Kabar Mu Tiongkok
Temukan Kami di Sosial Media :
  • Beranda
  • Berita
  • Wawasan
  • Risalah Netizen
    • Refleksi Netizen
    • Reportase Netizen
    • Opini Netizen
    • Romadhan di Tiongkok
    • GongXi-Tiongkok
  • Aktivitas
    • School Of Journalism
    • Agenda
    • Lomba Foto >
      • form-lomba-foto
      • Poling Lomba Foto
    • Polling Puisi Favorite >
      • Puisi Favorite 2018
    • Polling
    • Lomba Ramadhan >
      • Pemenang Lomba
      • Polling Video-Favorite
  • Tamadun
    • Karya Fiksi
    • Galeri Foto
    • Karya Video
    • Karya Puisi
    • Kantin Kartini
  • Kontak Kami
  • Organisasi
  • Muhibah Ukuwah
    • NANJING >
      • Poling Lomba Foto Nanjing
      • Foto Ukuwah Nanjing
    • HANGZHOU >
      • Pooling Lomba Foto Hangzhou
      • Foto Ukhuwah Hangzhou
    • SHANGHAI >
      • Foto Ukhuwah Shanghai
  • Tiongkonomi
  • Kemitraan
    • UHAMKA - Pengantar TI
    • UHAMKA - Etika Profesi
    • UHAMKA - Digital Sistem
    • UHAMKA - Praktikum Digital

Fenomena Ghost Cities di Tiongkok

6/5/2019

1 Comment

 
Picture

Fenomena Ghost Cities di Tiongkok

(Tiongkonomi : serial pembahasan pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang dibahas khusus oleh pakar ekonomi dari Bank Indonesia Kantor Perwakilan Beijing)
“Urbanization is a powerful engine for China's sustained and healthy economic growth, but urbanization is not about building big, sprawling cities. We should aim to avoid the typical urban malady where skyscrapers coexist with shanty towns”
(PM Le Keqiang dalam Siaran Pers Resmi Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok tanggal 18 Maret 2013)
​


Awal Mula Fenomena Ghost Cities
Abad 21 menjadi titik awal akselerasi pesatnya pertumbuhan perekonomian Tiongkok hingga akhirnya mampu mencapai dua digit. Ditopang oleh sektor industri dan perdagangan, pemerintah Tiongkok memacu perekonomian domestik untuk menguasai berbagai lini industri mulai dari komunikasi, komputer, otomotif, hingga barang elektronik. Guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, pemerintah Tiongkok selanjutnya melakukan kebijakan pembangunan secara besar-besaran di sektor infrastruktur dan properti baik untuk bisnis dan perkantoran maupun untuk residensial. Pemerintah Tiongkok juga melakukan kebijakan deregulasi dengan melonggarkan pembatasan investasi swasta di sektor properti untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di kota-kota yang diharapkan menjadi pusat ekonomi baru. Pembangunan sektor properti kemudian menjadi salah satu motor utama perekonomian Tiongkok, di mana 50% Produk Domestik Bruto (PDB) Tiongkok disumbangkan oleh fixed asset investment assets dengan 20% berasal dari kontribusi sektor properti berupa investasi properti baru dan 10% berasal dari penjualan properti baru.
Picture
Dalam kurun waktu 65 tahun, sebanyak 600 kota baru telah dibangun di wilayah-wilayah yang sebelumnya adalah pedesaan Tiongkok dengan rata-rata pembangunan lahan untuk properti residensial seluas 300 km² pertahun.   Selain proses pembangunan yang masif, Tiongkok juga mampu membangun infrastruktur dan properti dengan tempo cepat. Beberapa bangunan properti perkantoran dan apartemen bahkan dibangun kurang dari sebulan. Sebagai contoh apartemen Mini Sky City di propinsi Hunan yang dibangun hanya dalam waktu 19 hari. Batas masa pakai properti di Tiongkok juga tergolong lebih singkat dibanding negara lain. Properti yang telah memiliki masa pakai selama 25 tahun harus dilakukan renovasi total atau digantikan dengan pembangunan bangunan baru. Ledakan pembangunan properti yang meluas juga tercermin dari besarnya penggunaan bahan konstruksi seperti semen oleh Tiongkok yang hanya dalam waktu tiga tahun telah jauh melampaui penggunaan selama satu abad oleh AS.

Secara umum, definisi ghost cities atau guicheng (鬼城) di Tiongkok dapat dijelaskan dengan mengacu pada standar densitas populasi normal yang dikeluarkan oleh China’s Ministry of Housing and Urban Rural Development (MoHURD), yaitu sebesar 10 ribu penduduk per km².

​
Dari standar tersebut, maka kota yang memiliki densitas populasi di bawah separuh dari densitas populasi normal atau di bawah 5 ribu penduduk per km² dapat dikategorikan sebagai ghost cities. Definisi ghost cities juga bukan mencakup kota yang semula memiliki densitas populasi normal namun kemudian perlahan ditinggalkan karena krisis ekonomi atau konflik sosial. Berdasarkan definisi tersebut China Urban Construction Statistical Yearbook 2015 mempublikasikan data 50 (lima puluh) kota di Tiongkok yang dikategorikan sebagai ghost cities. Kota-kota ini terdiri dari 42 (empat puluh dua) prefecture level cities (setingkat kotamadya) dan 8 (delapan) county level cities (setingkat kabupaten). Sebagian besar dari ghost cities tersebut terletak di bagian timur Tiongkok, di mana kota-kota tersebut sebelumnya adalah wilayah pedesaan yang bertumpu pada hasil sumber daya alam dan pertanian sebagai sumber perekonomian.

