
“Pahatan kata di bawah ini eksplanasi kisah seorang mujahid ilmu di rantau tak bertuan. Bak tanah yang masih basah, bak rumput yang tak sepanjang galah, bak kemarau yang tak kunjung sudah, begitulah gundah senang merona dirasa di perantauan orang dengan harapan pulang membawa sekeranjang berkah bukan sampah. Butiran perjalanan hidup beliau tuangkan dalam tulisan-tulisan sederhana yang penuh makna dengan niat berbagi pengalaman untuk saudara-saudara seiman di dunia yang tak bertangkai semoga jadi sedekah. Selamat membaca !
Suatu siang di hari minggu, tetangga kamar mengajak hangout untuk sekedar refreshing atau untuk lebih jauh mengenal Wuhan, kota yang baru saja beberapa hari ketika itu saya injak. Saya menolak karena ketika itu sedang menjalani puasa sunat arafah dan saya juga tahu jika salat di luar sana susah untuk memperoleh air dan tempat yang suci. Akan tetapi alasan saya ketika itu ia patahkan satu persatu, hingga membuat saya merasa tak enak jika tidak menerima ajakan tersebut. “Sobat, kalian bakalan susah nantinya kalau saya ikut, sebab saya seorang muslim yang akan salat disetiap waktunya tiba”, ucap saya coba menjelaskan. “Gampang tuh, kan sesekali gak salat gak pa pa, nanti tinggal minta maaf saja sama Tuhan, toh Tuhan Maha Pemaaf”, pungkasnya. Saya spontan terperanjat kaget. Pasalnya, kami saling memiliki keyakinan berbeda. Dalam pemahaman dia mungkin seperti itu tapi tidak dengan saya. Terasa sulit ketika itu untuk melanjutkan perbincangan yang lebih jauh butuh waktu yang benar-benar bagus dan matang. Saya tidak ingin terlihat terlalu keras diawal perkenalan ini, semua itu butuh waktu perlahan yang akan mengurai segalanya pikir saya.
Awalnya, saya tidak tahu kalau itu ternyata adalah sebuah kuil. Pasalnya, beberapa hari lalu saya juga menemukan desain bangunan yang sama tapi dijadikan hotel. Pikir saya mungkin kali ini bisa jadi rumah makan, rumah pijat atau depot obat. Tempat ini adalah salah satu kuil tertua di kota ini, kami pun mulai bergerak memasuki pintu demi pintu di setiap ruang yang dijumpai sambil mengabadikannya di dalam sebuah gambar bernama foto. Meskipun di dalam terdapat larangan untuk memotret tapi teman-teman tampaknya tidak memperdulikan dan penjaga tempat juga tak berdaya lantara tidak bisa berbahasa asing. Saya menjelaskan kepada teman-teman bahwa ini tidak diperkenankan untuk dilakukan sambil menunjuk papan larangan yang terpampang di depan mata. Teman saya menyahut, “Ndak masalah, pura-pura bodoh saja”, ucapnya tertawa. Saya menjadi minder terlihat terlalu baik atau polos pikir saya saat itu. Benturan beda kebiasaan mulai terjadi dalam perjalanan waktu saya. “Ini memang tampak simpel tapi akan berujung buruk jika terus dibiasakan”, hati saya berbincang tunggal.
Kumandang azan di handphone mulai bersuara menyadarkan asar sudah tiba. Saya berbisik kepada salah seorang teman, “Saya akan pergi untuk memenuhi kewajiban sebagai muslim, jika kalian ingin lanjut jalan terus tidak jadi masalah”, bisik saya berharap saling nyaman. Untungnya, dia bisa mengerti itu lalu menyampaikan kepada teman-teman lain untuk sabar menunggu sampai saya selesai salat.
