Lantas, dapatkah kita merasakan dan melihat secara jelas perbedaan antara sikap dan perbuatan yang tulus dengan yang tidak tulus, atau sekurang-kurangnya agak kurang tulus. Pastilah banyak sekali dan saya sangat yakin masing-masing kita memiliki pengalaman dan pemahaman yang berbeda-beda tentang makna ketulusan. Namun jika saya dapat memberikan contoh yang sangat mudah dipahami adalah dengan melihat karya-karya perfilman tanah air kita. Lihatlah sosok Benyamin S, coba perhatikan dan rasakan ketika menonton film-filmya atau bahkan pada saat sinetron kegemaran mantan Presiden Soeharto yaitu Si Doel Anak Sekolahan. Begitu sangat berbeda nuansa dan keasyikan yang dirasakan ketika Benyamin S masih melakoni sebagai ayah Si Doel. Bandingkan ketika beliau telah almarhum dan sinetron si Doel terus diputar.
Begitu pula tiga komedian yang mahsyur, Warkop DKI yang terdiri dari Dono, Kasino dan Indro. Hingga saat ini, malahan hampir satu dekade, dari anak kecil hingga kakek nenek dapat menikmati lelucon khas mereka yang sangat lugu, orisinil, dan tanpa banyak efek “pencitraan” yang selain dari watak asli dari diri mereka masing-masing. Kita dapat menikmati betul lawakan para trio warkop ini karena yang dirasakan tidak jauh berbeda dengan kehidupan manusia Indonesia pada umumnya. Bahkan saya sangat meyakini bahwa Thomas Alfa Edison, penemu lampu yang membuat malam kita menjadi terang dan memudahkan kehidupan umat manusia dalam aktivitasnya di malam hari merupakan efek dari sebuah ketulusan. Saya tidak yakin yang ia fikirkan ketika berusaha menemukan lampu dengan menghabiskan kurang lebih 250.000 bohlam lampu hingga berhasil demi sebuah kepentingan faktor ekonomi belaka. Tak lain pasti alasan utamanya adalah keyakinan bahwa upaya keras dan menghabiskan separuh hidupnya di laboratorarium demi kehidupan umat manusia yang lebih baik.
Disinilah yang kemudian harus diperjelas dan ditekankan mengenai makna ketulusan. Namun jangan pula disempitkan bahwa seluruh aktor pemain si Doel tidak atau agak kurang tulus dibandingkan Benyamin S. Sama halnya dengan komedian lain yang sekarang menjamur di Tanah air dianggap tidak tulus. Akan tetapi mungkin saja resep utama mengapa sosok-sosok yang saya percontohkan di atas dapat menjadi mahsyur dan abadi karena sikap ketulusan. Benyamin S ketika melakonkan dirinya, yang diyakini beliau adalah menunjukkan watak aslinya dengan tulus, tidak dibuat-buat, tidak mau menyama-nyamakan dengan sosok lainnya. Ia hanya menampilkan sebuah ketulusan untuk bersikap apa adanya dan bahkan pada saat melakonkan sebuah film, ia hanya berupaya bersungguh-sungguh dengan segenap yang ada pada dirinya, dan hasil akan menjadi karya yang lucu dan otentik sudah menjadi wewenang Allah SWT. Warkop DKI pun demikian dalam pandangan saya, mereka hanya menampilkan apa yang menjadi kebiasaan dalam pergaulan mereka bertiga pada saat sama-sama kuliah di DKI Jakarta. Thomas Alfa Edison pun demikian, sangat menjadi bukti bahwa ketulusan akan sebuah perbuatan akan bermanfaat bagi umat manusia.
Oleh karena itu, jika kita hendak mengejar keabadian sangat mudah resepnya yaitu ketulusan. Sebuah ketulusan hanya akan hadir ketika kita telah meniadakan diri kita dan hanya Allah SWT di setiap usaha yang kita lakukan. Begitu banyak peraih nobel di dunia, namun sangat jarang yang benar-benar dirasakan manfaat dan faedahnya bagi umat manusia. Tentu tidak ada yang menjadi panutan ketulusan selain baginda Nabi Muhammad SAW. Saya sangat meyakini, dan merasakan sebuah ketulusan yang sangat tinggi derajat kemuliaannya di dalam diri Kekasih Allah SWT ini. Maka ia mendapat keabadian hingga hanya dengan mempelajari kisah hidupnya, sangat mudah bagi setiap umat manusia mencintai sang pemberi syafaat ke seluruh alam semesta ini. Wallahualam Bisshawab.