
Oleh : Lika Kurnia Asri (Warga Negara Indonesia yang tinggal di kota Wuhan).
Siapa yang tak kenal China? Negeri berpenduduk besar, daratan yang luas, terlabeli ahli menduplikasi, dan rakyatnya yang menyebar di seluruh dunia.
Kesan pertama saya tentang negara ini adalah 'penuuuh'..! Apa karena setibanya di bandara Guangzhou terkoneksi dengan subway pada waktu itu di jam manusia sibuk ya ? Rasanya saat itu bagai pasar tanah abang di bulan Ramadhan yang sesak, berdumpelan. Pun setelah keluar dari subway, saya belum pernah melihat orang-orang sibuk sebanyak itu selain kalau kita mau mudik Lebaran di Indonesia. Lalu lalang orang bawa koper dan beragam tentengan yang ‘seabreg’, baik diangkat atau pakai troley seret. Luar biasa sibuk lalu lalang mereka.
Setibanya di kota Wuhan, lagi-lagi pemandangan yang sama di subway terulang seperti di Guangzhou. Belum lagi rute stasiun yang berkelok-kelok, naik turun, seperti tak berujung.. Apakah memang hal ini disengaja? Untuk mengantisipasi membludaknya manusia disatu tempat? jadi rute dibuat 'menantang'. Yang takjubnya lagi, manula disini berfisik kuat, bagai manula didesa yang giat bekerja. Ditempat saya tinggal di Indonesia dulu, Bandung-BSD, rasanya hanya satu atau dua orang saja manula yang berfisik sama seperti di China. Sisanya seperti yang kita anggap 'normal' di Indonesia. Manula itu identik dengan dipapah, terbaring lemah, hanya dirumah, dan berbagai keadaan lainnya bila kita temui ‘manula kota’ di Indonesia, kalau toh masih ada yang bisa berjalan tapi jalannya sudah sangat lambat.
Satu bulan awal tinggal di Wuhan dengan berbagai aktivitas para pendatang baru, mengurus surat menyurat, mencari tempat tinggal, beli perabotan, ngurus kesehatan, belum lagi pindahan dari kampus ke pemukiman.. ternyata kaki saya 'menyerah'. Kaki saya pernah drop, sampai susah diajak jalan, nyeri.. Bagai seseorang yang tidak pernah berolah raga mengikuti pertandingan marathon. Kalah.
Disini orang-orangnya terbiasa jalan kaki, dan disupport pemerintah yang memiliki rakyat banyak, namun disatu sisi ingin menciptakan ketertiban serta kenyamanan yang harus dirasakan rakyatnya (yang banyak itu), maka tata letak kota dibuat berjauhan. Satu akses ke akses lain 'penuh perjuangan', kalau dijakarta satu akses ke akses lain itu sebenarnya dekat, macetlah yang membuat lama. Tapi di Wuhan, rasanya jauh bagi saya. Mungkin 'jauh' itu karena selain jarak ada rasa lelah dari berjalan kaki untuk mencapai akses yang kita tuju.
Di sini rakyat yang tidak punya kendaraan 'dipaksa' berjalan untuk mendapatkan fasilitas transportasi. Tidak jarang dari tempat tinggal ke halte bus, menempuh jalan yang lumayan, belum lagi ketika bus datang dan calon penumpangnya banyak, pasti saling rebutan. Hanya saja positifnya disini masih relatif lebih baik dalam penerapan aturan misalnya memberikan prioritas tempat duduk kepada manula, wanita hamil, dan yang punya anak. Respon mereka cenderung lebih cepat dibanding di Indonesia, ketika menemukan tiga jenis orang yang terkategori mendapat prioritas tempat duduk, baik di bus maupun kereta.
Kembali ke masalah kaki.. Gampangnya kalau saya analogikan, kaki 'made in' China ini bagaikan kaki orang pedesaan di Indonesia, yang benar-benar desa, yang masih belum banyak orang punya kendaraan bermotor, yang jelas terbiasa berjalan kaki, karena konsep 'dekat' mereka adalah 'jauh' bagi orang kota yang biasanya. Ke warung, ke pasar, antar anak sekolah didepan gerbang komplek rumah, ke masjid, cari tukang sayur didalam komplek, semuanya pasti berkendara.. Dalam hal ini, kaki kita 'kalah' kuat dengan kaki 'made in' China.
Itulah wajar mengapa mungkin salah satu penyebab manula mereka memiliki tingkat harapan hidup yang tinggi karena faktor kebiasaan disini, berjalan kaki. Olah raga rutin yang dilakukan mereka setiap hari. Dan di sini saya jarang menemui pemuda maupun orang tua yang gemuk atau overwight, mungkin berjalan jalan kaki juga ampuh dalam menggempur lemak ditubuh, terlebih mereka lakukan setiap hari. Belum lagi kebiasaan lainnya, yang setiap magrib hingga jam 20.00 atau 21.00an, segrombolan wanita/ibu-ibu dalam kelompok-kelompok yang tersebar, baik dijalan, ditaman, diselasar, dipemukiman, bahkan dipasar, mereka menari dengan membawa sound sistem sendiri. Menari menjadi agenda rutin selain berjalan kaki, ampuh menjaga tubuh mereka sehat dan ideal.
Inilah salah satu pelajaran yang saya ambil dari negeri ini terkait 'kehebatan' kaki mereka dibading kita yang mungkin perlu kita contoh, terlebih dampaknya bagi kesehatan untuk jangka panjang. Membiasakan menggunakan kaki kemanapun pergi manfaatnya banyak untuk kesehatan. Budaya berjalan kaki ini mungkin juga ampuh dalam memerangi kemacetan diberbagai kota besar yang tak jarang pengguna kendaraan tidak optimal, satu mobil hanya berisikan satu orang, atau para pengguna motor yang paling banyak. Bila budaya berjalan kaki ini dibarengi dengan menciptakan tata kota terutama transportasi umum yang tertib, aman, dan nyaman, maka ada beberapa PR yang bisa dikurangi : kemacetan, polusi udara, penggunaan BBM jadi minimal, Efek rumah kaca terminimalisir, obesitas tertangani, sehat, dan usia harapan hidup yang panjang. Jadi sudah siapkah kita berjalan kaki hari ini? #LI4PS