
LIHAI, itulah suku kata yang sama digunakan oleh orang Tiongkok dan Indonesia untuk menggambarkan seseorang yang dapat melakukan hal yang tidak biasa. Kata ini juga yang saya pinjam untuk menggambarkan ksatria gagah bernama Zheng He. Siapa kiranya tidak mengenal Sang Navigator pacak asal negeri berpengawal tembok, Tiongkok yang satu ini. Keberaniannya menaklukkan samudera lewat pelayaran-pelayaran ke berbagai daratan di dunia tentunya tidak membuat kita ragu dengan ketangguhannya. Hempasan gelombang liar, hentakan angin brutal, bahkan petir yang memekik di lautan luas tak menggeletarkan iktikadnya mengarungi samudera lepas. Tercatat beliau telah mengunjungi hampir empat puluh negara dan wilayah mulai dari Asia sampai Afrika. Tentunya pantas sanjungan itu kita sematkan pada diri beliau.
Baik dimasanya bahkan sampai sekarang, Zheng He selalu disanjung bahkan ada nonmuslim yang menyembah makam dan patungnya lantara dianggap bukan orang biasa. Kita boleh saja meletakkan kebanggaan kepada beliau tidak saja karena dia seorang muslim, tapi pasalnya beliau juga mengemban misi dakwah ke daratan-daratan yang disinggahi. Akan tetapi ingat jangan berlebihan. Kita sebagai muslim tidak boleh menyembahnya atau meminta keberuntungan kepadanya karena itu perbuatan syirik yang Allah murka akan itu. Allah dalam banyak ayat telah berfirman, surat Yunus ayat 106 salah satunya, “Dan janganlah engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika engkau lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim”.
Ekspedisi yang dilakukan orang-orang Eropa bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan Dinasti Ming menurut artikel National Geographic. Bahkan ada yang mengeluarkan statement bahwa Zheng He lah yang lebih dulu menginjakkan kaki di benua Amerika sebelum Columbus. Namun ini masih jadi perdebatan-perdebatan diantara para peneliti. Ini berawal dari seorang peneliti menyatakan penemu daratan Amerika pertama adalah orang Asia. Penobatan itu tertuju kepada Zheng He yang telah banyak melakukan perjalanan laut dan disokong penemuan peta kuno milik Dinasti Ming serta bukti-bukti pendukung lainnya yang dijadikan sandaran sang peneliti untuk menguatkan statement tersebut.
Oleh karenanya, kesempatan ke Nanjing beberapa waktu lalu tentu saja tidak saya sia-siakan untuk tidak mengunjungi situs penting dalam sejarah dunia yaitu ziarah ke Makam Zheng He (mandarin; Zheng He Mu). Makam ini terletak 10 Km di Selatan Kota Nanjing tepatnya di Niushou Shan yang berarti Gunung Kepala Sapi. Adapun penyebutan nama gunung ini bukan tanpa alasan. Bila dilihat dari atas maka area gunung yang terdapat beberapa situs penting ini menyerupai kepala sapi, sehingga penamaan itupun menjadi pilihan. Lokasi ini cocok untuk wisata musim semi dengan bukit hijau dan udaranya yang sejuk. Namun jaraknya sangat jauh dari pusat kota, tapi jangan khawatir ada bis yang menuju kemari. Sesampai di stasiun tujuan sekiranya lelah berjalan kita bisa menaiki becak motor, cukup dengan membayar 10 yuan saja. Kita akan dihantarkan tepat di gerbang awal situs, tempat pembelian tiket masuk.
