
Beberapa kasus yang menimpa Negeri tercinta kita yakni INDONESIA mengingatkan saya mengenai kategori berfikir yang selama ini berkembang. Mengapa demikian? Jika kita telaah lebih mendalam, seringkali kita terjebak dengan kondisi yang tampak pada kulitnya saja tanpa melihat esensi yang sebenarnya. Artinya, pembentukan, rekayasa ataupun propaganda oleh satu pihak sengaja di munculkan dengan tujuan menggiring opini masyarakat.
Tulisan ini hanya bersifat sharing dan tidak bersifat menggurui ataupun mencoba untuk menguak sisi jelek dari negara atau penduduk negara kita. Sebaliknya, saya berharap bahwa tulisan ini memberikan manfaat untuk menggugah cara berfikir secara kritis dan melihat “something behind the screen”.
Mengawali tulisan ini, saya mencoba memberikan sebuah analogi sebagai berikut.
“ A adalah murid Sekolah Dasar (SD) yang seringkali bermasalah dengan teman-teman sekelasnya baik itu perkelahian atau yang sejenisnya. Secara umum, maka si “A” akan dianggap sebagai anak yang nakal”.
Kata “nakal” dapat diterjemahkan sebagai “kesimpulan” seseorang terhadap “A” atas perbuatan atau tindakan yang dilakukannya. Namun bagaimana kita sebagai orang tua menilai “A”?
Sedikit bergeser kepada bagaimana cara seseorang mengambil kesimpulan akan diketahui berdasarkan tiga kategori sebagai berikut.
- Berfikir secara dangkal (tafkir al ‘adiy);
- Berfikir secara mendalam (tafkir al ‘amiq); dan
- Berfikir secara cemerlang (at-tafkir al mustanir)
Secara singkat, berfikir secara dangkal dapat diterjemahkan bahwa kita melihat suatu kejadian berdasarkan apa yang tampak secara nyata. Berfikir secara mendalam dapat diterjemahkan sebagai pengambilan keputusan berdasarkan kategori why? dan berfikir secara cemerlang dapat diterjemahkan tidak hanya apa yang tampak secara kasat mata, namun juga why yang ditambahkan pula dengan menggali informasi apa yang menjadi pemicunya, adakah keterkaitannya dengan kejadian sebelumnya? Apakah kejadian/peristiwa tersebut bersifat wajar? Atau pertanyaan lainnya secara lebih mendalam.
Sebagai seorang muslim, seyogyanya kita tidak cepat mengambil kesimpulan. Mengapa? Secara sederhana, hal ini didasarkan pada dua berikut.
- Kita tidak diperbolehkan untuk berprasangka buruk kepada orang lain.
- Rasul mengajarkan kepada kita untuk tidak membenci seseorang namun membenci perbuatan (buruk) yang dilakukan orang tersebut.
Berdasarkan kedua hal tersebut, secara tidak langsung, maka kita telah dibimbing untuk menjadi tipikal orang dengan kategori ketiga (at-tafkir al mustanir).
Bagaimana bisa?
Mari kita telaah kembali analogi anak kecil dengan nama “A” sebagaimana yang telah saya tuliskan di atas.
Orang dengan kategori pertama (tafkirul al ‘adiy) akan mengambil kesimpulan bahwa si A adalah anak yang nakal dan sebagai orang tua, kita akan menyuruh anak kita untuk menjauhi si A tanpa alasan yang jelas atau dengan alasan bahwa si A suka memukul dan bertingkah atau dengan alasan sebagai tindakan preventive.
Orang dengan kategori kedua (tafkir al ‘amiq) akan mendatangi guru untuk menanyakan, “mengapa si A memukul? Berbahayakah jika anak saya berteman dengan si “A”? dan akan meminta anak kita untuk berhati-hati jika bermain dengan A”.
Orang dengan kategori ketiga (at-tafkir al mustanir) akan mendatangi guru untuk menanyakan, “mengapa si A memukul? Apakah A sering memukul kawannya? Bagaimana keseharian si A? sudahkah pihak sekolah menginformasikan baik secara formal ataupun informal kepada orang tau-nya?
Melalui pertanyaan ketiga, maka kita akan mendapatkan informasi yang lengkap mengenai A dan paham bagaimana seharusnya bertidak. Bisa jadi, kita menjadi orang yang berperan untuk menjadikan A lebih baik.
Sedikit cerita di atas sangat relevan dengan berbagai kejadian yang ada di Indonesia sebagai contoh:
- Mengapa Pulau Sipadan dan Ligitan lepas? [sudahkah kita memiliki informasi yang lengkap mengenai geografis Indonesia?]
- Mengapa swasembada pangan yang dulu kita capai kini berantakan? [sudahkah kita memiliki data yang lengkap mengenai seberapa banyak kebutuhan domestik dengan berbagai rinciannya?]
- Mengapa isu SARA selalu menjadi trigger perpecahan di Indonesia? [sudahkan rakyat Indonesia memiliki tingkat edukasi yang tinggi?]
- Mengapa money politic menjadi salah satu penentu kemenangan? [sudahkah basic need masyarakat Indonesia terpenuhi?]
- Mengapa Islam selalu disalahkan dan memiliki label radikal, sementara Liberal menjadi pembenaran dan terus dikembangbiakkan? [mengapa kemunculan islam-liberal menjadi sebuah pembelaan diri agar tidak dikecam sebagai golongan radikal? Pernahkan islam mengajarkan ajaran radikal? Saya rasa tidak ].
Mudah-mudahan yang sedikit ini bisa bermanfaat. Allahu a’lam bi ash shawab.
Pertanyaan dan diskusi dapat ditujukan langsung kepada saya.
Wuhan, 10 Mei 2017
Artikel ini menjadi nominator artikel favorit Kabar Mu Tiongkok September-Oktober 2017, untuk memberi dukungan silakan ikuti polingnya dengan KLIK disini.