Sebenarnya, pengakuan hak asasi manusia di Indonesia telah tercantum dalam UUD 1945 yang sebenarnya lebih dahulu ada dibandingkan dengan deklarasi Universal PBB yang lahir pada 10 Desember 1948. Berikut ini pengakuan akan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya: [1] Pembukaan UUD 1945 alenia pertama; [2] Pembukaan UUD1945 alenia keempat; [3] Batang tubuh UUD1945.
Oleh karena itu, dalam rangka memberikan jaminan perlindungan terhadap HAM, di samping dibentuk aturan-aturan hukum, juga dibentuk kelembagaan yang menangani masalah yang berkaitan dengan penegakan HAM, antara lain: [1] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); [2] Pengadilan HAM dibentuk berdasarkan undang-undang No.26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia; [3] Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul dari DPR berdasarkan peristiwa tertentu; [4] Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Undang-undang No.26 tahun 2000.
Terkait dengan itu, saya mencoba memberikan contoh kecil dan solusinya, dengan studi kasus pencurian sandal jepit dan coklat.
Mari kita melihat sesuatu dengan pikiran obyektif, dengan tidak ada yang ditutupi. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini, bahkan mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang hidup biasa dan melarat. Perlu bukti ?.
Kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK asal Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia mencuri sandal jepit milik salah satu anggota Brimob Polda Sulteng. karena sandal jepit, AAL terancam hukuman kurungan lima tahun penjara, meskipun dalam persidangan, ternyata sandal tersebut bukan milik yang bersangkutan. Pada akhirnya, dalam pembacaan keputusan hakim menyatakan terdakwa bersalah, akhirnya hakim mengembalikan AAL kepada orang tuanya untuk dilakukan pembinaan.
Sebelum itu terdapat kasus serupa yaitu pencurian yang dilakukan oleh Nenek Minah (55) asal Banyumas yang divonis 1,5 tahun, karena beliau telah tiga buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Seperti yang dikutip dari kompas.com, hal yang sangat mengharukan untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Kasus serupa adalah terkait dengan nenek Saulina Boru Sitorus (92) tahun karena menebang pohon durian milik kerabatnya, nenek Rasmiah yang dihukum 4 bulan 10 hari karena mencuri 6 piring, nenek waliyah (57) tahun karena pencurian 5 buah permen cokelat, nenek Asiyani (63) yang dihukum 1 tahun karena pencurian batang pohon jati perhutani untuk tempat tidur.
Teladan nyata jelas diberikan dalam kekhalifahan Umar bin Khatab, tentang adanya seorang pencuri yang tertangkap. Seharusnya pencuri itu mendapatkan hukuman dengan dipotong tangannya. Karena hal itu telah jelas tertulis dalam hukum islam (Al-Qur’an).
Khalifah kedua umat islam tersebut memberikan solusi yang tidak terjebak dalam pemahaman teks pada Al-Qur’an yang kaku. Tidak literer, akan dalam mengembangkan kreativitas ilmu tafsir, Umar Bin Khatab memahami bahwa hukum bukanlah seperangkat dalil-dalil yang kaku. Hukum bukan hanya berbicara perihal kebenaran, akan tetapi juga ada unsur keadilan, hati nurani, dan kepekaan sosial.
Akan tetapi, Khalifah Umar Bin Khattab tidak serta merta untuk memutuskan memotong tangan pencuri tersebut. Justru, Khalifah Umar menggali latar belakang kehidupannya. Setelah khalifah mengetahui sebab utama bahwa pencuri tersebut melakukan tindakannya atas dasar keterpaksaan (dia adalah seorang yang miskin dan tak mendapatkan uluran tangan dari orang-orang kaya). Maka Khalifah Umar pun membebaskannya, sungguh mulia teladan beliau.
Sebagai kilas balik kita, hal yang sangat disayangkan adalah beberapa hakim yang memiliki standar ganda. Kurang sensitive terhadap undang-undang untuk kaum dhuafa, dengan memberikan vonis yang mengejutkan. Akan tetapi berbeda ketika beberapa kasus yang melibatkan kaum atas agar bisa bebas atau ringan hukumannya.
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Pemerintah khususnya para aparat hukum seharusnya melakukan tugasnya dengan baik dan benar serta selalu berlandaskan pada moral dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Apabila kedua hal tersebut sudah terpenuhi maka diharapkan penegakan hukum di Indonesia dapat terjadi secara adil. Kejadian-kejadian yang selama ini terjadi diharapkan dapat menjadi proses mawas diri bagi para aparat hukum dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pemerintah juga perlu memberikan pelajaran moral dan etika pada anak-anak dan generasi muda sehingga mereka sudah tercetaknya menjadi generasi muda yang bermoral dan beretika. Pemerintah juga perlu melakukan reformasi pada hukum yang ada dan dalam pelaksanaannya harus tegas dan tidak memihak pada siapapun.
Sebagai penutup, mengutip tulisan menarik Amirul yang menyatakan bahwa: “Jika aparat hukum di negeri ini masih punya urat malu, penggalangan sandal sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan, mestinya menampar muka mereka. Dengan demikian semoga apabila terdapat kasus serupa The New York Times tak perlu mengejek kita dengan mengatakan, “Indonesia punya simbol keadilan baru; sandal & Coklat”. [Amar/IPOLS]
Billahi Fi Sabililhaq, Fastabiqul Khaerat
Dede Amar Udi Ilma, Undergraduate Program, International Program of Law and Sharia (IPOLS), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, IMM komisariat hukum UMY, Anggota Bidang Sumber Pemberdayaan Masyarakat.
Rev.& Ed.:
Faqih Ma’arif, Department of Civil Engineering, Beijing University of Aeronautics and Astronautics-Beijing.