Kabar Mu Tiongkok
Temukan Kami di Sosial Media :
  • Beranda
  • Berita
  • Wawasan
  • Risalah Netizen
    • Refleksi Netizen
    • Reportase Netizen
    • Opini Netizen
    • Romadhan di Tiongkok
    • GongXi-Tiongkok
  • Aktivitas
    • School Of Journalism
    • Agenda
    • Lomba Foto >
      • form-lomba-foto
      • Poling Lomba Foto
    • Polling Puisi Favorite >
      • Puisi Favorite 2018
    • Polling
    • Lomba Ramadhan >
      • Pemenang Lomba
      • Polling Video-Favorite
  • Tamadun
    • Karya Fiksi
    • Galeri Foto
    • Karya Video
    • Karya Puisi
    • Kantin Kartini
  • Kontak Kami
  • Organisasi
  • Muhibah Ukuwah
    • NANJING >
      • Poling Lomba Foto Nanjing
      • Foto Ukuwah Nanjing
    • HANGZHOU >
      • Pooling Lomba Foto Hangzhou
      • Foto Ukhuwah Hangzhou
    • SHANGHAI >
      • Foto Ukhuwah Shanghai
  • Tiongkonomi
  • Kemitraan
    • UHAMKA - Pengantar TI
    • UHAMKA - Etika Profesi
    • UHAMKA - Digital Sistem
    • UHAMKA - Praktikum Digital

Surga di Telapak Kaki Ibu (Komitmen kepada Orang Tua dan Istri Tercinta)

16/10/2019

0 Comments

 
Picture

Oleh: Neola Hestu Prayogo*

Kasih Ibu,..
Kepada Beta
Tak Terhingga Sepanjang Masa
Hanya Memberi,
Tak Harap Kembali,
Bagai Sang Surya, Menyinari Dunia.

(Karya: SM. Mochtar)
​

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
 
Saya ingin sedikit berbagi kisah pengalaman hidup saya kepada teman - teman semua. Mudah-mudahan kisah pengalaman saya ini bisa menjadi pengingat bagi diri saya pribadi dan teman - teman semua yang membaca kisah pengalaman ini. Ibu bagi saya adalah seorang perempuan yang istimewa, saya sangat menghormati dan menghargai ibu saya. Begitu besar pengorbanan yang ibu berikan kepada saya,dimulai saat beliau mengandung saya di dalam rahim beliau selama sembilan bulan hingga mempertaruhkan nyawanya di saat melahirkan saya. Tahukah anda semua bahwa rasa sakit yang dialami seorang ibu di saat melahirkan seorang anak rata – rata mengalami rasa sakit dengan skala sampai 57 Dels, padahal seorang manusia normal hanya mampu menahan rasa sakit hingga skala 45 Dels. Kita tidak akan bisa membayangkan bagaimana seorang ibu berjuang menahan rasa sakit yang luar biasa demi melahirkan kita semua hingga mempertaruhkan nyawanya. Sungguh sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa membalas seluruh kebaikan serta pengorbanan seorang ibu yang diberikan kepada kita.

Ibu adalah pribadi yang tegas dan disiplin dalam membesarkan saya, namun tak lupa selalu ada kasih sayang yang tulus di dalamnya kepada saya. Di usia saya sekarang ini yang sudah menginjak usia 28 tahun ini, terkadang saya rindu masa kecil saya di mana saya banyak menghabiskan waktu bersama ibu. Banyak sekali kenangan – kenangan yang saya rindukan bersama ibu mulai dari masa saya masih kanak-kanan. Kenangan – kenangan itu sampai sekarang tetap tersimpan di hati saya. Di saat masa transisi saya menuju remaja, saya kerap sekali berbuat kenakalan yang ujung-ujungnya membuat ibu sedih. Di situ saat saya mengingat bagaimana waktu dulu ibu saya sedih atas ulah kenakalan saya, saya sangat menyesal sekali pernah membuat ibu sedih atas ulah saya. Namun meski begitu, beliau tetap setiap merangkul saya dengan kehangatan kasih sayang yang tulus.
 
Ada satu momen terberat di dalam hidup saya saat ibu saya mengalami sakit, ibu saya mengalami sakit stroke. Saya mengetahui kabar bahwa ibu sakit dan dirawat di rumah sakit lewat ayah yang menelpon saya dan memberitahu kabar tersebut kepada saya. Waktu itu saya masih di Yogyakarta sedang melanjutkan pendidikan S2 saya, saat malam mendapat kabar tersebut saya langsung bergegas kembali pulang ke Malang untuk menemui ibu saya. Saya sampai di Malang saat subuh pagi dan langsung menuju rumah sakit. Di situ saat saya tiba di rumah sakit dan melihat ibu saya tidur terbaring lemah di kasur, air mata saya mengalir sendirinya. Ketika ibu menyadari kedatangan saya, beliau sayu – sayu memanggil nama saya, saya mendekati beliau dan memeluk beliau. Saat ibu sakit, beliau tidak bisa mengingat siapapun orang lain selain anggota keluarga saya yakni ayah, adik perempuan saya dan saya pribadi. Ibu hampir dua bulan dirawat di rumah sakit, selama itu juga saya merawat beliau mulai dari menyuapi makanan, memandikan serta mengganti popok beliau.

