
Penulis adalah Ketua Komunitas Pelajar Aceh – Tiongkok (Cakradonya) Region Wuhan, sekaligus Ketua Divisi Publikasi, Dokumentasi dan Informasi Persatuan Pelajar Indonesia Tiongkok (PPIT) - Wuhan.
“Cerita ini adalah pengalaman seorang sahabat Wuhan kita diawal pertama kali beliau menghela kehidupan baru di negeri tanpa syariat, Tiongkok. Tidak ada tempat bertanya ketika itu berhubung mahasiswa Indonesia di kampus beliau belum terlalu banyak dan belum terdeteksi radarnya dimana. Perlahan waktu berjalan semua kemudahan itu datang dan beliau pun sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Ingin tau cerita lengkapnya? Mari simak tulisan beliau !”
Terkadang saya salat di ruang-ruang kosong yang berada dekat dengan ruang kelas. Sehingga, saban hari selama kelas saya berusaha mempersiapkan diri serta sajadah untuk melakukannya jika nantinya waktu pergantian kelas agak lumayan lama. Hari ini saya memiliki dua kelas yang secara beruntun berkelanjutan, hanya sedikit jeda waktu yang ada disana untuk menghantarkan ke kelas berikutnya. Dari dormitory saya sudah bersiap dalam keadaan wudu dan berusaha mempertahankannya dari hal-hal yang membuatnya batal berhubung di sana susah untuk berwudu.
Saya mulai bergerak dari kamar bergegas ke lift menuju kelas. Biasanya di jam seperti ini adalah jam orang-orang saling berlomba untuk berdiri di depan pintu lift menunggu giliran. Kali ini saya tidak ingin telat masuk kelas lagi karena hampir saban hari sang laoshi (guru) bertanya kenapa selalu datang terlambat apakah saya tidak menyukainya dan blablabla. Sesampai di depan lift saya melihat beberapa orang juga sudah duluan di sana. Sambil menunggu lift terbuka saya membalas beberapa pesan di wechat. Tiba-tiba saja dengan gerakan cepat seseorang perempuan memeluk dari belakang sambil menyapa, sontak saja saya shock. Ternyata air wudu hanya bertahan sampai di pintu lift, kulit dia dan saya bersentuhan. Perempuan ini adalah teman dari teman saya yang keduanya tidak terlalu dekat dan baru saja beberapa hari kenal. Apa boleh buat wanita Ekuador, Amerika Selatan ini tak mengerti apa-apa tentang agama saya. Saya tak dapat berkata banyak ketika itu. Tubuh saya bagaikan tak bertulang lagi, ketika rangkulan kuatnya melibas tubuh erat. Saya hanya bisa pasrah untuk tidak menikmati keadaan yang terjadi.
Ketika lift sudah tiba, diapun kembali kekamarnya karena ada sesuatu yang tertinggal. Pertemuan saya dihari itu dengannya hanya berakhir dilambaian tangan dan sedikit senyum manja dengan kondisi wudu yang kini terenggut. Saya pun ditinggalkannya dalam keadaan tak suci lagi untuk shalat. Kesal yang akhirnya tak jadi pun saya rasakan. Ternyata mempertahankan wudu sangat susah bagi saya kini. Begitu juga dengan beberapa hari setelahnya, namun kali ini wudu saya telah menampakkan perkembangan bertahan sampai di ruang kelas sedikit lagi akan menggapai sajadah. Ada saja wanita yang coba menyentuh, merangkul, dan lain sebagainya dikarenakan pemahaman budaya dan gaya hidup yang berbeda. Ini menjadi cobaan tersendiri yang tidak bisa dihindari saat berinteraksi dengan orang-orang multikultural.
Gedung yang saya tuju hari ini tidak terlalu jauh dari dormitory. Saya besarkan langkah agar segera sampai untuk memfungsikan sisi waktu lebih sekedar membolak-balik lembaran buku. Dengan nafas terengah-engah bercampur bau-bau di jalan yang tak biasa terhirup saya memutar lagu Mandarin yang baru saja saya ambil dari teman untuk memperkaya kata. Terlalu menikmati lagu membuat gedung yang dituju terasa sangat dekat, mungkin hari ini saya terlalu spirit berhubung baru mandi.