Picture
Hingga saat ini, ghost cities terbesar Tiongkok berada di propinsi Dongsheng, yaitu kota Ordos Kangbashi yang dibangun  sejak 2004  dan dibuka  untuk digunakan  pada tahun  2009. Sebelum proses pembangunan, Ordos Kangbashi termasuk daerah pedesaan miskin dan tertinggal di Tiongkok dengan populasi hanya 1,400 orang. Pemerintah Tiongkok kemudian melakukan pengembangan wilayah tersebut seluas 350 km² atau setara dengan luas kota Surabaya, Rencana awal pengembangan Ordos Kangbashi adalah dapat digunakan untuk menampung satu juta penduduk. Seluruh prasarana untuk menunjang aktivitas keseharian masyarakat berupa apartemen, sekolah, pasar, gedung perkantoran, stadion olahraga, dan bandara telah lengkap dibangun dan siap digunakan. Namun demikian, hingga akhir 2017, jumlah penduduk yang bersedia menempati Ordos Kangbashi hanya sekitar 100 ribu orang atau hanya memiliki densitas populasi sebanyak 285 penduduk per km². Meskipun pemerintah Tiongkok telah memberikan insentif berupa subsidi kepada masyarakat yang bersedia menempati Ordos Kangbashi, namun pada kenyataannya biaya hidup dan pajak di Ordos Kangbashi masih jauh lebih tinggi bahkan dibanding kota besar seperti Beijing. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Tiongkok enggan menempati kota tersebut.
Faktor Penyebab Ghost Cities
Akar permasalahan ghost cities sebagaimana yang terjadi di Ordos Kangbashi disebabkan oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu (1) tingkat urbanisasi di Tiongkok yang terlalu cepat, dan (2) struktur kepemilikan properti di Tiongkok itu sendiri. Kedua faktor tersebut saling terkait dan hingga saat ini masih menjadi fokus pemerintah Tiongkok.
1. Tingkat Urbanisasi Tiongkok
Kebijakan pembangunan properti Tiongkok yang semakin meluas telah mendorong munculnya urbanisasi besar-besaran yang ditandai oleh migrasi puluhan juta penduduk pedesaan ke kota-kota baru untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam tiga dasawarsa terakhir, pertumbuhan rata-rata tahunan urbanisasi di Tiongkok meningkat signifikan dari 12,9% menjadi 52,6%4. Kenaikan urbanisasi di Tiongkok pada dasarnya adalah fase ketiga (setelah industrialisasi dan reformasi struktural) yang biasa terjadi pada suatu negara yang sedang mengakselerasi pertumbuhan ekonomi5. Dengan urbanisasi secara besar-besaran penduduk pedesaan ke kota-kota baru, pemerintah Tiongkok berharap mewujudkan perekonomian yang lebih berbasis konsumsi. Hal ini akan menjadi faktor penyeimbang pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang selama ini terlalu bergantung pada investasi dan ekspor.
Picture
Tingginya tingkat urbanisasi kemudian justru memicu dampak lanjutan berupa kenaikan ekspektasi terhadap penyediaan properti di kota-kota baru yang terlalu cepat dibanding jumlah yang dibutuhkan. Kelebihan supply properti residensial perumahan ini kemudian menjadi perhatian dari pemerintah. Pada 11th  Central Finance and Economy Leading Group Meeting pada 10 November 2015, Presiden Xi Jinping menekankan bahwa pemerintah akan mempercepat reformasi struktural di sisi supply. Hingga tahun 2016, rata-rata tingkat ketersediaan properti di kota-kota baru yang disediakan oleh pemerintah adalah untuk 18 juta orang pertahun, sementara tingkat kebutuhan properti hanya sekitar 8 juta orang pertahun6. Penyediaan properti yang melebihi kebutuhan ini kemudian menyebabkan munculnya ghost cities yang terlihat dari banyaknya kota-kota baru yang memiliki gedung perkantoran, apartemen, dan taman kota yang indah namun sedikit atau bahkan tidak berpenghuni.
2. Struktur Kepemilikan Properti
Berdasarkan the Land Administrative Law, pemerintah Tiongkok mengatur kepemilikan lahan dan properti secara berbeda di wilayah pedesaan dengan perkotaan. Pada tabel berikut disajikan beberapa penjelasan pengaturan kepemilikan lahan di Tiongkok.

Picture
Sementara ditinjau dari penggunaan, struktur kepemilikan properti di Tiongkok terdiri dari 2 (dua) tipe yaitu:
  • Properti tipe residensial dengan harga yang terjangkau, di mana secara tata kelola harus ditempati oleh pemiliknya dan tidak dapat diperjualbelikan sebagai investasi. Harga penjualan properti jenis ini hanya diperbolehkan maksimal sebesar 5% di atas biaya konstruksi.
  • Properti tipe komoditas, di mana secara tata kelola dapat diperjualbelikan sebagai investasi. Properti jenis ini lebih diminati oleh masyarakat Tiongkok mengingat populasi penduduk yang besar sehingga dianggap dapat menjamin adanya permintaan yang berkelanjutan. Selain itu properti tipe ini juga dianggap sebagai bentuk investasi yang lebih aman dibanding bentuk investasi lainnya karena lebih mudah dijual, kecuali untuk kota di tier-3 dan tier-4 yang memiliki peraturan penjualan properti yang lebih ketat.
Dengan struktur kepemilikan properti yang lebih berorientasi pada investasi dan mesin pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada pembangunan properti, maka secara perlahan membentuk pola spasial perkotaan Tiongkok. Kondisi tersebut pada akhirnya menyebabkan munculnya persaingan di antara kota-kota baru. Karena ketatnya persaingan antar kota, masing-masing pemerintah daerah kemudian menerapkan kebijakan penyewaan lahan kepada investor dan pengembang properti dengan harga murah dan bersubsidi. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan spill over effect berupa meningkatnya permintaan terhadap properti sekaligus menjadi pendapatan bagi pemerintah daerah untuk membiayai penyediaan layanan publik7. Investor pada akhirnya kemudian lebih memilih lahan untuk dijadikan properti tipe komoditas karena didorong oleh adanya margin yang cukup tinggi antara harga tanah perkotaan dan pedesaan.

Sesuai dengan peraturan yang telah disajikan pada table di atas, lahan di wilayah pedesaan harus dimiliki secara kolektif dan kemudian dapat dibangun oleh pemerintah daerah sebagai urban construction land. Lahan pedesaan yang sudah mendapatkan izin pembangunan sebagai urban construction land kemudian dapat dijual dengan harga 40 (empat puluh) kali lipat lebih tinggi. Dengan demikian, pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah dan investor dari pengembangan properti tipe komoditas jauh lebih besar dibanding pendapatan dari pengembangan properti tipe residensial. Sekitar 40% kontribusi atas Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah berasal dari pengembangan properti tipe komoditas8. Di sisi lain, kebijakan pemerintah pusat yang menjadikan PDRB sebagai indikator utama pencapaian kinerja pemerintah daerah secara tidak langsung telah menyebabkan pemerintah daerah hanya memfokuskan pendapatan dari pengembangan properti tipe komoditas.

Investor yang melakukan pengembangan lahan properti tipe komoditas juga diberi mandat untuk membangun kawasan sekitarnya. Investor tidak diperbolehkan hanya mendiamkan lahan kosong dan menunggu peningkatan harga di kawasan dimaksud. Peraturan ini kemudian menciptakan kondisi di mana para investor dipaksa untuk membangun kawasan tersebut secara cepat tanpa adanya permintaan riil sehingga pada akhirnya menciptakan ghost cities  di kota-kota baru yang tidak berpenghuni dalam kawasan urban construction land tersebut.