Selama ibu sakit, ada seorang gadis yang sering hadir datang menjenguk ibu, saya melihat ketulusan dari hatinya saat menjenguk ibu saya. Dia tidak canggung sama sekali menyuapi ibu saya makan serta ikut merawat ibu saya. Di situ saya mulai jatuh hati akan ketulusan hatinya dan cara dia memperlakukan ibu saya. Sempat saya tanyakan kepada dia, mengapa dia bersedia menjenguk dan merawat ibu saya sebegitu rupa, dan dia waktu itu menjawab bahwa dia tulus di dalam menjenguk dan merawat ibu saya.
Saya bersyukur bisa mengenal perempuan itu dan menikahinya untuk menghabiskan sisa hidup berdua. Hakikat menikah bagi saya, “menikah bukanlah hanya perkara menyatukan dua hati insan menjadi satu, namun menyatukan dua keluarga besar menjadi sebuah keluarga besar”. Apalah artinya menikah jika hanya mementingkan perasaan atau ego pribadi tanpa restu dari kedua orang tua. Janganlah sampai kita menikah justru menjauhkan kita dari keluarga bahkan hingga menjauhkan kita dari agama, justru menikahlah dengan seseorang yang justru mendekatkan kita kepada keluarga dan agama. Di samping itu saya menikah juga mengharapkan ridho dari orang tua karena keridhoan orang tua adalah keridhoan Allah Ta’ala, begitu pun sebaliknya, ketika orang tua murka terhadap kita, maka Allah pun murka kepada kita. Dari Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
​“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.”Hadits riwayat Hakim, ath-Thabrani.”

​Sebelum kami menikah, kami sempat membicarakan sebuah komitmen, di mana setelah menikah saya mengatakan bahwa saya akan tetap berbakti kepada orang tua saya terutama kepada ibu saya. Jika seorang pria menikah maka kewajibannya untuk berbakti kepada ibunya tidak hilang. Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.” (Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah). Pengulangan jawaban sebanyak tiga kali oleh Rasulluah ini menunjukkan bahwa sampai kapanpun anak laki – laki tetap menjadi hak ibunya dan seorang istri tidak berhak melarang suaminya untuk berbakti kepada kedua orang tua suami terutama ibu dari suami. Lain halnya dengan seorang wanita, ketika seorang suami melakukan Ijab Kabul maka berpindahlah hak dan kewajiban anak perempuan dari ayah atau walinya kepada suaminya dan detik itu juga seorang istri bekewajiban untuk berbakti kepada suami. Dengan berpindahnya hak dan kewajiban sang ayah dari istrinya kepada suaminya. Hal ini diperkuat oleh hadits Imam Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah r.a. berkata:

“Aku bertanya kepada Nabi Muhammad saw., siapakah manusia yang paling berhak atas seorang wanita?” Jawabnya, “Suaminya.” “Kalau atas laki-laki?” Jawabnya, “Ibunya.”
​
Materi tulisan ini pernah disampaikan dalam Ngaji Bareng mahasiswa CCNU di Kota Wuhan, Tiongkok pada tanggal 27 September 2019.
 
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral, School of International Politics and Social Studies, Central China Normal University*
​
0 Comments

Kicauan Sebatang Pohon

14/12/2018

0 Comments

 
Picture
Alkisah seorang pemuda merantau ke negeri tirai bambu, kebetulan mendapat takdir untuk menempa ilmu secara gratis dan ditanggung dari sandang pangan dan papan walau tidak sampai mapan. Sebut saja nama pemuda ini, dipanggil Alas. Entah mengapa dia merasa nyaman dengan panggilan Alas, mungkin bercita-cita hanya ingin menjadi alas paduka. Pastilah ada alasan filosofis dan mungkin agak sedikit di luar nalar rasional dan agak sedikit model ilmu kebatinan. Begitu perkiraan beberapa teman-temannya yang kemungkinan besar tak pernah ia ceritakan pula.

Singkat cerita si Alas ini kemudian sembari menikmati secangkir kopi di sela-sela ia berkumpul bersama dengan teman-temannya seperantauan mendekat ke sebuah pohon. Belum yakin benar apa nama pohon ini, namun dalam hati Alas, pohon ini tak ia jumpai di negeri asalnya. Tak ada yang spesial dengan pohon yang didekatinya, berbatang besar, kokoh, bercabang dua namun daunnya sungguh aduhai. Baginya tampak seperti daun palsu yang ia temui di mall-mall perbelanjaan ketika memasuki musim natal. Diambilnya daun yang gugur dan bergumam “alangkah indahnya, bahkan pohon saja dianugerahi daun yang secantik ini”. Sesekali ia melirik pasangan suami istri bersama kedua anaknya dengan mesrahnya berangkulan dan menunjukkan rasa kasih sayang yang membuat si Alas berdecak dalam hati “ah betapa romantis dan harmonisnya keluarga itu”.

Tak lama, mungkin disebabkan Alas yang terlalu sensitif atau merasa memiliki kedekatan dengan semua makhluk hidup. Alas merasa si Pohon bercabang dua ini menyindirnya dengan ungkapan “Iri ni ye... beraninya cuman ciut-ciut dalam hati ah romantisnya”. Langsung ditatapnya pohon ini oleh Alas. Tak ingin kalah Alas kembali menyindir si Pohon “Kamu itu, baru bisa bercabang dua bertahun-tahun kamu hidup. Sudah berani-beraninya menyentil saya”. Sedikit terkekeh-kekeh, si Pohon pun membalas “Alas-alas, kamu itu kalau mbales selalu pas, tapi jawab pertanyaan saya ini. Apa prestasimu selama kamu hidup dengan menyebut cabang saya cuma dua selama hidup?”. Tersentak dan agak gelagapan oleh pertanyaan si Pohon ini. “Anu... apa yaa... hmmmm...”, dalam hati alas mencurigai apakah si Pohon juga menonton dialog hot yang tayang tiap Selasa malam di Indonesia.