Sekarang saya sudah berada di kelas, saya sudah berusaha masuk cepat hari ini. Disela-sela pelajaran biasanya laoshi pasti mencoba beberapa pelajar untuk melihat kebisaannya dalam menguasai pelajaran. Saya selalu bersemangat untuk dicoba, tapi sayangnya belakangan ini setiap kali mengacungkan tangan laoshi tidak memberikan kesempatan itu lagi. Saya tidak tahu pasti kenapa, yang jelas kalau bukan karena sudah dirasa bisa pasti dirasa bodoh. Mungkin saya harus memilih satu diantara dua kata itu.
Pergantian pelajaran pun saling menyambut, kelas pertama berarti usai. Saya bergegas mengambil tas dan kemudian keluar. Tiba-tiba sang laoshi memanggil dan bertanya,“张力,你去哪儿呀? 你还有课!”(Chang Lee, kamu mau kemana? Kamu masih ada kelas selanjutnya). Chang Lee adalah nama mandarin saya, jangan tanyakan arti persisnya apa sebab kita sama tidak terlalu paham. Hanya saja sang guru pemberi nama berkata artinya kuat dan tegar. Jika dilihat badan sepertinya nama ini tidak menggambarkan alam nyata.
Balik lagi ke dalam suasana kelas, saya hanya terdiam sejenak memikirkan alasan apa yang dirasa tepat untuk sementara ini diucapkan. Pasalnya, saya sebetulnya ketika itu hendak menunaikan kewajiban ashar. Dalam proses otak yang bolak balik mikir, sedetik lebih cepat teman saya menyahut, “Laoshi, Chang Lee haus mungkin ia ingin membeli minum dulu.” Saya bergegas meninggalkan ruang menuju toilet di ujung lantai untuk berwudu lagi. Di sini sangat susah untuk melakukan wudu apalagi untuk cebok kamu harus menggunakan tisu. Sungguh malang bagi saya yang selalu terbiasa menggunakan air untuk segala hal dalam bersuci.
Selanjutnya, saya berusaha mencari ruang kosong yang bisa dipakai untuk salat. Di sini tidak diizinkan ritual di tempat umum apalagi mengajak orang yang tidak sekeyakinan untuk mengikuti suatu keyakinan, itu lebih gila lagi bisa-bisa dideportasi ke negara asal. Beberapa waktu lalu saya memang sempat salat di ujung tangga gedung tempat keramaian orang berlalu lalang, itu dikarenakan saya tidak mempunyai solusi untuk tempat salat saat itu. Jalannya waktu, akhirnya saya menemukan sebuah ruang yang tidak terpakai. Di sana saya melihat Waqaz Ghazi pemuda asal Dubai, Mohammed asal Jordan, dan Syeh asal Senegal sudah duluan mengerjakan salat. Kami sepakat membentuk barisan jama’ah dan dengan pengembaraan waktu perlahan jama’ahnya kian bertambah. Kadangkala ruang tersebut juga dipakai oleh mahasiswa lain untuk membuat tugas, berdiskusi, duduk santai, dan sebagainya. Oleh karenanya, kami mencoba berbagi tempat agar semua orang mendapat tempat dan saling menghargai. Pikirku hidup memang menghadirkan berbagai persoalan dan tugas kita adalah temukan solusinya bukan hanyut tak berdaya di dalamnya.
Pada akhir kata, saya ingin menepis kesalahpahaman bahwa cerita ini tidak bermaksud ria atau menyingung siapapun, hanya saja ingin berbagi cerita bodoh yang pernah dialami oleh orang bodoh. Bisa jadi disuatu saat nanti ada orang yang memiliki kisah sama dan saatnya kami harus sama-sama tertawa. Harapanya, semoga di tanah manapun kita pijaki jagalah iman karena bagaimanapun kita iman tetaplah naik turun. Oleh karenanya, berusahalah agar ia tetap kokoh di tempatnya tak tumbang dilibas topan dan tak gemetar di hunus salju dengan cara terus dan teruslah belajar tentang Islam. Sebab, sebaik-baik amalan adalah orang yang beramal dengan ilmu.