
SYAHDAN..!!! Pada satu waktu dipagi hari, saya sedang menikmati kopi diwarung langganan. Tepatnya, di Gampong Deah Pangwa, tempat saya dilahirkan. Seperti hari-hari biasa, warga terutama laki-laki menghabiskan waktunya 30 menit hingga satu jam untuk coffee morning. Suasana santai, berbicara tiada batas selayaknya manusia tanpa kelas. Obrolan politik, mulai dari pemilihan geusyik hingga bupati. Kadang-kadang gubernur hingga presidenpun dibahas, tidak tanggung-tanggung presiden Amerikapun turut disinggung. Sambil berkelakar, tidak peduli mana yang akar, asal bicara yang penting keluar. Semua saling menikmati, mengangguk-angguk seolah mengerti, asal bunyi tidak penting darimana referensi. Yang dengar dan bicara tidak ada yang tahu pasti, begitulah suasana pagi di warung kopi.
Saya memilih duduk dimeja agak ketengah, supaya mudah untuk memutar kesegala arah. Semua pengunjung saling kenal, usia muda atau tua tidaklah soal, tidak ada jabatan untuk penghormatan berlebihan. Keakraban tanpa motif, saya senang menjadi pendengar yang aktif, beberapa kisah justru sangat inspiratif.
Beberapa teguk saya minum, datanglah seorang teman. Sudah lama kami tidak bertemu, teman satu sekolah dan dayah (pondok). Tidak ada janjian untuk berjumpa, ini hanya karena rasa hawa suasana pagi yang ceria. Sekarang dia jadi pembisnis sukses, bisnis kopi di sulawesi, sumatera hingga pulau jawa. Sungguh kagum, sudah menjamah hampir seluruh nusantara. Lagi, kopi yang membawa cerita hingga jadi pengusaha.
Saya, masih senang mendengarkan, memuji karena punya nyali bisnis yang tinggi menghubungkan antar negeri. Tidak semua orang berani, hanya modal nekat dan tekat dijalani dengan semangat yang kuat, Insha Allah pasti akan berkat. Ini pesan moral yang sangat amat kuat untuk saya. Walaupun sudah juga keliling nusantara, belum satupun bisnis yang saya coba. Mendadak, topik bisnis mengalihkan pembicaraan dari tema politik sebelumnya. Bukan hanya saya, orang lain juga kagum. Tidak disangka, masa kecil sering dianggap nakal justru dia paling siap bekal.
Saat itu menjelang meugang, hari yang diperingati tiga kali dalam satu tahun yaitu menjelang ramadhan, menjelang hari raya idil fitri dan menjelang idil adha. Pada hari itu, masyarakat Aceh membeli daging lembu/kerbau untuk dibawa pulang kekeluarganya. Tidak peduli apakah lintoe baroe (pengantin baru) atau lintoe lama (pengantin lama), orang kaya atau miskin, tinggal dipegunungan atau pinggiran, kota atau gampong. Seperti ada kewajiban terutama bagi laki-laki untuk menghantarkan daging ke rumah orangtuanya. Karena tingginya permintaan berkorelasi dengan tingginya harga daging di pasar. Bahkan, pernah mencapai Rp 200 ribu/kg. Harga daging di Indonesia masih tergolong tinggi dan titik tertinggi itu berada di Aceh saat perayaan hari meugang.
Jawaban tentang diri saya justru menambah pertanyaan mereka. Saya dianggap ahli dalam urusan pemerintah, apalagi sekolah hingga keluar negeri. Satu diantara mereka berkata “saya dengar presiden minta harga daging tidak boleh lebih dari Rp. 80 ribu/kg, kenapa di Aceh sampai dua kali lipat?Apa kerja para bupati, harga daging koq bisa melambung tinggi?” orang lain ikut menimpali. Teman saya bertanya dengan bijak, “menurutmu adakah solusi?”.
Suasana santai sedikit terganggu untuk saya, karena harus berpikir kerja-kerja negara pada waktu yang tidak terduga. Terlebih, saya harus menjawab dengan bahasa “ala warung kopi” tidak perlu tertata yang penting terjawab pukul rata. Kembali saya meneguk kopi yang sudah agak dingin, kali ini ditambah dengan makan kue tersedia dimeja. Tentu saja, sambil berpikir darimana harus menjawab ini cerita.
ALKISAH..!!! pada beberapa abad dahulu, kerajaan Aceh masih berkuasa (1607-1636 M), Iskandar Muda yang menjadi Sultan pada saat itu memotong beberapa jenis hewan seperti kambing, lembu dan kerbau. Dagingnya, diberikan secara cuma-cuma kepada rakyat sebagai simbol kemenangan dan bersukur dengan kemakmuran yang diperoleh. Tradisi ini masih terus dijalankan hingga ratusan tahun kemudian. Pada saat Belanda menjalankan agresi militernya di Aceh, para pejuang pada saat itu masih memotong daging dan tetap merayakan hari meugang. Bahkan, sudah mengenal bagaimana cara mengawetkan daging supaya tahan beberapa hari dalam hutan sebagai makanan dalam perang gerilya.
Meu-gang bisa diartikan kemakmuran dan gang adalah tempat/pasar dimana daging itu bisa diperoleh/dijual. Seiring dengan perubahan zaman, masyarakat Aceh sekarang tidak lagi menerima daging secara gratis. Walaupun harus membayar dengan harga tinggi, masyarakat tetap akan membeli. Karena itu merupakan dignity seorang laki-laki untuk dipersembahkan ke orang rumahnya/orangtuanya.
Satu pihak, ada anak laki-laki yang menghantar daging, dipihak lainnya ada orangtua yang menerimanya. Biasanya, pada hari itu ibu-ibu akan memasak daging yang dibumbui dengan resep “cinta”. Kaum mak, akan bangun lebih cepat untuk menyiapkan bumbu-bumbu masak. Perasaan haru dan bahagia sambil berharap akan ada yang dimasak untuk orang yang tercinta.
Perayaan meugang adalah ungkapan rindu orangtua dan anak secara simbolik. Tidak bisa digantikan walaupun memiliki nilai yang sama. Makan daging bisa dimana saja, masakan rendang lebih lezat di warung Padang. Namun, kerinduan pada “Mak” dan “Meugang” hanya bisa diwujudkan di tanoh Nanggroe pada saat rangkaian proses meugang itu sendiri.
Sementara, solusi untuk mahalnya harga daging, pemerintah bisa melakukan intervensi pasar sama halnya operasi pasar untuk sembako. Cara lain, bisa saja dengan mendatangkan daging dari luar dan menjualnya dibeberapa tempat dengan harga yang ditetapkan. Cara ini cukup ampuh untuk mengimbangi harga yang dijual oleh para tengkulak pasar. SEKIAN..!!!
Huahong, pada hari meugang Ramadhan 2017.