Tertunduk dan meminta waktu sedikit berpikir untuk menjawab pertanyaan si Pohon dengan
sesekali menyeruput kopi. “Ya.. ya. ya.. saya paham arah sindiranmu ini” ujar alas. Si Pohon menagih penjelasan dari keyakinan yang dipahami oleh Alas. “Okay saya jawab, saya sendiri kadang banyak kagumnya dengan kalian para pepohonan. Setiap hari saya lihat kalian ini, tak pernah membahas ada berapa cabang yang kalian miliki, berapa tumbuhnya tiap hari, seberapa tinggi kalian, seberapa besar cabang kalian, pun jika ternyata pada akhirnya harus mati atau ditebang sekalipun tak pernah mengajukan tuntutan ala hak asasi pohon. Benar-benar ahli ilmu takdir, tak kan berani kalian meninggikan tubuh kalian jika tak menghujamkan akar yang benar-benar kuat. Sungguh berbeda dengan kami manusia, makhluk yang dipercayakan membawa bumi dan isinya untuk kami gunakan demi rahmatan lil alamin.” Terang si Alas kepada Pohon.

Si Pohon tertawa keras sekali mendengar jawaban si Alas, “Lumayan anak muda”, begitu balasan si Pohon. “Saya sering sekali tertawa geli melihat manusia, kami para pohon bahkan tak pernah menuhankan sesama pohon, dan bahkan menerima kalau manusia memangkas daun dan batang kami demi sebuah niat keindahan dan keamanan makhluk hidup. Tak pernah kami membahas seberapa payah dan energi yang kami perjuangkan untuk mengembangkan dahan-dahan dan dedaunan kami. Coba lihat manusia, bahkan dikritik sedikit pun langsung dilaporkan perbuatan tidak menyenangkan, lebih-lebih dituhankan, sungguh bagaimana kalian mencapai baldatun toyibattun wal goffur?, semua omong kosong”. Diteruskan dengan gelegar ketawa si Pohon. Si Alas tak lagi membalas dan hanya tersenyum puas akan pemahaman yang ia dapat. Sembari pamitan, Alas mengajukan pertanyaan sedikit nyeleneh, apakah jika ia
membuang hajat di bawah pohon dapat memberikan khasiat ajaib seperti yang ia dengar waktu kecil, Tiba-tiba dahan jatuh persis di samping Alas seolah pohon sedang marah, dan Alaspun kabur sambil cekakakan. Wallahualam bishawab. (Akbar Hairi)


0 Comments

Sunanto, Anak Panti Asuhan Sumenep Itu Kini Jadi Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah

29/11/2018

0 Comments

 
Picture
PWMU.CO – Tahun 2000 rasanya baru kemarin berlalu ketika kami harus meninggalkan Pulau Madura menuju Tanah Jawa. Niat dan tekad kami hanya satu: Kuliah. Ya, kami harus bisa merasakan bangku universitas agar bisa masuk pusaran peradaban.

Kami berangkat bersama ke Tanah Jawa, tapi dengan tujuan yang berbeda. Saya menuju Malang untuk menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), sedang adik sepupu saya, Sunanto, menuju Solo untuk menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Sebelumnya, kami sama-sama lulusan SMA Muhammadiyah 1 Sumenep dan tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah (PAM) Sumenep.

Sunanto lahir di Desa Lobuk, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Sebuah desa terpencil di bagian selatan ujung timur Pulau Madura. Tempat yang jauh dari jalan protokol.

Lulus dari SD Negeri Lobuk, Sunanto masuk Pondok Pesantren Sumber Mas, di Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, sekaligus menempuh pendidikan di MTs Sumber Mas Ganding. Di sinilah watak keislaman mulai ditempa dengan pendidikan formal di tsanawiyah dan kajian kitab kuning di pondok pesantren.

Sebagaimana kebanyakan keluarga di desa kami yang kurang mampu, selepas tsanawiyah, putra pasangan Muatram dan Zakiyah ini melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Sumenep. Bersekolah di sini gratis, semua ditanggung oleh PAM Sumenep.

Panti yang terletak di Jalan Pahlawan Gang IV Nomor 1 ini memang membina anak yatim dan anak kurang mampu. Anak-anak yang dibina di panti ini berasal dari Sumenep daratan—sebutan untuk wilayah Sumenep yang berada di pulau Madura—juga dari Sumenep kepulauan, seperti Sapeken, Kangean, Sepudi, Raas, Masa Lembu, dan lain-lain.

Selama di SMA, ragil tiga bersaudara ini sangat aktif berorganisasi. Mulai Pimpinan Ranting Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) sampai Pimpinan Daerah IRM Sumenep—kini IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah). Tak lupa juga aktif di Pramuka—selain di SMA juga di Polres Sumenep dalam Saka Bhayangkara.

Setamat SMA, Sunanto melanjutkan studi ke UMS dan menetap di Pondok Pesantren Hj Nuriyah Sobron. Selama di perguruan tinggi, Sunan—biasa kami memanggil—mulai aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).


