The Killer
Oleh : Anang Masduki*
Dimintanya tangan Erna melinkar dan berpegangan kuat pada pinggang Aqsa. Laju motor yang kencang menimbulkan suara yang menderu-deru bagaikan suara gergaji mesin tatkala membelah kayu jati. Debu membumbung tinggi. Pandangan semua mahasiswa yang berada di pinggir jalan di antara bangunan megah kampus putih Jogjakarta semua tertuju padanya. Berbagai macam umpatan keluar dari mulut Aqsa. Aqsa merasa sangat kecewa karena nilai munaqosyahnya B. Dengan nilai itu otomatis indek prestasi komulatifnya (IPK) hanya tiga lebih sedikit. Rasa bingung, was-was terbentur oleh besarnya keinginan suatu saat bisa melanjutkan S2.
Beruntung siang itu kos Aqsa lagi sepi karena pada sibuk ujian tengah semester. Sedangkan pemilik kos berada di Jakarta, lagi menengok cucunya. Erna segera membuatkan kopi dan mencoba menenangkan Aqsa dengan kata-kata manis untuk mengembalikan hati kekasihnya. Tapi apa yang didapatkan oleh Erna selain bentakkan. Namun Erna cukup faham bagaimana cara menenangkan Aqsa. Malaikat yang sejak tadi enggan mendekati Aqsa karena mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya, sekarang pergi dengan membawa amarah. Marah melihat kelakuan dua anak manusia yang tak pernah menggunakan logika dan nurani. Bayangan ibu Aqsa membuyarkan semua hasrat dan memadamkan debaran jantung.
Tiga hari berselang, pagi-pagi sekali Friska datang ke kos Aqsa dengan membawa kopi susu, nasi gudeg dan sebungkus rokok. Melihat kondisi Aqsa yang masih kalut, Friska membantu kekasihnya dalam mengetik dan mengedit hasil revisian. Menjelang duhur sekripsi itu selesai diprint. Mereka berdua berangkat ke kampus. Sesampainya di kampus, ternyata ketua jurusannya belum datang. Aqsa mulai naik pitam. Namun kali ini bisa ditahannya. Ketua jurusan inilah biang keladi hancurnya nilai Aqsa. Ketua jurusan yang bernama Akhmad Rofi’I dengan gelar Magister Philosophy ini memang dosen yang sangat terkenal killer. Banyak mahasiswa yang anti pati, benci dan tak jarang di antara mereka yang mendoakan buruk padanya. Dosen yang satu ini terkenal juga sulit ditemui dan ucapannya juga suka menusuk hati. Sampai menjelang asyar tak juga dosen killer itu muncul. Merasa tak sabar Aqsa mengambil handpone lalu menghubunginya. Wajah Aqsa merah padam mendengar jawaban, “letakkan saja di meja, aku hari ini malas ke kampus”. Kontan Aqsa mengandeng tangan Friska menuju tempat parkir. Setelah puas membuat suara gaduh dengan motornya sambil jamping berkali-kali, Aqsa buru-buru menuju kos. Aqsa sadar satpam lagi menuju tempat suara motor meraung-raung. Sesampainya di kos, Aqsa langsung tidur. Adapun Friska sibuk merapikan buku dan baju yang masih berantakan milik Aqsa. Kamar itupun terlihat lebih bersih dan rapi. Sesudahnya Friska mencuci semua baju kotor milik kekasihnya. Angin malam mulai menyelimuti dan mengerakan Friska untuk pulang, namun Aqsa masih pulas. Diketiklah sebuah pesan singkat untuk Aqsa, sebelum menstater motor.
Asyar dan magrib terlewatkan tanpa ada penyesalan, menjelang isya’ Aqsa baru terbangun. Dicarinya Friska. Dia mendapati Jamal dan Maymoto sedang asyik memainkan gitar dengan menyanyikan lagu faforit mereka, apalagi kalau bukan lagu India. Dikonfirmasinya mereka berdua, namun juga tidak mengetahui. Diambilah handpone, terlihat pangilan masuk dari Najma sebanyak lima kali. Aqsa tidak merasa heran dengan panggilan itu. Karena Najma memang sering miscall. Lalu dibacanya sms dari Friska, “sayang, sorry aku tidak pamit. Khawatir nanti menganggu istirahatmu. Besok ke kampus jam berapa?”.
