Oleh: Neola Hestu Prayogo*
Kasih Ibu,..
Kepada Beta
Tak Terhingga Sepanjang Masa
Hanya Memberi,
Tak Harap Kembali,
Bagai Sang Surya, Menyinari Dunia.
(Karya: SM. Mochtar)
Saya ingin sedikit berbagi kisah pengalaman hidup saya kepada teman - teman semua. Mudah-mudahan kisah pengalaman saya ini bisa menjadi pengingat bagi diri saya pribadi dan teman - teman semua yang membaca kisah pengalaman ini. Ibu bagi saya adalah seorang perempuan yang istimewa, saya sangat menghormati dan menghargai ibu saya. Begitu besar pengorbanan yang ibu berikan kepada saya,dimulai saat beliau mengandung saya di dalam rahim beliau selama sembilan bulan hingga mempertaruhkan nyawanya di saat melahirkan saya. Tahukah anda semua bahwa rasa sakit yang dialami seorang ibu di saat melahirkan seorang anak rata – rata mengalami rasa sakit dengan skala sampai 57 Dels, padahal seorang manusia normal hanya mampu menahan rasa sakit hingga skala 45 Dels. Kita tidak akan bisa membayangkan bagaimana seorang ibu berjuang menahan rasa sakit yang luar biasa demi melahirkan kita semua hingga mempertaruhkan nyawanya. Sungguh sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa membalas seluruh kebaikan serta pengorbanan seorang ibu yang diberikan kepada kita.
Ibu adalah pribadi yang tegas dan disiplin dalam membesarkan saya, namun tak lupa selalu ada kasih sayang yang tulus di dalamnya kepada saya. Di usia saya sekarang ini yang sudah menginjak usia 28 tahun ini, terkadang saya rindu masa kecil saya di mana saya banyak menghabiskan waktu bersama ibu. Banyak sekali kenangan – kenangan yang saya rindukan bersama ibu mulai dari masa saya masih kanak-kanan. Kenangan – kenangan itu sampai sekarang tetap tersimpan di hati saya. Di saat masa transisi saya menuju remaja, saya kerap sekali berbuat kenakalan yang ujung-ujungnya membuat ibu sedih. Di situ saat saya mengingat bagaimana waktu dulu ibu saya sedih atas ulah kenakalan saya, saya sangat menyesal sekali pernah membuat ibu sedih atas ulah saya. Namun meski begitu, beliau tetap setiap merangkul saya dengan kehangatan kasih sayang yang tulus.
Ada satu momen terberat di dalam hidup saya saat ibu saya mengalami sakit, ibu saya mengalami sakit stroke. Saya mengetahui kabar bahwa ibu sakit dan dirawat di rumah sakit lewat ayah yang menelpon saya dan memberitahu kabar tersebut kepada saya. Waktu itu saya masih di Yogyakarta sedang melanjutkan pendidikan S2 saya, saat malam mendapat kabar tersebut saya langsung bergegas kembali pulang ke Malang untuk menemui ibu saya. Saya sampai di Malang saat subuh pagi dan langsung menuju rumah sakit. Di situ saat saya tiba di rumah sakit dan melihat ibu saya tidur terbaring lemah di kasur, air mata saya mengalir sendirinya. Ketika ibu menyadari kedatangan saya, beliau sayu – sayu memanggil nama saya, saya mendekati beliau dan memeluk beliau. Saat ibu sakit, beliau tidak bisa mengingat siapapun orang lain selain anggota keluarga saya yakni ayah, adik perempuan saya dan saya pribadi. Ibu hampir dua bulan dirawat di rumah sakit, selama itu juga saya merawat beliau mulai dari menyuapi makanan, memandikan serta mengganti popok beliau.
Selama ibu sakit, ada seorang gadis yang sering hadir datang menjenguk ibu, saya melihat ketulusan dari hatinya saat menjenguk ibu saya. Dia tidak canggung sama sekali menyuapi ibu saya makan serta ikut merawat ibu saya. Di situ saya mulai jatuh hati akan ketulusan hatinya dan cara dia memperlakukan ibu saya. Sempat saya tanyakan kepada dia, mengapa dia bersedia menjenguk dan merawat ibu saya sebegitu rupa, dan dia waktu itu menjawab bahwa dia tulus di dalam menjenguk dan merawat ibu saya.
Saya bersyukur bisa mengenal perempuan itu dan menikahinya untuk menghabiskan sisa hidup berdua. Hakikat menikah bagi saya, “menikah bukanlah hanya perkara menyatukan dua hati insan menjadi satu, namun menyatukan dua keluarga besar menjadi sebuah keluarga besar”. Apalah artinya menikah jika hanya mementingkan perasaan atau ego pribadi tanpa restu dari kedua orang tua. Janganlah sampai kita menikah justru menjauhkan kita dari keluarga bahkan hingga menjauhkan kita dari agama, justru menikahlah dengan seseorang yang justru mendekatkan kita kepada keluarga dan agama. Di samping itu saya menikah juga mengharapkan ridho dari orang tua karena keridhoan orang tua adalah keridhoan Allah Ta’ala, begitu pun sebaliknya, ketika orang tua murka terhadap kita, maka Allah pun murka kepada kita. Dari Abdullah bin ’Amru radhiallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Sebelum kami menikah, kami sempat membicarakan sebuah komitmen, di mana setelah menikah saya mengatakan bahwa saya akan tetap berbakti kepada orang tua saya terutama kepada ibu saya. Jika seorang pria menikah maka kewajibannya untuk berbakti kepada ibunya tidak hilang. Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ada seseorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulallah, siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?” Jawab Rasulullah, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Jawabnya, “Ayahmu.” (Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah). Pengulangan jawaban sebanyak tiga kali oleh Rasulluah ini menunjukkan bahwa sampai kapanpun anak laki – laki tetap menjadi hak ibunya dan seorang istri tidak berhak melarang suaminya untuk berbakti kepada kedua orang tua suami terutama ibu dari suami. Lain halnya dengan seorang wanita, ketika seorang suami melakukan Ijab Kabul maka berpindahlah hak dan kewajiban anak perempuan dari ayah atau walinya kepada suaminya dan detik itu juga seorang istri bekewajiban untuk berbakti kepada suami. Dengan berpindahnya hak dan kewajiban sang ayah dari istrinya kepada suaminya. Hal ini diperkuat oleh hadits Imam Ahmad, An-Nasa’i, Al-Hakim yang menshahihkannya, dari Aisyah r.a. berkata:
Penulis adalah Mahasiswa Doktoral, School of International Politics and Social Studies, Central China Normal University*