Bakat organisasi yang dimiliki semakin terasah tajam, hingga ia berhasil menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM Jawa Tengah. Saat di DPD IMM Jateng ini, hatinya tertambat pada Immawati Mahtumatul Qolbi Aprilia yang kala itu menjadi Bendahara DPD IMM Jateng. Perempuan berlatar belakang Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) Jateng ini kemudian dipersunting dan dinikahi pada bulan Januari 2007.
Selepas kuliah Sunanto masih melanjutkan karir di DPP IMM sebagai Kabid Hikmah. Bahkan ia sempat maju sebagai calon Ketua Umum DPP IMM bersaing dengan Ton Abdillah dan hanya kalah satu suara. Ya satu suara.
Kekalahan ini tak membuat patah arang. Seperti pepatah Madura, sekali sapi dilepas, tak mungkin ia bisa dibelokkan. Ia telah melesat, meninggalkan garis start menuju finish. Menang atau kalah hanya kepastian akhir yang akan menentukan.
Ayah dari Qiesha Joang Ikatan dan Queen ini masuk di jajaran Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Bahkan di Muktamar XVI di Padang, Sumatra Barat, ia berhasil masuk sebagai salah seorang formatur dan terpilih menjadi Ketua Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik. Tidak hanya itu, ia juga berhasil menjadi Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pemilu untuk Rakyat (JPPR) periode 2017-2019.
Keaktifannya di Pemuda Muhammadiyah mengantarkan Sunanto menjadi pribadi yang matang. Di saat banyak pimpinan yang masuk resuffle, ia tetap bisa bertahan. Dan di Muktamar XVII Pemuda Muhammadiyah di Yogyakarta, ia maju sebagai kandidat calon ketua umum, bersaing dengan para calon yang lebih tenar dibanding dirinya.
Anak petani dari pesisir karang Madura ini akhirnya mampu membuktikan dirinya menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Periode 2018-2022. Selamat! (*)
Sidoarjo, 29 November 2018
Kolom oleh Moh. Ernam, Alumni Panti Asuhan Muhammadiyah Sumenep, Guru SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo


​Sumber : pwmu.co
https://pwmu.co/81206/11/29/sunanto-anak-panti-asuhan-sumenep-itu-kini-jadi-ketua-umum-pp-pemuda-muhammadiyah/
0 Comments

Letak Kesukuan dalam Hidup

2/11/2018

0 Comments

 
Picture
Oleh : Akbar Hairi, Mahasiswa Program PhD Huazhong University of Science and Technology, Wuhan, Tiongkok.

Setiap manusia pasti mengantongi nilai yang menjadi pedoman hidup dalam pergaulan sehari-hari sebagai hasil konstruksi sosial yang ditanamkan oleh keluarga dan masyarakat di mana Ia tumbuh hingga dewasa. Melekat dan membentuk karakter kita yang tak dapat terpisahkan dari diri kita masing-masing dari mulai bahasa, gaya bicara, intonasi dan rima bicara, selera lidah, selera musik, selera berpakaian hingga yang lebih luas seperti perilaku sosial dan etos kerja. Untuk memudahkan kita, maka semua yang melekat itu merupakan identitas yang bersifat kesukuan yang kita terima dan pahami bersama.
Kesukuan merupakan simbol yang penting bagi kehidupan kita, karena menyangkut rasa nyaman dan merasa senasib sepenanggungan oleh sebab berasal dari latar belakang daerah yang sama. Apalagi kita bertemu dengan orang sedaerah kita di negeri perantauan dan tak jauh tinggalnya dengan tempat tinggal kita di kampung halaman. Sungguh menyenangkan hati kita dan mengobati kerinduan yang mendalam akan hiruk pikuk kehidupan yang biasanya dialami setiap hari.
Lantas bagaimana pula jikalau ternyata di negeri orang kita tidak dapat menemukan orang yang sesuku dengan kita. Apakah menjadikan kita tidak mau membaur, atau bahkan mendorong-dorong orang lain untuk menjadi suku yang sama. Menjadi celaka dan aneh apabila kita memaksakan nilai kesukuan kita untuk ditanamkan kepada orang lain, yang jelas-jelas pastilah ia sudah sepaket dengan nilai kesukuan yang ia miliki dari sejak lahir. Hampir dapat dipastikan akan terjadi pergesekan sosial dan ketidakharmonisan dalam pergaulan sehari-hari.
Sungguh menarik, inilah yang mendorong saya untuk membahasnya dan belajar menyelami makna kesukuan yang ada di dalam diri saya pribadi. Hanya manusia yang mempunyai suku, sehingga urusan kesukuan monopoli urusan manusia. Apa yang kita lihat dari manusia ketika kita hendak bergaul dan berkomunikasi dengan manusia lainnya. Mungkin beberapa dari manusia melihat pertama kesamaan agama, meningkat kesamaan suku dan bangsa, meningkat latar belakang sosial (status sosial, pekerjaan, kekayaan, keturunan), meningkat kondisi fisiknya dan tampilannya (Tampan atau Cantik, kece dan modis), meningkat terus menerus hingga ke bau badan bahkan hal-hal kecil asesoris penampilan.
Celaka betul nasib orang yang karena perbedaan bangsa dan suku, atau bahkan karena kekurangan yang dimilikinya misalnya miskin, fisiknya sedikit merongos, terus dia dikucilkan dalam kehidupannya. Saya sendiri secara pribadi berpendapat, kalau saja itu terjadi dengan sengaja, berarti itu sama artinya dengan melecehkan Tuhan. Bukankah di dalam Al-quran telah disebutkan bahwa Allah menyatakan jika hendak membuat kaum hanya menjadi satu kaum, sungguh Ia pasti sanggup. Tetapi sudah merupakan ketetapanNya, telah dibuat manusia bersuku-suku dan berbangsa bangsa. Sungguh sangat wajar karena Allah adalah Tuhan dan tak ada siapapun yang dapat protes dengan kehendakNya.
Lantas bagaimana letak kesukuan yang harus kita posisikan dalam kehidupan kita. Allah juga mengatakan bahwa telah Aku ciptakan  manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal mengenal (lita’aarofu). Di sinilah patokan kita untuk meletakkan kesukuan agar kita sama-sama saling berkenalan dan belajar dengan suku yang berbeda. Saya meyakini tujuan dari Sang Maha Kuasa menciptakan beraneka ragam suku bangsa di muka bumi ini, agar hidup kita makin asyik dan semakin sadar berjuta kemungkinan ilmu dan pemahaman yang dapat kita petik dari berbagai latar belakang suku dan bangsa manusia, yang kemudian bermuara kepada  keluasan hati dan pola pikir kita dalam hidup. Mari lita’aarofu, mari saling mengenal, dengan kenyataan adanya berbagai suku dan bangsa. Wallahualam Bishawab.