Kebijakan Pemerintah Tiongkok

Untuk mengatasi permasalahan ghost cities, pemerintah Tiongkok selanjutnya mengimplementasikan kebijakan New-style Urbanization Plan (NUP) pada tahun 2014 sebagai pedoman pengembangan properti di kota-kota baru di Tiongkok. Meskipun hingga saat ini belum terlihat dampak signifikan, langkah Tiongkok melalui kebijakan NUP dipandang sebagai suatu pendekatan baru urbanisasi yang efisien, inklusif, dan berkelanjutan. Tujuan dari implementasi kebijakan ini adalah mendorong urbanisasi penduduk dengan lebih terencana sebagai langkah untuk memacu aktivitas ekonomi domestik. Target dari kebijakan ini adalah mewujudkan urbanisasi 100 juta penduduk, sehingga diharapkan, pada tahun 2020, sebanyak 60% dari total penduduk Tiongkok di pedesaan telah menjadi warga perkotaan. Pemerintah Tiongkok memandang bahwa urbanisasi secara besar-besaran adalah potensi untuk mendorong permintaan pasar domestik guna menghadapi tantangan perekonomian global. Terdapat 6 (enam) prioritas kebijakan NUP yaitu :
  1. Mereformasi pengelolaan lahan dan kelembagaan mengingat sebagian besar perluasan urbanisasi pada beberapa tahun terakhir dilakukan melalui konversi lahan pedesaan.
  2. Mereformasi  sistem  pendataan  rumah  tangga  (sistem  hukou)  guna  memberikan akses kesetaraan pelayanan publik yang berkualitas bagi seluruh penduduk.
  3. Mengokohkan landasan pembiayaan proyek perkotaan yang berkelanjutan serta menciptakan good governance di lingkungan pemerintah daerah.
  4. Mereformasi perencanaan dan perancangan perkotaan dengan memanfaatkan lahan yang ada secara lebih baik melalui penataan yang lebih fleksibel, dengan pengembangan tanah yang lebih beragam dan berukuran lebih kecil.
  5. Mengelola   dan   mewujudkan   program   urbanisasi   hijau   yang   memungkinkan pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
  6. Meningkatkan sistem evaluasi kinerja pejabat pemerintah daerah sehingga dapat mendukung perluasan urbanisasi yang lebih efisien, inklusif, dan berkelanjutan.
Berdasar enam prioritas tersebut, maka kebijakan NUP diimplementasikan oleh pemerintah Tiongkok dengan meletakkan penduduk pada inti urbanisasi yang disertai oleh dukungan inovasi institusional dan sistemik. Pemerintah Tiongkok juga telah mempercepat proses reformasi sistem fiskal dan perpajakan, serta mekanisme investasi dan pembiayaan, mendukung penerapan model kemitraan pemerintah-swasta (KPS) guna membantu terciptanya mekanisme pembiayaan perkotaan yang beragam dan berkelanjutan. Pemerintah Tiongkok secara bertahap berusaha mengatasi masalah layanan publik mendasar bagi pendatang dari kawasan perdesaan, dan menciptakan suatu mekanisme yang menghubungkan sistem pembayaran keuangan bagi pendatang yang ingin mentransfer uang ke daerah pedesaan.
​

Lesson Learned

Fenomena ghost cities di Tiongkok memberikan pelajaran bahwa implementasi kebijakan urbanisasi  serta   pengembangan   wilayah   melalui   pembangunan   infrastruktur   dan properti   secara   besar-besaran   perlu   mempertimbangkan   kondisi   sosial   masyarakat sebagai subyek pertumbuhan perekonomian. dan tidak hanya berambisi pada tujuan mewujudkan konsumsi masyarakat perkotaan. Dengan kondisi pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang pada beberapa tahun terakhir mengalami perlambatan, diperlukan strategi untuk  mengembangkan  wilayah  baru  yang  lebih  berkesinambungan  dengan memperhatikan keseimbangan antara supply dan demand.
Referensi :
  1. Grove, H. dan Clouse, M., “Corporate Governance and Chinese Ghost Cities”, vol. 13, issue 4, diakses dari http://www.virtusinterpress.org/IMG/pdf/cocv13i4c1p10-2.pdf.
  2. Moreno, E.L dan Blanco, Z.G, “Ghost Cities and Empty Houses: Wasted Prosperity”, American International Journal of Social Science vol.3 no 2, March 2014.
  3. MacCarthy, N., “China Used More Concrete In 3 Years Than The U.S. Used In The Entire 20th Century”.
  4. Bai, X.; Shi, P.; Liu, Y., “Realizing China’s Urban Dream”, 509, p. 158–160, Nature 2014.
  5. Lewis, A., “Economic Development with Unlimited Supplies of Labour”, Manchester School of Economics and Social Studies (22): 139–191, 1954.
  6. Data National Bureau of Statistics of China tahun 2016.
  7. Fulong, W., Planning for Growth: Urban and Regional Planning in China, op. cit., pp. 50-72.
  8. Shepard, W., “Ghost Cities of China: The Story of Cities Without People in the World's Most Populated Country”, Zed Books Ltd., 2015.
1 Comment

Daya Tahan Tiongkok dalam Menghadapi Perang Dagang

2/12/2018

3 Comments

 
Picture
Konflik perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dalam beberapa bulan terakhir masih belum menunjukkan perbaikan dan kepastian arah penyelesaiannya. Indikasi tensi konflik dalam jangka menengah cenderung meningkat. Isu proteksionisme mengemuka sejalan dengan strategi ekonomi masing-masing negara. Kedua negara saling membalas pengenaan tarif impor dengan cakupan produk dan nilai yang semakin besar. Pemerintah Tiongkok menerbitkan White Paper sebagai upaya Beijing untuk mengklarifikasi posisi Tiongkok dalam kerjasama perdagangan AS-Tiongkok. Tiongkok konsisten membalas penerapan tarif impor AS (tit-for-tat) sehingga meningkatkan risiko ketidakpastian pemulihan ekonomi global. Selain dampak langsungnya, kekhawatiran semakin besar terkait dampak tidak langsung yakni seberapa besar dampaknya terhadap global value chains, termasuk seberapa besar potensi supply chain  yang keluar  dari  Tiongkok  dan meluasnya  proteksionisme  serta  aliansi  blok perdagangan.

