Oleh : Akbar Hairi, Mahasiswa Program PhD, Huazhong University of Science and Technology Wuhan Tiongkok.
Ikan NEMO, mungkin beberapa di antara kita akrab dengan nama ikan ini. Bagi yang tak asing mendengar nama ikan ini, besar kemungkinan telah menonton film animasi "Finding the Nemo". Ikan Nemo memiliki panggilan nama lain khususnya bagi penggemar ikan di negeri Paman Sam menyebutnya sebagai Clown Fish alias ikan badut. Menjadi sangat beralasan ikan ini mendapat panggilan sebagai badut karena warnanya yang sangat terang dan kombinasi yang lucu yaitu jingga yang diselingi dengan warna putih dan seterusnya. Tampak seperti seorang badut yang hendak tampil melucu.
Sekilas saya akan ceritakan hal yang menarik dalam film Finding the Nemo yang berkaitan dengan nilai yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini. Pada saat itu Nemo, hidup di dalam akuarium yang kebetulan dapat melihat langsung ke arah lautan di mana pemilik akuarium tinggal di pinggir pantai. Keinginan dan keyakinan Nemo bahwa tempat tinggal yang sesungguhnya bagi Nemo adalah di lautan lepas, mendorong Ia melakukan siasat untuk dapat menggunakan kesempatan dari kelengahan sang pemilik akuarium. Hingga akhirnya Nemo dan teman-temannya berhasil kembali ke lautan luas dan berusaha mencari sanak familinya.
Tentu saja nilai yang disampaikan dari film ini sangat baik yaitu sebuah keyakinan dan kerja sama yang baik antar sesama akan memungkinkan kita mencapai tujuan besar yang dapat dinikmati bersama. Tetapi tunggu dulu, tidak adakah kemungkinan kemanfaatan yang lain jikalau si Nemo memiliki pola berpikir yang berbeda dan keputusan yang berbeda ketika Ia memutuskan untuk tetap tinggal di akuarium. Saya membayangkan ketika Nemo berpikir bahwa ketika ia “ditakdirkan” untuk hidup di akuarium dan meyakini bahwa keputusannya untuk tetap tinggal adalah yang terbaik. Ia meyakini bahwa ia memiliki tugas khusus untuk menemani seluruh warga ikan di akuarium agar tercipta keharmonisan hidup antar sesama warga akuarium. Di sini Nemo akan mampu mengembangkan kemampuannya yang terpendam sebagai ikan yang berbakat untuk mudah dicintai oleh ikan lainnya dengan bentuk dan warnanya yang lucu.
Namun apabila Nemo merasakan bahwa justru warnanya yang “istimewa” dapat menimbulkan kecemburuan dan rasa tidak suka dari warga ikan lainnya, Ia tak akan berusaha menghilangkan identitas asli yang diperoleh dari lahir. Nemo akan berusaha mati-matian untuk meyakinkan warga bahwa warna yang Ia punya tidaklah menjadi ancaman justru akan meyakinkan bahwa tidak mungkin bagi Nemo untuk menjadi penjahat karena warnanya saja sudah menggelikan. Pastilah Nemo akan membuktikan pula dengan sikap dan perilakunya dan akan lebih mudah baginya untuk dapat cepat akrab dengan ikan-ikan lainnya karena Ia tak punya kapasitas untuk menjadikan mereka menjadi rantai makanannya. Apalagi hidup di akuarium dengan pemilik yang mencintai mereka, makanan hampir pasti setiap hari disediakan olehnya.
Jangan pula dikira, ketika Nemo memutuskan untuk memilih tetap tinggal di akuarium dan tidak mengikuti keinginan untuk hidup di lautan lepas yang penuh kebebasan, tantangan, kesenangan yang sungguh luas dan mungkin tak terbatas. Dicap sebagai Nemo yang pengecut dan tak bermental ksatria. Nemo ini akan tetap menjalankan “takdir sementara” ini dengan sungguh-sungguh dengan tetap mempersiapkan diri baik secara mental dan keilmuan ketika suatu waktu Ia ditakdirkan dan tidak ada kemungkinan lain untuk menolak dan dipindahkan ke lautan. Ia tak akan termenung dan menangisi hidup di akuarium padahal Ia sadar bahwa tempatnya adalah di lautan. Akan tetapi Ia akan membangun kemesrahan hidup agar sesama warga ikan akuarium dapat hidup nyaman dan damai. Sufisme adalah “menyepikan hati” bukan menyendiri dan tidak bergabung dengan membaur dengan kehidupan sekitar. Suatu saat ketika hingga akhir hayatpun si Nemo tetap tinggal di akuarium, tentu dia akan dikenang dan bermanfaat bagi sekitar dan bersuka cita kembali kepada yang menciptakan. Andaikan Nemo memaksa tetap kembali ke lautan, bukankah ia hanya dapat tinggal dan bergantung hidupnya pada anemon laut, yang lebih sempit dan mungkin tak banyak yang dapat ia lakukan seperti di Akuarium. Wallahualam bishawab (Akbar Hairi mahasiswa program PhD Huazhong University of Science and Technology (HUST) Wuhan Tiongkok).