0 Comments

Sufisme ala Nemo

14/10/2018

0 Comments

 
Picture
Oleh : Akbar Hairi, Mahasiswa Program PhD, Huazhong University of Science and Technology Wuhan Tiongkok.
Ikan NEMO, mungkin beberapa di antara kita akrab dengan nama ikan ini. Bagi yang tak asing mendengar nama ikan ini, besar kemungkinan telah menonton film animasi "Finding the Nemo". Ikan Nemo memiliki panggilan nama lain khususnya bagi penggemar ikan di negeri Paman Sam menyebutnya sebagai Clown Fish alias ikan badut. Menjadi sangat beralasan ikan ini mendapat panggilan sebagai badut karena warnanya yang sangat terang dan kombinasi yang lucu yaitu jingga yang diselingi dengan warna putih dan seterusnya. Tampak seperti seorang badut yang hendak tampil melucu.

Sekilas saya akan ceritakan hal yang menarik dalam film Finding the Nemo yang berkaitan dengan nilai yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini. Pada saat itu Nemo, hidup di dalam akuarium yang kebetulan dapat melihat langsung ke arah lautan di mana pemilik akuarium tinggal di pinggir pantai. Keinginan dan keyakinan Nemo bahwa tempat tinggal yang sesungguhnya bagi Nemo adalah di lautan lepas, mendorong Ia melakukan siasat untuk dapat menggunakan kesempatan dari kelengahan sang pemilik akuarium. Hingga akhirnya Nemo dan teman-temannya berhasil kembali ke lautan luas dan berusaha mencari sanak familinya.

Tentu saja nilai yang disampaikan dari film ini sangat baik yaitu sebuah keyakinan dan kerja sama yang baik antar sesama akan memungkinkan kita mencapai tujuan besar yang dapat dinikmati bersama. Tetapi tunggu dulu, tidak adakah kemungkinan kemanfaatan yang lain jikalau si Nemo memiliki pola berpikir yang berbeda dan keputusan yang berbeda ketika Ia memutuskan untuk tetap tinggal di akuarium. Saya membayangkan ketika Nemo berpikir bahwa ketika ia “ditakdirkan” untuk hidup di akuarium dan meyakini bahwa keputusannya untuk tetap tinggal adalah yang terbaik. Ia meyakini bahwa ia memiliki tugas khusus untuk menemani seluruh warga ikan di akuarium agar tercipta keharmonisan hidup antar sesama warga akuarium. Di sini Nemo akan mampu mengembangkan kemampuannya yang terpendam sebagai ikan yang berbakat untuk mudah dicintai oleh ikan lainnya dengan bentuk dan warnanya yang lucu.

Namun apabila Nemo merasakan bahwa justru warnanya yang “istimewa” dapat menimbulkan kecemburuan dan rasa tidak suka dari warga ikan lainnya, Ia tak akan berusaha menghilangkan identitas asli yang diperoleh dari lahir. Nemo akan berusaha mati-matian untuk meyakinkan warga bahwa warna yang Ia punya tidaklah menjadi ancaman justru akan meyakinkan bahwa tidak mungkin bagi Nemo untuk menjadi penjahat karena warnanya saja sudah menggelikan. Pastilah Nemo akan membuktikan pula dengan sikap dan perilakunya dan akan lebih mudah baginya untuk dapat cepat akrab dengan ikan-ikan lainnya karena Ia tak punya kapasitas untuk menjadikan mereka menjadi rantai makanannya. Apalagi hidup di akuarium dengan pemilik yang mencintai mereka, makanan hampir pasti setiap hari disediakan olehnya.

Jangan pula dikira, ketika Nemo memutuskan untuk memilih tetap tinggal di akuarium dan tidak mengikuti keinginan untuk hidup di lautan lepas yang penuh kebebasan, tantangan, kesenangan yang sungguh luas dan mungkin tak terbatas. Dicap sebagai Nemo yang pengecut dan tak bermental ksatria. Nemo ini akan tetap menjalankan “takdir sementara” ini dengan sungguh-sungguh dengan tetap mempersiapkan diri baik secara mental dan keilmuan ketika suatu waktu Ia ditakdirkan dan tidak ada kemungkinan lain untuk menolak dan dipindahkan ke lautan. Ia tak akan termenung dan menangisi hidup di akuarium padahal Ia sadar bahwa tempatnya adalah di lautan. Akan tetapi Ia akan membangun kemesrahan hidup agar sesama warga ikan akuarium dapat hidup nyaman dan damai. Sufisme adalah “menyepikan hati” bukan menyendiri dan tidak bergabung dengan membaur dengan kehidupan sekitar. Suatu saat ketika hingga akhir hayatpun si Nemo tetap tinggal di akuarium, tentu dia akan dikenang dan bermanfaat bagi sekitar dan bersuka cita kembali kepada yang menciptakan. Andaikan Nemo memaksa tetap kembali ke lautan, bukankah ia hanya dapat tinggal dan bergantung hidupnya pada anemon laut, yang lebih sempit dan mungkin tak banyak yang dapat ia lakukan seperti di Akuarium. Wallahualam bishawab (Akbar Hairi mahasiswa program PhD Huazhong University of Science and Technology (HUST) Wuhan Tiongkok).
0 Comments

Mungkinkah Maling Masuk Surga ?