"As a result, trade and economic friction between the two sides has escalated quickly over a short period of time, causing serious damage to the economic and trade relations which have developed over the years through the collective work of the two governments and the two peoples, and posing a grave threat to the multilateral trading system and the principle of free trade"

(The State Council of The People’s Republic of China–White Paper, “The Facts and China’s
Position on China-US Trade Friction,” pp.4, 24 September 2018)​
​

​Eskalasi Konflik Perdagangan

Eskalasi perang dagang AS dan Tiongkok  tidak terlepas dari hubungan ekonomi kedua negara yang dalam beberapa bulan terakhir cenderung memburuk.  Beberapa event yang mengindikasikan hal tersebut diantaranya:
  1. Pada tanggal 22 September 2018, Pemerintah Tiongkok secara resmi menolak invitasi AS untuk melakukan negosiasi perdagangan, setelah sehari sebelumnya Pemerintah AS mengumumkan pengenaan sanksi kepada militer Tiongkok terkait pembelian senjata dari Rusia;
  2. Berdasarkan USMCA (US, Meksiko, Kanada) agreement pada tanggal 1 Oktober 2018 terdapat pengaturan yang melarang anggotanya untuk menandatangani free trade agreement dengan non-market economies, yang diinterpretasikan Tiongkok sebagai strategi AS untuk mengisolasi Tiongkok.
Persepsi Beijing mengenai harapan negosiasi perang dagang nampak turun. Diperkirakan pengenaan tarif AS akan painful meskipun masih manageable. Tiongkok nampak akan menunggu bagaimana dampak tarif tersebut terhadap kedua negara dibandingkan menyetujui semua terms yang diminta oleh AS. Tensi non perdagangan juga membatasi peluang negosiasi.
​
Eskalasi perang dagang ini sudah dimulai sejak Januari 2018. Pada saat itu AS mengumumkan tarif impor solar panel dan mesin cuci dan mengambil sikap konfrontatif dalam hubungan perdagangan dengan Tiongkok. Pada bulan Maret 2018, AS mengumumkan tarif impor baja dan aluminium diikuti pada Mei 2018 yaitu 25% tarif impor dari Tiongkok senilai USD50 miliar. Selanjutnya AS mengumumkan pemberlakuan tarif 10% tambahan USD200 miliar dari impor Tiongkok di awal September dan 25% yang akan diberlakukan di awal Januari 2019.

​Tiongkok merespon dengan pengenaan tarif atas produk AS. Di bulan April 2018, Tiongkok mengenakan tarif atas USD3 miliar termasuk 15% terhadap 128 produk AS yang berbeda dan 25% untuk 8 (delapan) produk tertentu. Berikutnya Tiongkok mengenakan tarif impor lainnya ke produk AS termasuk kedelai. Di bulan Juni 2018, Tiongkok mengumumkan pengenaan tarif 25% untuk USD50 miliar impor barang dengan fokus daging sapi, unggas, tembakau dan produk otomotif. Pemerintah Tiongkok juga merespon dengan tindakan kualitatif seperti penolakan merger senilai USD44 miliar antara Qualcomm dan NXP yang dinilai merupakan stance konfrontatif dengan AS.
Meningkatnya Protesionisme
 
Meskipun perekonomian global sejauh ini masih cukup resilien terhadap konflik perang dagang, namun kenaikan tensi konflik ini berdampak pada volatilitas di pasar keuangan dan isu proteksionisme yang menguat secara luas. Kebijakan proteksionisme Trump diperkirakan diilhami retorika tahun 1980-an ketika AS mengalami defisit perdagangan dengan Jepang. Saat ini AS lebih fokus pada defisit perdagangan dengan Tiongkok, dan untuk tingkat yang lebih rendah dengan Meksiko dan Eropa. Namun demikian, tujuan utama dari Pemerintahan Trump nampak tidak mudah dipahami. Di satu sisi selama kampanyenya, Trump mengkritisi defisit perdagangan yang besar dengan Tiongkok dan mitra dagang lainnya. Akan tetapi di sisi lain beberapa pejabat pemerintahan AS, seperti dari US Trade Representatif, Trade & Industrial Policy, dan US Secretary on Commerce, lebih fokus pada pencurian hak atas kepemilikan intelektual, dan transfer teknologi dari perusahaan multinasional kepada Tiongkok sebagai syarat untuk akses pasar.

Sementara itu kebijakan Tiongkok relatif lebih jelas yaitu untuk menjaga status quo pengaturan perdagangan saat ini dan menghindari perang dagang dalam skala yang besar. Secara umum saat ini Tiongkok, sedang berupaya untuk menghindari middle income trap dengan terus mendorong strategi ekonomi industri dalam jangka menengah sehingga dapat memperoleh status sebagai salah satu negara yang maju. Guna mencapai hal tersebut, Pemerintah Tiongkok menjalankan serangkaian strategi jangka menengah-panjang seperti Belt and Road Initiative dan Made in China 2025, guna mencapai tujuan socialist modernization di tahun 2035.

Pada tanggal 24 September 2018, Tiongkok menerbitkan White Paper berjudul “The Facts and China’s Position on China-US Trade Friction,” yang menjelaskan mengenai posisi Beijing terhadap perang dagang.  White paper ini berisi 6 (enam) bagian4 yaitu: (1) Hubungan saling menguntungkan dan memperoleh win-win cooperation antara Tiongkok dengan AS di bidang perdagangan dan ekonomi; (2) Klarifikasi fakta mengenai hubungan perdagangan dan ekonomi Tiongkok–AS; (3) Praktik proteksionisme dagang dari Pemerintahan AS; (4) Praktek bullying dagang dari Pemerintahan AS; (5) Kerugian dari praktek yang tidak tepat dari pemerintah AS kepada ekonomi global; dan (6) Posisi Tiongkok. Secara umum, White Paper tersebut menekankan Tiongkok telah merespon dari perspektif kepentingan kedua pihak dan world trade order, mengupayakan penyelesaian perselisihan melalui dialog dan konsultasi, dan
menjawab concern AS dengan kesabaran dan niat baik.

Ironisnya, beberapa tujuan dari Tiongkok dan Pemerintahan AS ada yang sejalan. Tiongkok akan bergeser dari fokus pertumbuhan ekspor ke konsumsi domestik, dengan transisi dari produsen dengan low-cost ke value chain, disamping akan meliberalisasi suku bunga, nilai tukar dan akan membuka arus modal yang saat ini masih terbatas. Sebagai dampaknya, akan terjadi surplus perdagangan yang lebih rendah dengan AS, dan seharusnya menjadi faktor positif bagi AS. Namun demikian, dengan proses peralihan ke value chain pada manufaktur dan industri dengan teknologi tinggi, akan meningkatkan concern dari AS terkait dengan intellectual properti protection dan kebutuhan industri Tiongkok yang perlu transfer teknologi.