Setelah melewati pintu pemeriksaan keamanan, jengkal demi jengkal kami mulai memasuki lokasi makam dengan memberi salam kepada ahli kubur. Hanya 1 makam yang terlihat di area Zheng He Mu ini, saya berfikir mungkin ini sangking dikhususkan oleh pemerintahnya. Selain makam Zheng He di sisi kiri Niushou Shan ini terdapat pula Kuil Hongjue dengan dua pagoda tertancap di sana. Kemudian, di sisi paling atas Niushou Shan terdapat pula dua Imperial Tombs dari Dinasti Tang. Setidaknya, area ini secara keseluruhan mencakup 20 tempat indah yang berasal dari dinasti Tang, Song, dan Ming. Mewujudkan kombinasi antara alam dengan kehidupan manusia, masa lampau dengan masa kini, China dengan dunia luar, masa lalu dengan masa depan, dan nilai sosial budaya dengan efisiensi sosial ekonomi. Semua ini merupakan harmoni yang sempurna dengan keindahan alam dan budaya kontemporer, menjadikannya sebagai kawasan budaya yang unik sekaligus salah satu tempat yang indah di kota ini. Jika Anda seorang peneliti atau memiliki kepentingan dengan situs ini saya memiliki nomor konsultasi tempat wisata tersebut yang bisa Anda hubungi sebelum berangkat kemari, 025-86138528.
Makam asli Zheng He sebetulnya sudah hancur, sedang yang ada saat ini merupakan perbaikan yang telah dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada tahun 1984 dan 2005. Selain itu, di makam ini saya menemukan kaligrafi bertuliskan “Bismillah” yang ditulis dalam Bahasa Arab menguatkan bahwa sang pemilik makam adalah seorang beragama Islam. Makam Sang Navigator ulung Dinasti Ming ini termasuk sebagai salah satu unit peninggalan budaya yang berada di bawah perlindungan Propinsi Jiangsu. Setidaknya begitulah yang dapat saya lihat dari papan informasi yang ada di area makam. Jiāngsū Shěng Wénwù Bǎohù Dānwèi (Badan Perlindungan Peninggalan Budaya Propinsi Jiangsu) mengumumkan atau meresmikan makam Zheng He ini pada 22 Oktober 2002. Sementara itu, masih saja ada yang berspekulasi bahwa makam Sang Navigator ada di Cirebon, Jawa Barat. Bahkan, ada yang berspekulasi Zheng He telah meninggal di lautan dalam pelayaran terakhirnya. Akan tetapi, secara resmi makam di Nanjing inilah yang diakui.
Sekiranya pernah berkunjung ke Meseum Aceh, Anda akan melihat di sana terpajang jelas sebuah lonceng besar yang dulu pernah dipasang di kapal perang milik Sultan Iskandar Muda bernama “Cakradonya”, tepat di pintu gerbang masuknya. Bertopang pada sejarah, lonceng ini dulunya adalah pemberian kerajaan China kepada Sultan di Samudera Pasai melalui pelayaran yang dilakukan Zheng He ketika itu. Tak saja Aceh, daerah lain seperti Cirebon juga menjadi daerah yang pernah dilalui oleh Sang Navigator dan memberikan cinderamata khas China kepada Sultan di sana berupa sebuah piring bertuliskan ayat kursi. Sampai-sampai di Nusantara beberapa masjid dibangun menggunakan nama Zheng He yang hari ini masih dapat kita saksikan adanya, yakni berada di Palembang (Sumatera Selatan), Surabaya (Jawa Timur), Pandaan (Jawa Timur), dan Jember (Jawa Timur) dengan maksud mengenang jasanya.
Sayangnya, di China sendiri masih sedikit orang mengenal sejarah Zheng He, meskipun patung dan kuburannya menjadi usaha pemerintah untuk mengenang jasanya. Patungnya ini terpahat tegap di sebuah taman di kota Nanjing yang menjadi tempat orang-orang berkumpul dan berbagi tawa, berada terpisah dengan makamnya.
Pada akhirnya, petang menghentikan penjelajahan kami. Setelah berdoa untuk sang pemilik makam, saya, Helmi Suardi dan Raudhatul Jannah akhirnya mengayunkan kaki. Setapak demi setapak terus membawa kami jauh meninggalkan Sang Navigator dalam keheningan peristirahatan terakhirnya untuk melanjutkan trips penting berikutnya.
Artikel ini menjadi nominator artikel favorit Kabar Mu Tiongkok September-Oktober 2017, untuk memberi dukungan silakan ikuti polingnya dengan KLIK disini.