7/10/2018

0 Comments

 
Picture
Picture
Ilustrasi gambar diambil dari internet mojok.co dan berita.baca.co.id 
Picture
Di suatu desa ada seorang guru ngaji yang baru saja ditinggal oleh suaminya meninggal dunia. Makam suami guru ngaji tersebutpun terletak tak jauh dari mesjid kampung. Guru ngaji ini bernama Bu Ijah, yang sehari-hari mengajarkan anak-anak kecil di kampungnya dari membaca Iqro, Juz Amma, dan Al-Qur’an, sampai pelajaran ahlaq pun disampaikan oleh Bu Ijah, melalui kisah-kisah para nabi dan rasul serta para sahabat. Bu Ijah ini sosok guru ngaji yang dengan tulus mengajarkan membaca al qur'an, akhlak dan ilmu syariat Islam untuk ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini. Ketulusan dan keikhlasan Bu Ijah ini paling tidak tercermin dari semangatnya dalam mengajar dengan tidak menerima upah sepeserpun uang. Hanya sesekali menerima sekedar beras sekilo dua kilo, atau bumbu dapur itupun alakadarnya saja.
Mulai pagi hari Bu Ijah sudah rajin mengurus singkong dan merawat tanaman buah-buahannya seperti mangga, rambutan, jambu air dan tomat sebagai pelengkap konsumsinya. Di sore hari hingga selepas isya barulah ia mengisi waktunya dengan memberikan pelajaran mengaji kepada anak-anak kecil hingga remaja.

Tak jauh dari rumah bu Ijah, ada seorang bujang yang sebatang kara, bernama Badrun yang berkelakuan baik namun mendadak beberapa minggu setelah kepergian suami Bu Ijah menjadi buruan dan fokus perhatian Bu Ijah. Tak lain karena Badrun selalu mengintai dan kepergok Bu Ijah sedang memunguti mangga di kebunnya tanpa seizinnya. Tak ayal Bu Ijah mengejar dan menegur si Badrun yang diduga hendak maling mangga yang terkenal rasanya manis. Sambil berteriak-teriak dan lari sekuat tenaga Bu Ijah mengejar Badrun setiap harinya, yang biasanya beroperasi pada waktu pagi hari sekitar jam delapan. Begitu cepat lari si Badrun menyebabkan Bu Ijah bercucuran keringat mengejarnya hingga terlepas mangga yang dipegang Badrun barulah ia berhenti. Sesekali Badrun berhasil menggondol mangga, sesekali pula ia gagal mendapatkan buah mangga tersebut. Sungguh ini menjadi adegan luar biasa yang terjadi rutin tiap pagi seperti lomba lari estafet saja.
Inilah yang menyebabkan ketika mengisi pelajaran Agama dengan anak muridnya, mendorong Bu Ijah untuk membahas tentang perilaku mencuri alias maling di kampungnya. Dengan lantang dan ketus Bu Ijah berujar “Kalian janganlah menjadi pencuri, kalau hendak menikmati mangga manis, ya tanam mangganya, atau setidak-tidaknya minta ijin mengambil dan jika tidak diberi ijin jangan mencuri, karena maling itu perbuatan yang tercela dan dilarang dalam agama kita”. Disambut dengan pertanyaan sang murid, “Bu Ustadz, apakah pencuri itu masuk neraka?”. Dijawab dengan tegas dan yakin oleh Bu Ijah “Ya tentu, pasti, pencuri pasti masuk neraka, seperti Badrun itu, kerjanya mengintai kebun Ibu Ijah saja, tidak pernah meminta ijin untuk mengambil mangga, padahal dia masih bujang dan muda, kan wajib hukumnya berusaha bukan menjadi maling”. “Jangan ditiru kelakuan si Badrun itu, orang-orang seperti dia tempatnya di Neraka” terang bu Ijah. Diamini oleh murid-murid pengajian Bu Ijah dengan anggukan dan kembali belajar mengeja huruf-huruf hija'iyah.

Bu ijah akhirnya setelah mengamati dengan seksama pola operasi pencurian mangga oleh Badrun, ia sudah mempersiapkan diri dengan minum teh manis dan beberapa singkong rebus sebagai energi persiapan untuk mengejar Badrun yang akan maling di kebunnya. Ia menantikan hingga menjelang Dzuhur dan ia berkeliling untuk menaruh beberapa umpan mangga matang dan ranum di spot-spot di mana Badrun sering muncul. Anehnya tidak muncul batang hidung si Badrun, dan Bu Ijah sungguh senang hatinya. Sepertinya strategi Bu Ijah telah menciutkan nyali si Badrun untuk melakukan aksinya. Seminggu berlalu, Bu Ijah tetap melakukan hal yang sama dan mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan Badrun muncul di saat ia lengah mengawasi kebunnya. Tak lama kemudian menjelang maghrib, Pak Dimo selaku kepala dusun memberi tahu tentang akan diadakan doa bersama di rumahnya karena Badrun telah meninggal tadi sore karena sakit dan baru dikuburkan lepas ashar. Antara kaget dan lega, Bu Ijah mengiyakan untuk ikut hadir pada acara doa bersama tersebut.