Secara keseluruhan, interaksi antara Tiongkok dan AS pada kebijakan perdagangan, bersamaan dengan tujuan strategis dari masing-masing negara, mengindikasikan eskalasi tit-for-tat. Beberapa argumen pendukungnya diantaranya, pertama hubungan jangka menengah antara kedua negara lebih banyak di sisi konfrontasi-nya dibandingkan dengan kooperatif-nya dan kecil kemungkinan dalam jangka pendek tercapai kesepakatan dalam perdagangan barang mengingat masih cukup besarnya concern seputar teknologi, intellectual property dan artificial intelligence. Kedua, naiknya eskalasi tit-for tat juga merupakan rational outcome dari strategi masing-masing negara. Dengan tidak adanya kerjasama internasional, dimana masing-masing negara memiliki komitmen bersama, maka strategi yang paling optimal adalah melalui pengenaan nonzero tariff rate. Ketiga, upaya mengurangi tarif tanpa komitmen dari mitra dagang untuk melakukannya, merupakan tindakan yang kurang kredibel. Jika suatu negara mengenakan tarif yang lebih tinggi, akan memicu negara lain bertindak secara resiprokal.

Namun demikian, oleh karena perbedaan struktur biaya produksi kedua negara, dimungkinkan bahwa response tarif balasan tidak selalu sama. Pengenaan tarif akan meningkatkan marginal cost of production. Dalam hal ini Tiongkok memiliki advantage karena memiliki cost of production yang lebih rendah, sehingga AS perlu mengenakan tarif impor yang lebih tinggi daripada yang diperlukan oleh Tiongkok guna menyamakan struktur cost. Namun demikian, cost differential kedua negara mengalami penurunan signifikan. Di awal tahun 2000- an, upah rata-rata pekerja manufaktur di AS sekitar 20-25 kali dibandingkan Tiongkok, sementara di tahun 2016-2017 perbedaannya hanya sekitar 4 (empat) kali. Hal tersebut yang mendorong Pemerintah Tiongkok untuk mengakselerasi sektor bernilai tambah tinggi sebagai bagian dari kebijakan Made in China 2025 Initiative.

Picture

​Dampak Tarif Terhadap Perdagangan Global

​Perdagangan global menghubungkan ekonomi antar negara dan menjadi salah satu driver dari pertumbuhan ekonomi dunia. Data dari World Bank menunjukkan ketergantungan ekonomi internasional terhadap perdagangan global meningkat dari 17,5% di tahun 1960 menjadi 52% di tahun 2017.
Picture
Dengan pengenaan tarif oleh AS akan berdampak pada terhambatnya aliran perdagangan dunia yang akan mempengaruhi pemulihan ekonomi global. Pengenaan ini akan diikuti dengan eskalasi tit-for-tat yang mempengaruhi penurunan perdagangan global. Menurut World Bank kenaikan tarif secara broad-based akan menurunkan perdagangan dunia sebesar 9% di tahun 2020. Dampak ini akan lebih besar pada negara emerging market dan developing economies khususnya yang memiliki keterikatan perdagangan dan pasar keuangan dengan AS. Lebih lanjut menurut WTO, jika tarif akan kembali ke level sebelum GATT/WTO, maka pertumbuhan ekonomi global akan terkontraksi sebesar 2,5% dan lebih dari 60% perdagangan global akan menghilang, sehingga membawa dampak yang lebih serius dibandingkan krisis keuangan global di tahun 2008.
​
Secara umum, sejumlah lembaga telah memperkirakan dampak dari perang dagang terhadap ekonomi global antara 0,6-1%. Perang dagang akan berdampak mengganggu aturan perdagangan dan ekonomi dunia, menahan pemulihan ekonomi global, merugikan kepentingan usaha dan masyarakat global dan dapat mendorong ekonomi mengarah ke resesi.
Picture
Secara khusus, dampak terhadap PDB Tiongkok diperkirakan dapat mencapai -0,9% bila persisten hingga 2019. Pada pengenaan tarif AS sebesar USD50 miliar di fase 1 yang diterapkan pada Juli-Agustus 2018 diperkirakan berdampak -0,1%, sedangkan di fase 2 untuk tarif 10% terhadap USD200 miliar yang diterapkan secara efektif tanggal 24 September 2018 (dan meningkat menjadi 25% sejak 2019) diperkirakan menurunkan PDB sebesar 0,3%, sehingga total penerapan dampak keduanya menjadi -0,4%. Kondisi lebih berisiko lagi adalah di fase 3 untuk pengenaan tarif atas USD267 miliar ekspor Tiongkok ke AS sebagaimana dikemukakan Presiden Trump yang kemungkinan akan diterapkan di Desember 2018 atau awal Januari 2019, diperkirakan PDB turun sebesar 0,5%, sehingga bila digabungkan dengan fase 1 dan 2 dapat menurunkan PDB Tiongkok sebesar 0,9%.

Lebih lanjut, Barclays memperkirakan dampak perang dagang dengan 2 (dua) skenario yaitu : (1) Bilateral trade war : apabila AS menerapkan 20% tarif pada impor Tiongkok dan selanjutnya Tiongkok meresponnya senilai yang sama; dan (2) Isolasi terhadap AS : AS menerapkan 20% tarif untuk seluruh impor barangnya, dan semua mitra dagang merespon senilai yang sama.
​
Dengan  skenario  bilateral trade war,  pertumbuhan  AS  dan  Tiongkok  diperkirakan masing-masing turun 0,8% dan 1,3%. Dibandingkan dengan nilai tahun 2017 diperkirakan impor dan ekspor AS dengan Tiongkok akan turun masing-masing USD126 miliar dan USD32 miliar. Tiongkok akan memiliki lebih rendah impor USD41 miliar dan ekspor USD114 miliar. Secara total volume perdagangan barang antara AS-Tiongkok turun USD156 miliar. Nilai ini setara dengan 0,8% PDB AS dan 1,3% PDB Tiongkok.
Selanjutnya dengan skenario isolasi terhadap AS, pertumbuhan AS dan Tiongkok diperkirakan masing-masing turun 4,9% dan 8,6%. Dibandingkan dengan nilai 2017, impor AS akan turun USD581 miliar dan ekspor turun USD384 miliar. Nilai impor Tiongkok ke AS turun USD461 miliar, dan ekspor turun USD587 miliar. Secara keseluruhan, volume perdagangan global akan turun USD2 triliun dari kedua negara tersebut. Nilai ini setara dengan penurunan 4,9% PDB AS dan 8,6% PDB Tiongkok. Hal ini juga berdampak global trade share terhadap PDB kembali ke level di bawah tahun 1990. Turunnya PDB Tiongkok yang lebih besar dengan skenario ini khususnya berasal dari penurunan PDB dunia yang berdampak penurunan arus perdagangan dan kenaikan economic cost ke negara-negara di luar mitra dagang dari AS.
Picture

​Dampak Tarif Terhadap Global Value Chain

Pengenaan tarif akan berdampak pada terganggunya global value chain. Laporan World Economic Outlook oleh IMF tanggal 17 April 2018 mengemukakan bahwa kenaikan tarif maupun hambatan perdagangan lainnya akan mengganggu global value chain, memperlambat perkembangan teknologi baru dan mengurangi produktivitas dan investasi global. Lebih lanjut, Peterson Institue for International Economies (PIIE) mengemukakan bahwa perang dagang AS- Tiongkok dapat memukul negara-negara yang melakukan ekspor intermediate inputs dan raws material ke Tiongkok.

