
Puasa pada dasarnya merupakan salah satu bentuk ritual ibadah bagi umat Islam yang beriman, yang meyakini kehidupan di akhirat tanpa melupakan dunia. Orang yang puasa bisa memaknai dunia sebagai mediasi untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta, Sang Khalik. Suatu hikmah yang dapat dipetik dari momentum puasa, yakni manfaat dan pengajaran yang diperoleh melalui serangkaian aktivitas pada bulan Ramadhan. Ritual khas pada bulan tersebut, yakni umat Islam disunahkan untuk melakukan shalat tarawih. Ibadah dalam bentuk jamaah ini memberikan pesan bahwa sinergi itu lebih besar kekuatannya.
Dalam buku bertajuk Emotional Spiritual Quetient (ESQ) karya Ary Ginanjar Agustian, diceritakan sebuah bukti ilmiah, bahwa pikiran kelompok bisa jauh lebih cerdas daripada pikiran orang perorangan. Bukti itu dikutip dari Howard Gardner, seorang pakar terkemuka dari Harvard University yang menyatakan, tidak ada keraguan bahwa pikiran kelompok bisa jauh lebih cerdas.
Howard sampai pada kesimpulan itu setelah melakukan penelitian terhadap para mahasiswa. Dalam sebuah eksperimen tentang mahasiswa belajar dan bekerja dalam kelompok untuk suatu mata kuliah, data menunjukan bahwa hasil dari ratusan kelompok, sembilan puluh tujuh persen dari uji yang dilakukan, menunjukan bahwa skor kelompok ternyata lebih tinggi dari skor terbaik untuk perorangan.
Sinergi semacam ini akan melipatgandakan kekuatan, katakanlah, jika dengan satu partai politik (parpol) dominan bangsa bisa bertahan dan merangkak untuk maju, maka bagaimana dengan sebuah sinergi dari semua parpol di Indonesia dijadikan satu kekuatan yang saling mendukung, dengan satu tujuan pula! Hal tersebut akan menjadi akselerasi untuk kemajuan bangsa. Seperti ketika zaman penjajah, Indonesia mampu membentuk satu kekuatan besar dengan tujuan bersama, yakni kemerdekaan.
Namun, perlu diingat, kegagalan Indonesia dalam memerdekakan diri adalah salah satu imbas dari sifat kedaerahan, di mana saat ini dimunculkan lagi dengan sifat kedaerahan yang kontemporer, yakni ego parpol.
Terlebih lagi, selain untuk kesehatan, puasa bermanfaat untuk meningkatkan kecerdasan emosi. Daniel Goleman, seorang ahli dan peneliti tentang kecerdasan emosi, mendapatkan suatu bukti ilmiah tentang manfaat puasa.
Ia menyuruh anak-anak usia empat tahun di Taman Kanak-kanak (TK) Stanford untuk masuk ke suatu ruangan satu per satu. Sepotong marshmallow diletakkan di atas meja di depan mereka. "Kalian boleh makan marshmallow ini jika mau. Tetapi, jika kalian tidak memakannya sekembali saya ke sini, kalian berhak mendapatkan sepotong lagi."
Dalam jangka empat belas tahun, setelah anak-anak itu lulus sekolah menengah atas, terdapat perbedaan yang mencolok pada anak-anak yang langsung memakan marshmallow, dengan yang tidak. Mereka yang langsung melahap makanan itu cenderung mudah terkena stress, gampang menyerah, dan suka berkelahi dibanding dengan mereka yang mampu menahan diri untuk memakannya.
Tanpa diduga, kecerdasan intelektual mereka yang mempunyai emosi baik, jauh lebih tinggi ketimbang mereka yang tak mampu untuk menahan diri. Justifikasi tersebut, didapatkan ketika mereka ujian seleksi masuk perguruan tinggi.
Bukan hanya kecerdasan emosi yang didapat dari puasa, melainkan puasa juga dapat bermanfaat sebagai mediasi untuk mencerdaskan otak (kognitif). Dua pasangan tersebut harus berjalan bersama. Karena, keduanya memiliki peran masing-masing. Kecerdasan otak mengangkat fungi pikiran, sedangkan kecerdasan emosi mengangkat perasaan. Kecerdasan pikiran tanpa dibarengi oleh kecerdasan emosi justru akan menjadikannya mudah untuk putus asa dalam menghadapi masalah.
Sehingga, tak disangkal pernyataan Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) yang menyatakan bahwa kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20% dan sisanya 80% ditentukan oleh faktor-faktor yang disebut Kecerdasan emosional.
Bukan tidak mungkin, jika dijalankan dengan sungguh-sungguh, puasa dapat dijadikan terapi terhadap penyakit bangsa. Manfaat puasa tersebut di atas, jika mampu masuk pada ranah politik, akan menjadikan para oknum pejabat negara mampu untuk bertindak manusiawi, suatu tindakan yang tidak merugikan orang lain. Terlebih, puasa bisa dijadikan terapi sekaligus obat bagi penderita penyakit akut negara, yakni 'penyakit korupsi'.
Lebih lanjut lagi, berkenaan dengan puasa, terdapat suatu bentuk implementasi dari kecerdasan sosial, yakni zakat. Ini suatu bentuk kepedulian sosial, memiliki manfaat besar bagi upaya pengentasan kemiskinan. Apabila, semua para konglomerat mau mengulurkan tangan mereka untuk membantu saudara-saudara kita yang miskin, maka dapat dipastikan akan sangat meringankan beban orang-orang miskin.
Akan tetapi, fakta berbicara lain. Di tengah kita, terdapat kesenjangan sosial yang mencolok. Sistim mengatakan sosialis, tetapi tingkahnya kapitalis. Bagaimana tidak, yang kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin. Sehingga, momen puasa seperti ini menjadi pertobatan massal untuk lebih peduli kepada mereka, atau sesama umat manusia.
Puasa menjadi suatu metode aplikatif terhadap pengasahan potensi diri manusia, terlebih bangsa yang mungkin masih ternina-bobokan oleh budaya hedonis dan konsumerisme. Fungsi metode tersebut sudah mencakup empat jenis pelatihan kecerdasan manusia, yakni Intelligent Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), Moral Quotient (MQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Jadi, bagaimana Anda tertarik untuk puasa?
Pernah dimuat di haluankepri.com dilihat pada tanggal 27 April 2017