Setelah Badrun meninggal, Bu Ijah kembali santai dan melakukan aktivitasnya namun tidak ada persiapan untuk kejar mengejar maling di kebunnya. Disebabkan usia yang tak muda lagi, lama-lama Bu Ijah semakin sulit berjalan dan sering sakit-sakitan. Tak sanggup lagi untuk mengajar muridnya dan hanya mampu sesekali berjalan dan duduk di beranda rumah memandang kebunnya. Suatu malam, Bu Ijah bermimpi Badrun sedang memakai pakaian layaknya seorang haji. Ia terperanjat dan tidak yakin dengan apa yang dilihatnya dalam mimpi, bukankah itu si Badrun? gumannya dalam mimpi.  Seketika Bu Ijah kaget terperanjat sampai terbangun, beristigfar dan memohon dalam doanya untuk diberikan petunjuk akan mimpinya. Selepas sholat tahajjud ia tertidur ketika bersender sembari bertasbih dan bertemu kembali dengan Badrun. Kali ini dalam mimpinya Bu Ijah segera bertanya untuk menjawab rasa penasarannya. “Benarkah engkau ini Badrun?”. Badrun hanya tersenyum dan mengucapkan salam kepada Bu Ijah sambil berlalu. Tak lama ada seorang pria muda yang tinggi besar menjawab “sungguh Badrun bukanlah pencuri, dia hanya ingin membuatmu sehat dengan mengejar-ngejarnya dan se betulnya dia ingin menghibur mu, karena prihatin melihatmu hidup sebatang kara”. Tersentak Bu Ijah menangis di saat terbangun dari mimpinya, kekhilafan akan kesempitan hatinya yang dibutakan hanya oleh mangga yang manis. Kesedihan dan rasa malu akan berfikiran buruk membuat Bu Ijah selalu bersujud dan memohon ampun kepada Allah SWT serta berdoa untuk kebaikan arwah Badrun setiap harinya. Mungkin Badrun satu-satunya "maling" yang bisa masuk Surga. Wallahualam Bishawab (Abu Nawas Al-Akbar Hairi)

0 Comments

Pengajian dan saya

31/12/2017

0 Comments

 
Oleh: Nanang Zulkarnaen

06 Desember 2017 mahasiswa bernama Gumay memberikan pesan pada saya via wechat. “ Pak  kami dari NJPI, akan mengadakan acara mulid nabi. “Boleh minta alamat lengkap kampus dan email bapak?”, begitulah kurang lebih dia menulis pesan, dengan tanpa lupa menyebut maaf sekiranya telah menggangu aktifitas saya. Sembari mengingat kegiatan yang lalu yang diselenggarakan mahasiswa kampus NJPI, saya mulai menyadari bahwa identitas yang ditanyakan penting artinya sebagai syarat bagi para tamu untuk bisa masuk areal kampus ini. Ayi di sushe-nya juga memang cukup ketat.
Picture

Penulis (tengah) bersama Ketua KIN (kiri) dan Panitia Maulid (kanan)

Read More
0 Comments

Pengalaman Bagaimana “MEMAHAMKAN” Si Kecil

21/9/2017

0 Comments

 
Picture
Oleh : Nugroho S Bintoro, Kandidat PhD Huazhong University of Science and Technology, Wuhan, Hubei, China.
​
Bismillahi Ar-Rahman Ar-Rahim.

Terdapat berbagai macam tipe orang tua dalam mendidik putra-putri-nya, dimulai dari yang membiasakan dengan didikan keras (dalam makna sebenarnya) maupun dengan penuh kelembutan bahkan sampai dengan mengarah kepada memanjakan si buah hati. Tentu saja masing-masing pasangan telah memperhitungkan dan bertimbang (berdiskusi) dalam metode atau pendekatan mengenai bagaimana cara mendidik anak.
​
Tulisan ini saya tuangkan semata-mata dengan tujuan untuk berbagi dan mudah-mudahan (teruntuk saya pribadi) terhindar dari perbuatan takabbur ataupun termasuk dalam golongan yang menyombongkan diri sendiri, karena ini hanyalah secuil pengalaman (dari panjangnya perjalanan hidup) yang belum tentu sesuai (tepat) dengan kondisi orang lain.

Fitrah manusia yang baru lahir ialah ingin mengetahui segala sesuatu yang tampak “baru” bagi si buah hati kita, karenanya sering kita lihat bahwa si kecil akan memasukkan segala sesuatu ke dalam mulut mereka. Akan tetapi, seringkali pula hal tersebut membuat kita sebagai orang tua merasa khawatir dan was-was terhadap anak kita. Atau terkadang si kecil melakukan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan “terlarang” dan sebagai contoh adalah memukul adik-nya; mencoret tembok, memecahkan gelas, melempar bendar, bermain pisau dan lain sebagainya.


Read More
0 Comments

The Rope of God

18/7/2017

1 Comment

 
Picture
Oleh : Tengku Zulyadi, PhD Program di Huazhong University of Science and Technology, Wuhan, Hubei, Tiongkok.

​Judul tulisan ini sama persis dengan buku yang menarik, dikarang oleh James Siegel (orang Aceh menyebut Jim Sigli atau Teungku Puteh). Professor Anthropology dan Asian Studies di Cornell University memiliki daya tarik tersendiri dengan masyarakat Aceh. Dalam bukunya, diceritakan kerasnya karakter orang Aceh terutama menyangkut masalah agama. Tidak ada tawar menawar untuk urusan ini, bila perlu berani angkat senjata.
​
Karakter orang sangat berbeda-beda, dipengerahui oleh banyak faktor. Secara umum, bisa kita sebut faktor individu dan sosial. Secara individu, setiap manusia memiliki konsep diri, yaitu kemampuan sesorang membaca siapa dirinya. Apa yang sudah dicapai dan apa yang mau dicapai, pendapat ini sangat berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan manusia yang paling dasar. Sementara, dari sisi sosial adalah penempatan diri bersama kelompok, baik dalam tingkat mezzo dan makro. Kemampuan bersosialiasasi, interaksi dan skil komunikasi sangat berperan dalam tahap ini. Sehingga bisa mempengaruhi karakter seseorang.