Pada tahap awal perang dagang, dampak pengenaan tarif kepada supply chain di kawasan Asia diperkirakan terbatas. Hal ini disebabkan produk Tiongkok yang dikenakan tarif– selain produk teknologi dan elektronik–tidak memiliki linkage supply chain yang signifikan di Asia, dan banyak supplier Asia yang memproduksi barang untuk dikonsumsi di Tiongkok.

Data historis menunjukkan bahwa penerapan tarif AS dapat secara efektif memindahkan pabrikan dari Tiongkok, namun hanya yang melayani pasar AS. Dalam studi kasus anti-dumping AS terkait dengan mesin cuci dari Tiongkok, menunjukkan bahwa ekspor mesin cuci Tiongkok ke AS mengalami collapse, sementara ekspor ke negara lain dan permintaan domestik justru meningkat.

Eksposur dari sektor industri Tiongkok terhadap ekspor diperkirakan sekitar 30%. Hal ini mencakup: (1) Output industri yang langsung diekspor sebesar 13% (2% ke AS, dan 11% ke negara  lain);  (2) Dikonsumsi  secara  domestik  oleh  supply chain  yang  mendukung  ekspor sebesar 17% (3% ke AS, dan 14% ke negara lain). Besarnya pasar domestik Tiongkok merupakan salah satu faktor yang mendukung tetap bertahannya supply chain.

Dengan status sebagai world factory, maka pergeseran yang signifikan dari supply chain keluar dari Tiongkok, dapat membawa implikasi yang mendalam terhadap ekonomi global. Pendapatan perusahaan multinasional akan terdampak, rumah tangga di AS, Tiongkok dan negara lain purchasing power dan pendapatannya akan mengalami pergeseran.

Namun demikian, pengenaan tarif AS atas produk Tiongkok diindikasikan saat ini tidak berdampak besar pada supply chain domestik untuk produk tersebut. Di luar mesin cuci, terhadap produk yang ditargetkan oleh AS seperti cooking appliance, AC, dan refrigerators, terdapat beberapa kesamaan kasus antara produk tersebut dengan mesin cuci yaitu: (1) Pangsa pasar AS terhadap produk tersebut relatif kecil yaitu 7% refrigerators, 5% AC, dan 8% cooking appliances; (2) Pasar domestik Tiongkok cukup besar: lebih dari 50% produk Made in China 2025 juga dijual di Tiongkok; (3) Ekspor ke negara non-AS cukup besar antara 24-31%.

Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa AS tidak menargetkan tarif atas dishwasher dan microwave oven yang memiliki pangsa  yang cukup besar di AS. Apabila hal ini dilakukan maka gangguan pada supply chain di Tiongkok akan lebih besar. Namun demikian, nampaknya kebijakan tarif AS juga mempertimbangkan dampaknya kepada ekonomi dan konsumen AS. AS lebih memilih menargetkan produk yang memiliki substitusi tinggi dan tidak memiliki market share yang besar.

Berdasarkan analisa di level industri, hanya produk furnitur Tiongkok yang diperkirakan berpotensi menderita kerugian yang cukup signifikan. Terhadap 17 (tujuh belas) jenis industri, diperoleh beberapa hal sebagai berikut:
  1. Semua permintaan domestik melebihi permintaan ekspor, kecuali 1 (satu) yakni furnitur.
  2. Pangsa ekspor cukup besar di industri tradisional yang berorientasi ekspor seperti furnitur (55%), komputer dan elektronik (35%), tekstil dan apparels (4%), dan perlengkapan elektronik (21%). Pangsa ekspor terendah di sektor makanan minuman (3%), petroleum (3%), base metal (5%) dan sepeda motor (5%).
  3. Pangsa ekspor AS terbesar adalah di furnitur (17%), komputer dan elektronik (7%), apparels (3%) dan perlengkapan elektronik (3%). Industri ini yang paling vulnerable terhadap tarif AS. Pangsa ekspor di industri lainnya cukup rendah yaitu di bawah 2%.
  4. Diantara jenis yang vulnerable tersebut, produk furnitur telah masuk dalam USD200 miliar tariff list, dimana berpotensi menimbulkan kerugian bagi Tiongkok yang cukup tinggi. Sedangkan perlengkapan elektronik meski termasuk di daftar namun dampak terhadap Tiongkok relatif kecil. Sementara itu untuk komputer dan elektronik serta apparels nampaknya dikeluarkan dari tariff list karena menghindari dampak yang besar kepada konsumen AS.
Picture
Picture
​Diperkirakan, setidaknya hingga saat ini, hanya sebagian kecil (kurang dari 2%) dari supply chain yang akan keluar dari Tiongkok. Hal ini didukung beberapa alasan sebagai berikut:
  1. Negara-negara lain tidak memiliki jumlah tenaga kerja terdidik dan infrastruktur untuk menggantikan Tiongkok, paling tidak dalam jangka pendek. Barang-barang yang sederhana dengan nilai yang rendah kemungkinan dapat berpindah, namun barang-barang yang sophisticated kemungkinan besar akan tetap stay.
  2. Diperkirakan RMB masih akan melemah terhadap USD hingga di akhir tahun 2019, sehingga dapat mengkompensasi sebagian dampak dari kenaikan tarif.
  3. Diperkirakan meskipun terdapat pabrik yang keluar, namun supply chain yang lain diperkirakan akan tetap. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman negara lain seperti Korea yang pernah dikenakan tarif oleh AS atas ekspor mesin cuci, meskipun terdapat penurunan ekspor mesin cuci, namun ekspor spare part (intermediate goods) atas mesin cuci justru meningkat.