Sekilas saya akan ceritakan hal yang menarik dalam film Finding the Nemo yang berkaitan dengan nilai yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini. Pada saat itu Nemo, hidup di dalam akuarium yang kebetulan dapat melihat langsung ke arah lautan di mana pemilik akuarium tinggal di pinggir pantai. Keinginan dan keyakinan Nemo bahwa tempat tinggal yang sesungguhnya bagi Nemo adalah di lautan lepas, mendorong Ia melakukan siasat untuk dapat menggunakan kesempatan dari kelengahan sang pemilik akuarium. Hingga akhirnya Nemo dan teman-temannya berhasil kembali ke lautan luas dan berusaha mencari sanak familinya.
Tentu saja nilai yang disampaikan dari film ini sangat baik yaitu sebuah keyakinan dan kerja sama yang baik antar sesama akan memungkinkan kita mencapai tujuan besar yang dapat dinikmati bersama. Tetapi tunggu dulu, tidak adakah kemungkinan kemanfaatan yang lain jikalau si Nemo memiliki pola berpikir yang berbeda dan keputusan yang berbeda ketika Ia memutuskan untuk tetap tinggal di akuarium. Saya membayangkan ketika Nemo berpikir bahwa ketika ia “ditakdirkan” untuk hidup di akuarium dan meyakini bahwa keputusannya untuk tetap tinggal adalah yang terbaik. Ia meyakini bahwa ia memiliki tugas khusus untuk menemani seluruh warga ikan di akuarium agar tercipta keharmonisan hidup antar sesama warga akuarium. Di sini Nemo akan mampu mengembangkan kemampuannya yang terpendam sebagai ikan yang berbakat untuk mudah dicintai oleh ikan lainnya dengan bentuk dan warnanya yang lucu.
Namun apabila Nemo merasakan bahwa justru warnanya yang “istimewa” dapat menimbulkan kecemburuan dan rasa tidak suka dari warga ikan lainnya, Ia tak akan berusaha menghilangkan identitas asli yang diperoleh dari lahir. Nemo akan berusaha mati-matian untuk meyakinkan warga bahwa warna yang Ia punya tidaklah menjadi ancaman justru akan meyakinkan bahwa tidak mungkin bagi Nemo untuk menjadi penjahat karena warnanya saja sudah menggelikan. Pastilah Nemo akan membuktikan pula dengan sikap dan perilakunya dan akan lebih mudah baginya untuk dapat cepat akrab dengan ikan-ikan lainnya karena Ia tak punya kapasitas untuk menjadikan mereka menjadi rantai makanannya. Apalagi hidup di akuarium dengan pemilik yang mencintai mereka, makanan hampir pasti setiap hari disediakan olehnya.
Jangan pula dikira, ketika Nemo memutuskan untuk memilih tetap tinggal di akuarium dan tidak mengikuti keinginan untuk hidup di lautan lepas yang penuh kebebasan, tantangan, kesenangan yang sungguh luas dan mungkin tak terbatas. Dicap sebagai Nemo yang pengecut dan tak bermental ksatria. Nemo ini akan tetap menjalankan “takdir sementara” ini dengan sungguh-sungguh dengan tetap mempersiapkan diri baik secara mental dan keilmuan ketika suatu waktu Ia ditakdirkan dan tidak ada kemungkinan lain untuk menolak dan dipindahkan ke lautan. Ia tak akan termenung dan menangisi hidup di akuarium padahal Ia sadar bahwa tempatnya adalah di lautan. Akan tetapi Ia akan membangun kemesrahan hidup agar sesama warga ikan akuarium dapat hidup nyaman dan damai. Sufisme adalah “menyepikan hati” bukan menyendiri dan tidak bergabung dengan membaur dengan kehidupan sekitar. Suatu saat ketika hingga akhir hayatpun si Nemo tetap tinggal di akuarium, tentu dia akan dikenang dan bermanfaat bagi sekitar dan bersuka cita kembali kepada yang menciptakan. Andaikan Nemo memaksa tetap kembali ke lautan, bukankah ia hanya dapat tinggal dan bergantung hidupnya pada anemon laut, yang lebih sempit dan mungkin tak banyak yang dapat ia lakukan seperti di Akuarium. Wallahualam bishawab (Akbar Hairi mahasiswa program PhD Huazhong University of Science and Technology (HUST) Wuhan Tiongkok).