Tulisan ini mencoba untuk menghimpun beberapa karakter orang Aceh, tentu saja ini sangat subjektif karena ditulis oleh “orang dalam”/insider. Tidak bermaksud menjelekkan atau meninggikan, mengalir saja dipengaruhi oleh faktor individu dan sosial penulis.



Read More
1 Comment

Yum* of Rakans

12/7/2017

0 Comments

 
Picture
Oleh : Teuku Zulyadi ( Program PhD Huazhong University of Science and Technology Wuhan, Hubei, Tiongkok)

​Liburan sudah tiba, inilah yang ditunggu-tunggu oleh pelajar. Terutama bagi mereka international sudent, kesempatan ini dimanfaatkan untuk “mudik” ke negara asal. Liburan hingga dua bulan kedepan adalah masa yang indah untuk berkumpul dengan orang-orang tercinta. Sementara, bagi mereka yang tidak pulang kampung, bertahan di China adalah pilihan yang terpaksa. Terpaksa dengan alasan fokus studi, tiket mahal, menghindari pertanyaan kapan selesai kuliah, kapan menikah dan banyak alasan lainnya.

Bagi beberapa pelajar yang sudah tamat, tentu bukan menjadi liburan biasa. Dengan perasaan duka cita, menganggkat koper untuk kembali pulang sebagai “pembaharu” bagi kaum dan bangsanya. Dengan titel Master atau Doktor, peran baru siap menanti sebagai pengganti kelas masyarakat yang selalu berotasi. Ujian yang hakiki justru diuji pada saat kita mampu beradaptasi, mencurahkan segala potensi untuk karya yang berarti.

Kepulangan dalam waktu sementara atau lama, meninggalkan banyak pesan dan kesan yang berbeda. Dan, bahkan meninggalkan barang dan benda yang tidak diikut serta. Tidak heran, saat-saat musim seperti ini, hampir semua grop media sosial menjajakan barang-barang bekas. Mulai dari motor, sepeda, kulkas, mesin cuci, gelas hingga hanger bekas. Dan masih banyak barang-barang lainnya, sudah dipaket sedemikian rupa dengan mencantumkan nilai harga.

Pastinya, bukan sebuah masalah untuk menjual barang-barang yang masih bernilai tinggi. Namun, mirisnya, ada barang-barang bekas seperti hanger, jepitan baju, gelas plastik, alas kaki, tong sampah bahkan buku pelajaran sekalipun mencantumkan harga jual. Sangat kesepiankah dia?, datang ke China hanya untuk belajar, tidak mau berteman?atau begitu pekatnya kekikiran dalam dirinya, sehingga semua benda harus mencantumkan harga?

Berapa nilai teman bagimu ? Sekeping hanger bekaskah ? Setara dengan harga lima kuai ? Masha Allah !!! Tidak ada angka yang bisa kita pakai untuk sebuah nilai pertemanan. Terkadang, pada situasi tertentu melebihi dari nilai seorang ibu yang pernah memberi kita susu. Hidup diperantauan, temanlah yang menjadi andalan. Merekalah orang pertama yang memberi kita bantuan untuk membantu kebutuhan dari segala keterbatasan.

Menjual apapun adalah cara pandang kapitalisme. Mereka melihat individu sebagai konsumen sehingga menawarkan barang dan jasa, ujung-ujungnya harus bernilai dengan harga. Hubungan yang terjadi, hanyalah antara si penjual dan pembeli. Tidak perlu peduli, apa yang sedang terjadi. Bahkan, untuk orang yang hampir mati sekalipun, tawarkan dia kain kafan supaya dia beli. Tidak ada makan siang gratis, apalagi makan tiga kali. Begitu katanya.

Menjadi teman baik dan membantu mereka dalam kebaikan adalah perintah Al-quran yang mesti dijunjung tinggi. Jangan pernah berharap balasan dari kebaikan yang pernah kita lakukan untuk teman, namun berupayalah untuk membalas dari segala kebaikan teman yang pernah kita terima. Teringat, seorang ulama sufi dari Aceh, Abuya Amran Wali berkata “dalam diri kita ada hak orang lain, namun tidak ada hak kita dalam diri orang lain”. Wallahu a’lam.

Huahong, summer vocation   Juli 2017
​
*yum adalah bahasa Aceh, artinya nilai.

0 Comments
    Picture

    Refleksi Netizen

    Memuat beberapa catatan ringan dari Netizen, yang diharapkan bisa bermanfaat untuk diambil hikmah dan pelajaran.

    Archives

    October 2019
    December 2018
    November 2018
    October 2018
    December 2017
    September 2017
    July 2017

    Categories

    All
    Kemuhammadiyahan
    Muhammadiyah China
    Muhammadiyah Tiongkok
    Muktamar Peemuda Muhammadiyah

    RSS Feed

BERANDA
BERITA     
WAWASAN
  

REPORTASE NETIZEN
​OPINI NETIZEN
AGENDA
GALERI
POLING ARTIKEL FAVORITE
Flag Counter
Picture
​

PCIM TIONGKOK
kabarmutiongkok.org
Di Dukung Oleh BPTI UHAMKA