbolehkan hanya mendiamkan lahan kosong dan menunggu peningkatan harga di kawasan dimaksud. Peraturan ini kemudian menciptakan kondisi di mana para investor dipaksa untuk membangun kawasan tersebut secara cepat tanpa adanya permintaan riil sehingga pada akhirnya menciptakan ghost cities di kota-kota baru yang tidak berpenghuni dalam kawasan urban construction land tersebut.
Sesuai dengan peraturan yang telah disajikan pada table di atas, lahan di wilayah pedesaan harus dimiliki secara kolektif dan kemudian dapat dibangun oleh pemerintah daerah sebagai urban construction land. Lahan pedesaan yang sudah mendapatkan izin pembangunan sebagai urban construction land kemudian dapat dijual dengan harga 40 (empat puluh) kali lipat lebih tinggi. Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dan investor dari pengembangan properti tipe komoditas jauh lebih besar dibanding pendapatan dari pengembangan properti tipe residensial. Sekitar 40% kontribusi atas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah berasal dari pengembangan properti tipe komoditas8. Di sisi lain, kebijakan pemerintah pusat yang menjadikan PDRB sebagai indikator utama pencapaian kinerja pemerintah daerah secara tidak langsung telah menyebabkan pemerintah daerah hanya memfokuskan pendapatan dari pengembangan properti tipe komoditas.
Investor yang melakukan pengembangan lahan properti tipe komoditas juga diberi mandat untuk membangun kawasan sekitarnya. Investor tidak diperbolehkan hanya mendiamkan lahan kosong dan menunggu peningkatan harga di kawasan dimaksud. Peraturan ini kemudian menciptakan kondisi di mana para investor dipaksa untuk membangun kawasan tersebut secara cepat tanpa adanya permintaan riil sehingga pada akhirnya menciptakan ghost cities di kota-kota baru yang tidak berpenghuni dalam kawasan urban construction land tersebut.
Kebijakan Pemerintah Tiongkok
Untuk mengatasi permasalahan ghost cities, pemerintah Tiongkok selanjutnya mengimplementasikan kebijakan New-style Urbanization Plan (NUP) pada tahun 2014 sebagai pedoman pengembangan properti di kota-kota baru di Tiongkok. Meskipun hingga saat ini belum terlihat dampak signifikan, langkah Tiongkok melalui kebijakan NUP dipandang sebagai suatu pendekatan baru urbanisasi yang efisien, inklusif, dan berkelanjutan. Tujuan dari implementasi kebijakan ini adalah mendorong urbanisasi penduduk dengan lebih terencana sebagai langkah untuk memacu aktivitas ekonomi domestik. Target dari kebijakan ini adalah mewujudkan urbanisasi 100 juta penduduk, sehingga diharapkan, pada tahun 2020, sebanyak 60% dari total penduduk Tiongkok di pedesaan telah menjadi warga perkotaan. Pemerintah Tiongkok memandang bahwa urbanisasi secara besar-besaran adalah potensi untuk mendorong permintaan pasar domestik guna menghadapi tantangan perekonomian global. Terdapat 6 (enam) prioritas kebijakan NUP yaitu :
- Mereformasi pengelolaan lahan dan kelembagaan mengingat sebagian besar perluasan urbanisasi pada beberapa tahun terakhir dilakukan melalui konversi lahan pedesaan.
- Mereformasi sistem pendataan rumah tangga (sistem hukou) guna memberikan akses kesetaraan pelayanan publik yang berkualitas bagi seluruh penduduk.
- Mengokohkan landasan pembiayaan proyek perkotaan yang berkelanjutan serta menciptakan good governance di lingkungan pemerintah daerah.
- Mereformasi perencanaan dan perancangan perkotaan dengan memanfaatkan lahan yang ada secara lebih baik melalui penataan yang lebih fleksibel, dengan pengembangan tanah yang lebih beragam dan berukuran lebih kecil.
- Mengelola dan mewujudkan program urbanisasi hijau yang memungkinkan pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
- Meningkatkan sistem evaluasi kinerja pejabat pemerintah daerah sehingga dapat mendukung perluasan urbanisasi yang lebih efisien, inklusif, dan berkelanjutan.
Berdasar enam prioritas tersebut, maka kebijakan NUP diimplementasikan oleh pemerintah Tiongkok dengan meletakkan penduduk pada inti urbanisasi yang disertai oleh dukungan inovasi institusional dan sistemik. Pemerintah Tiongkok juga telah mempercepat proses reformasi sistem fiskal dan perpajakan, serta mekanisme investasi dan pembiayaan, mendukung penerapan model kemitraan pemerintah-swasta (KPS) guna membantu terciptanya mekanisme pembiayaan perkotaan yang beragam dan berkelanjutan. Pemerintah Tiongkok secara bertahap berusaha mengatasi masalah layanan publik mendasar bagi pendatang dari kawasan perdesaan, dan menciptakan suatu mekanisme yang menghubungkan sistem pembayaran keuangan bagi pendatang yang ingin mentransfer uang ke daerah pedesaan.
Lesson Learned
Fenomena ghost cities di Tiongkok memberikan pelajaran bahwa implementasi kebijakan urbanisasi serta pengembangan wilayah melalui pembangunan infrastruktur dan properti secara besar-besaran perlu mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat sebagai subyek pertumbuhan perekonomian. dan tidak hanya berambisi pada tujuan mewujudkan konsumsi masyarakat perkotaan. Dengan kondisi pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pada beberapa tahun terakhir mengalami perlambatan, diperlukan strategi untuk mengembangkan wilayah baru yang lebih berkesinambungan dengan memperhatikan keseimbangan antara supply dan demand.
Referensi :
- Grove, H. dan Clouse, M., “Corporate Governance and Chinese Ghost Cities”, vol. 13, issue 4, diakses dari http://www.virtusinterpress.org/IMG/pdf/cocv13i4c1p10-2.pdf.
- Moreno, E.L dan Blanco, Z.G, “Ghost Cities and Empty Houses: Wasted Prosperity”, American International Journal of Social Science vol.3 no 2, March 2014.
- MacCarthy, N., “China Used More Concrete In 3 Years Than The U.S. Used In The Entire 20th Century”.
- Bai, X.; Shi, P.; Liu, Y., “Realizing China’s Urban Dream”, 509, p. 158–160, Nature 2014.
- Lewis, A., “Economic Development with Unlimited Supplies of Labour”, Manchester School of Economics and Social Studies (22): 139–191, 1954.
- Data National Bureau of Statistics of China tahun 2016.
- Fulong, W., Planning for Growth: Urban and Regional Planning in China, op. cit., pp. 50-72.
- Shepard, W., “Ghost Cities of China: The Story of Cities Without People in the World's Most Populated Country”, Zed Books Ltd., 2015.