Mujurnya, ketika itu saya menemukan toilet berada dekat dengan lokasi saya berdiri sehingga saya memperoleh air. Kacaunya setiba di dalam toilet airnya tidak keluar. Saya akhirnya menoleh ke toilet wanita yang terlihat tak ada manusianya di sana dengan menekatkan diri masuk berharap di sana ada tetesan air untuk saya wudu. Syukurnya ada dan tidak ada seorang pun di sana. Pria-pria bermata sipit yang ada di sana memandangi aneh, sedang saya dengan wajah tanpa dosa berlagak santai saja sambil terus meluruskan niat seakan semua tak ada yang perlu dipersoalkan. Perjuangan saya ternyata tak berakhir di situ, sekarang saya harus berjuang lagi untuk mencari tempat sajadah bisa terhempas lempang. Tak berapa lama mengelilingi areal tersebut saya memberanikan diri salat terus, terlepas bakal ada polisi sebentar lagi yang akan datang menjemput.
Sehabis salat, saya sudah berniat untuk kembali pulang ke asrama dengan pemikiran teman-teman pasti sudah pergi meninggalkan saya berhubung waktu salat dan proses mencari wudu yang lama. Prasangka saya salah total, subhanallah mereka ternyata masih di sana menunggu sambil tersenyum dan tercengang. Saya tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan tentang saya ketika itu tanpa berniat menanyakan.
Perjalanan kami lanjutkan kembali, berhubung waktu sudah senja teman-teman memutuskan untuk makan. “Al, jam berapa kamu akan berbuka puasa?”, tanya mereka berharap pesta makan bersama akan terjadi. Tapi saya mempersilahkan mereka untuk makan duluan karena tampaknya mereka sudah sangat lapar dan tempat makan tersebut tidak membuat saya yakin di sana hewan sajiannya dipotong secara benar berdasarkan Islam meskipun tempatnya berstandar internasional. Sambil menemani mereka makan, handphone kembali berbunyi menandakan waktu magrib sudah masuk. Saya kembali pergi mencari tempat wudu di sekeliling areal keberadaan saya. Kali ini saya terkendala tempat, hingga akhirnya keputusan untuk terus salat di dekat keramaian harus jadi alternatif yang tidak bisa dipalingkan. Pasalnya, hanya ada satu pilihan saat ini yang bahwasannya saya harus salat. Walaupun Islam memberikan beberapa alternatif pilihan mudah yang bisa dipilih, tapi entah apa yang terpikir oleh saya saat itu untuk tetap ingin melakukannya diwaktu yang semestinya.
Sekembali dari salat, dua dari beberapa teman yang juga muslim memandangi saya dengan senyuman dan berkata “Apakah setiap hari seperti ini?”, “Ya, karena Islam bukan hanya apa yang terucap dari lisan dan dikuatkan oleh hati, tapi juga dilakukan oleh seluruh anggota tubuh dengan sepenuh jiwa”, ucap saya tenang berharap ia dapat memahami pentingnya hal yang sedang dibicarakan. Sebab, kita bersama tahu bahwa persoalan salat bukan hal main-main, melainkan hal pertama yang akan dihisab di hari kebangkitan. Saya berharap dia akan menjadikan itu sebuah renungan baik untuk merefresh iman. Sudah sepatutya sesama muslim saling berpesan bukan?
Rasul pernah bersabda bahwa tidak beriman salah seorang dari kita sebelum kita mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Jadi menurut saya, wujud kecintaan itu salah satunya dengan membantunya terhindar dari cengkraman api neraka. Oleh karenanya, mari kita ajak saudara seiman untuk ikut serta melakukan perintah agama. Berusaha menjadi baik tidak boleh arogan tanpa mengajak orang lain. Persoalan ini tidak jadi masalah apakah kita lebih baik darinya atau sebaliknya yang jelas mari kita lakukan itu bersama-sama dengan cara saling berpesan dan saling menyemangati dalam kebajikan. Sebaik baik kita adalah menjadi orang yang bermanfaat untuk orang lain, so berikan yang terbaik yang kita miliki untuk menjadikan sesuatu hal menjadi baik. Semoga kita lah orang-orang yang beruntung masuk ke surga melalui pintu-pintu yang telah Allah sediakan.