Picture
3 Comments

Evolusi  Ekonomi Tiongkok: PAST, PRESENT, FUTURE

20/11/2018

3 Comments

 
Picture

Evolusi  Ekonomi Tiongkok:
PAST, PRESENT, FUTURE
​

Sejak pondasi pembangunan ekonomi Republik Rakyat Tiongkok dicanangkan oleh Mao Zedong, struktur ekonomi Tiongkok terus berkembang ke arah yang semakin seimbang dengan memberi peran lebih banyak pada permintaan domestik dan melakukan liberalisasi sektor eksternalnya secara bertahap.  Reformasi  ekonomi  yang  pertama  kali  digagas  oleh  Deng  Xiaoping dan  kemudian dilanjutkan oleh para Presiden Tiongkok hingga saat ini dipimpin oleh Xi Jinping telah membawa Tiongkok memasuki era baru. Gagasan ekonomi sosialisme Tiongkok saat ini menitikberatkan pada keterbukaan pasar melalui dukungan sektor industri yang kuat didasari oleh inovasi teknologi, urbanisasi, dan sistem keuangan modern. Berbagai kebijakan ekonomi yang semula fokus pada pencapaian high speed growth secara bertahap berubah orientasinya menjadi high quality growth. Tiongkok secara serius dan konsisten berusaha mengintegrasikan sektor ekonomi riil dengan digital economy serta intens melakukan aliansi dengan negara di kawasan dalam Belt & Road Initiative demi mewujudkan Made in China di tahun 2025. Melihat capaian pembangunan dalam 40 tahun terakhir yang begitu impresif menjadikan Tiongkok sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, maka besar kemungkinan  mewujudkan  mimpinya  menjadi  negara maju di 2020.   Namun  demikian,  upaya mewujudkan ambisi itu masih dibayangi risiko eksternal yang dipicu perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) yang hingga saat ini belum jelas arah penyelesaiannya dan di domestik adanya risiko gangguan stabilitas sistem keuangan terkait shadow banking dan persoalan mengatasi overcapacity.

PAST PERIOD

Tahap perkembangan kebijakan makroekonomi Tiongkok pada past period dapat dibagi menjadi 3 (tiga) stages yang didasarkan oleh dinamika kebijakan yang diambil pada waktu itu, yaitu stage I (1948-1975), stage II (1976-1995), dan stage III (1996-2010). Pada stage I, kebijakan makroekonomi Tiongkok yang saat itu dipimpin Mao Zedong adalah kebijakan terpusat (strictly centralized) dan fokus pada penyiapan infrastruktur dan pondasi Tiongkok sebagai negara  industri. Pendanaan  proyek infrastruktur Tiongkok saat itu mayoritas bersumber dari Uni Soviet dan belum membuka investasi dari negara lainnya. Pada stage I, kondisi yang terjadi adalah sistem mono banking system, dimana People’s Bank of China (PBoC) bertindak sebagai bank sentral sekaligus bank komersial. Dalam hal fungsinya sebagai bank sentral, PBoC bertanggung jawab menjaga keseimbangan uang yang beredar (money supply), suku bunga, dan cadangan devisa. Sementara dalam hal fungsinya sebagai bank komersial, PBoC bertanggung jawab menerima deposit dana masyarakat dan sekaligus menyalurkan pinjaman kepada masyarakat. Kondisi pasar keuangan pada stage I dikontrol penuh oleh pemerintah melalui 5-Year Plan.

Implementasi kebijakan makroekonomi Tiongkok di stage II oleh Deng Xiaoping berlanjut dengan merintis reformasi ekonomi dan menjadikan perekonomian Tiongkok lebih terbuka. Dana investasi luar negeri diperbolehkan masuk meskipun secara terbatas. Bank-bank komersial mulai didirikan namun tetap dalam kontrol penuh Pemerintah. Bursa saham didirikan di Shanghai dan Shenzhen dengan listed company awal berjumlah 10 (sepuluh) perusahaan. Untuk membiayai jalannya mesin perekonomian, pemerintah Tiongkok mulai memanfaatkan pasar modal dan surat utang dengan menerbitkan treasury bonds yang berupa central bank bills, financial bonds oleh bank komersial dan corporate bonds oleh State Owned Enterprises (SOE) atau BUMN. Pada stage ini juga terjadi reformasi SOE dari semula beroperasi dengan mengandalkan anggaran pemerintah menjadi lebih mandiri. Pemerintah pusat juga mulai memberikan kebebasan bagi SOE untuk berinvestasi.  Di sisi lain, peran Pemerintah Daerah juga mulai ditingkatkan dalam pengambilan kebijakan lokal daerah.

Sepeninggal Deng Xiaoping, Tiongkok terus melanjutkan reformasi dalam negeri melalui stage III. Jiang Zemin sebagai Presiden Tiongkok terpilih memfokuskan kebijakan ekonomi pada high speed growth untuk mengejar ketertinggalan Tiongkok dan melanjutkan reformasi pasar keuangannya. Presiden Tiongkok    selanjutnya,   Hu    Jiantao    juga   mendorong    Tiongkok    untuk    semakin    membuka perekonomiannya. Hal ini terbukti ketika Tiongkok memantapkan langkah untuk bergabung ke dalam World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001. Kebijakan ini secara perlahan mengakselerasi investasi hingga meningkat secara signifikan (investment boom) dan perekonomian Tiongkok tumbuh mencapai  double digit. Pada  stage  ini,  mesin  perekonomian  Tiongkok  mengalami  overheating sehingga terjadi overcapacity dan tingginya ketimpangan perekonomian antara kota-kota industri dengan rural area.
Bagan Evolusi Perekonomian Tiongkok
Picture

PRESENT: CHINA NEW ERA
 
Presiden Xi Jinping telah menyatakan bahwa Tiongkok akan menuju era baru dan mentargetkan menjadi advanced economies di tahun 2020 dengan menfokuskan kebijakan makroekonominya pada steady growth with improved quality melalui  upaya  reformasi  struktural  pada  supply-side  dan mengurangi overcapacity industri berat. Sebagaimana kita ketahui pada stage II, Tiongkok telah berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun tidak diiringi oleh upaya yang memadai untuk menjaga kestabilan perekonomian, cenderung menomorduakan pengawasan terhadap potensi kerentanan pasar keuangan, serta mengabaikan dampak pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan. Pada era baru ini, semua permasalahan tersebut mulai mendapat perhatian serius dan secara bertahap dapat diatasi. Untuk menjaga momentum pertumbuhan global digital economy, pemerintah Tiongkok berkomitmen untuk mengintegrasikan internet, big data, dan artificial intelligence dengan ekonomi riil termasuk di dalamnya penciptaan China’s digital and a smart society. Sebagai blueprint untuk memperkuat ketahanan nasional dan kemajuan industri domestik, Tiongkok juga mengimplementasikan kebijakan Made in China 2025.
Picture
Dari sisi kebijakan moneter, saat ini PBoC menjalankan kebijakan moneter yang akomodatif dengan fokus utama pencegahan risiko sistemik dari pasar keuangan. Di sisi lain, PBoC juga mengambil sikap untuk tidak reaktif terhadap kenaikan Fed Rate, mengarahkan RMB agar lebih market driven dan fokus menjaga likuiditas pasar dari potensi capital outflow.

​Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah Tiongkok cenderung ekspansif dan terukur, dilakukan secara proaktif dengan memberikan prioritas untuk menaikkan social spending (kesehatan, pendidikan dan subsidi) guna  meningkatkan  konsumsi  domestik.  Namun  disisi  lain,  Pemerintah  Tiongkok  mulai melakukan pengetatan regulasi utang oleh Pemerintah Daerah sejalan pertumbuhan utang yang semakin meningkat. Pada akhir 2017, utang Pemerintah tumbuh 8% mencapai $2,6 trilyun, atau naik dua kali lipat dari tahun 2016.
 
Dari sisi stabilitas sistem keuangan, pemerintah Tiongkok melakukan upaya mengatasi persoalan shadow banking dengan berupaya menurunkan persentase aktivitas shadow banking yang tidak termonitor melalui connecting fintech-commercial bank dan pengawasan terhadap financial risk.

Lebih lanjut, upaya ini diperkuat dengan melakukan integrasi penyelesaian transaksi keuangan yang dilakukan oleh institusi keuangan non bank secara on line melalui fasilitasi Nets Union Clearing Corporation (NUCC) dimana PBoC memiliki konstribusi yang cukup besar.

Bagan Kebijakan Makroekonomi Tiongkok
Picture

​FUTURE CHALLENGES
 
Upaya Tiongkok untuk mencapai target perekonomiannya ke depan akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan dari kondisi ekonomi domestik sehingga lebih tahan terhadap gejolak eksternal. Secara umum, perekonomian Tiongkok diperkirakan masih akan cenderung melambat dalam beberapa tahun ke depan. Hal yang mendasarinya karena di sisi eksternal pemulihan perekonomian global belum sekuat yang diharapkan, sementara di sisi domestik sedang terjadi proses rebalancing. Peran investasi diperkirakan akan melambat sesuai dengan target pemerintah dan secara perlahan digantikan oleh pengeluaran konsumsi yang semakin besar. Sementara itu, fokus kebijakan di sektor keuangan diperkirakan akan fokus pada upaya untuk mengatasi risiko stabilitas sistem keuangan. Konsekuensinya, regulasi terhadap investment loan untuk proyek investasi akan lebih ketat dan pertumbuhan kredit khususnya investment loan diperkirakan akan melambat sehingga menahan laju investasi. Terkait dengan kebijakan poverty reduction yang ditempuh antara lain melalui peningkatan social spending dan rural revitalization diperkirakan berdampak meningkatkan konsumsi masyarakat terutama di perdesaan dan mengurai persoalan kesenjangan desa-kota. Berbagai langkah di sisi domestiK tersebut diperkuat dengan upaya aliansi dengan ekonomi di berbagai kawasan melalui Kebijakan Belt Road Initiative (BRI). Langkah strategis dengan komitmen yang kuat dan dukungan pembiayaan ini diperkirakan akan signifikan menopang kinerja ekspor dan perdagangan di kawasan sejalan dengan kemudahan akses transportasi dan efisiensi distribusi barang ekspor Tiongkok ke negara tujuan, dan sebaliknya. BRI menjadi alternatif solusi yang strategis bagi Tiongkok ditengah risiko perang dagang dengan AS yang belum jelas arah penyelesaiannya.

PENUTUP
 
Perubahan yang terjadi di Tiongkok akan memberikan dampak bagi perekonomian secara global maupun bagi ekonomi Indonesia. Dari jalur keuangan, yang perlu dicermati terkait dengan volatilitas market sejalan dengan semakin terbukanya pasar keuangan dan pasar modal Tiongkok yang dapat berimbas pada semakin besarnya aliran modal yang masuk kedalam dan keluar Indonesia yang sumbernya dari Tiongkok serta pada fluktuasi nilai tukar RMB. Semakin terbuka peluang untuk menarik investasi jangka panjang dari investor Tiongkok untuk menanamkan modalnya di sektor produktif dan bernilai tambah tinggi serta membuka lapangan kerja di Indonesia. Belajar dari pengalaman pembangunan Tiongkok yang konsisten dan serius menerapkan “investment and industrial policy” sehingga berhasil melakukan “transfer of technology” tercermin dari banyaknya produk industri Tiongkok seperti kendaraan bermotor, kereta cepat, peralatan rumah tangga dan perkantoran, dan sebagainya. Dari jalur perdagangan (ekspor dan impor), dinamika perang dagang yang diwarnai penurunan tarif atas impor produk Tiongkok dari negara lain yang merupakan substitusi produk AS menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspornya. Di samping itu upaya Tiongkok untuk semakin membuka diri pasar ekonominya yang sangat besar dengan jumlah penduduk sekitar 1,4 miliar perlu dimanfaatkan oleh eksportir Indonesia secara optimal.
 
Hal lain yang penting dicatat adalah kemampuan otoritas Tiongkok mengelola perekonomiannya dengan cukup baik ditengah tekanan eksternal yang cukup besar, kondisi struktur keuangan domestik yang belum pulih, dan struktur kelembagaan yang cukup kompleks di Tiongkok, koordinasi kebijakan antara moneter, fiskal dan stabilitas sistem keuangan dapat berjalan dengan baik. Koordinasi dan implementasi kebijakan dapat dilakukan dengan lebih efektif karena bentuk pemerintahan yang terpusat sehingga satu komando dengan garis koordinasi antar instansi dan lembaga dilakukan dengan ketat dan jelas. Pusat komando dan koordinasi kebijakan dilakukan oleh State Council. Untuk bisa mewujudkan hal ini tentu bukan hal yang mudah, diperlukan strong leadership karena implementasi kebijakan melibatkan koordinasi lintas otoritas, lintas sektor, dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Oleh : Tim Bank Indonesia Kantor Perwakilan Beijing
3 Comments
    Picture

    Tiongkonomi

    Analisa Perkembangan Ekonomi Tiongkok oleh Tim Bank Indonesia Kantor Perwakilan Beijing

    Picture
    Harmoni senergi pencerahan berkemajuan

    Archives

    May 2019
    December 2018
    November 2018

    Categories

    All
    Ekonomi China
    Ekonomi Tiongkok

    RSS Feed

BERANDA
BERITA     
WAWASAN
  

REPORTASE NETIZEN
​OPINI NETIZEN
AGENDA
GALERI
POLING ARTIKEL FAVORITE
Flag Counter
Picture
​

PCIM TIONGKOK
kabarmutiongkok.org
Di Dukung Oleh BPTI UHAMKA