Diketiknya balasan, “Oke sayang. Besok aku tidak pergi ke kampus. Aku mau maen dengan teman-teman. Pusing kepalaku”. Tak lama berselang diketik pula sms untuk Nadya, “sayang, besok jam delapan antar mas ke kampus ya…mas sayang adek dech..”. lalu diketik pula sms untuk Erna, “cantik…besok mas pulang, paling dua hari. Thanks ya..”.
Kurang lebih pukul delapan pagi keesokan harinya, Nadya sampai di kos Aqsa dengan membawa dua bungkus nasi. Sebenarnya saat itu Nadya ada ujian jam tujuh, berhubung Aqsa meminta datang maka yang terjadi adalah rasa mengalahkan logika. Aqsa terbangun tatkala merasa ada tangan lembut membelai rambutnya. Bergegas Aqsa mandi lalu mereka berdua menyantap dua bungkus nasi yang dibeli Nadya. Tepat pukul sembilan mereka sampai di depan ruangan ketua jurusan. Tak lama muncullah dosen killer itu. Dosen itupun memasuki ruang kerjanya, Aqsa mengikuti. Lama Aqsa berdiri, namun tak juga dipersilahkannya duduk. Tanpa pikir panjang Aqsa langsung duduk di kursi yang memang sudah dipersiapkan untuk mahasiswa bila melakukan konsultasi. Dengan suara yang sengaja dibuat halus dan sopan Aqsa bertanya, “bagaimana pak skripsi saya”.
“Maaf saya belum sempat baca. Skripsimu masih ada di rumah”. Ternyata kemaren ketika Aqsa pulang, dosen killer itu datang ke kampus tapi hanya sebentar. Mendengar jawaban yang ketus, Aqsa masih berusaha untuk tenang.
“Kapan ya pak saya bisa melihat hasil koreksi dari bapak?”.
“Kamu itu tidak usah cepat-cepat wisuda,”. Jawaban pak Rofi’I membuat wajah Aqsa memerah.
“Apa maksud bapak agar saya jangan-jangan cepat-cepat wisuda, padahal masih ada dua orang penguji dan pak dekan yang belum membubuhkan tanda tangan pengesahan. Sedangkan pendaftaran wisuda tinggal lima hari lagi”. Darah muda Aqsa mulai naik. Dipegangnya kaki kursinya, bila macam-macam akan dipukulnya dosen killer itu.
“Judul kamu ini perlu diganti, sehingga kamu perlu merombak skripsi”.
“Lho bukannya dulu bapak yang menyetujui judul ini saya ajukan. Dan bapak juga yang memimpin seminar proposal skripsi saya. Tidak bisa begitu dong pak”. Jawab Aqsa. Wajahnya memerah. Tangan yang menggengam kaki kursi bergetar. Namun segera Aqsa tersadar, bila dia memukul orang yang ada di depannya maka sudah pasti droup out resikonya.
“Sudahlah, pokoknya kamu tidak usah cepat-cepat wisuda”. Merasa amarah hampir meledak, Aqsa segera beranjak dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu tanpa sepatah katapun terucap. Di luar telah menunggu Nadya. Melihat Aqsa yang muram menaham marah, Nadya segera mengejarnya.
***
Hampir satu bulan Aqsa merasa jengkel dan marah dengan dosen killer yang bernama Akhmad Rofi’i. Dosen sok pintar dan arogan. Bukan Aqsa saja yang merasa dipersulit dalam menyelesaikan tugas akhir, tapi mahasiswa satu jurusannya juga banyak. Setiap hari Aqsa selalu datang ke kampus melihat perkembangan skripsinya. Namun tak jua kunjung ada perkembangan. Melihat kondisi yang semakin rumit, Aqsa menghubungi Ibunya. Diceritakannya semua kondisi perkembangan skripsinya lewat telpon. Didapatkannya jawaban, “sudahlah anakku, jangan sampai kamu mengajak berantem atau bertindak kasar pada dosen itu. Nanti kamu malah akan dikeluarkan. Kamu mau selesai kapan, itu terserah kamu yang penting dapat selesai”. Mendengar kalimat lembut dari ibunya, Aqsa merasa lega. Ternyata orang tuanya memahami dan tidak menuntut Aqsa agar segera selesai.
Sebenarnya keluarga Aqsa adalah keluarga baik-baik. Ibunya adalah perempuan yang sangat sabar. Walaupun hidupnya cukup sederhana, ibu Kus selalu menanamkan pada semua anaknya untuk terus sekolah. Semua anaknya tumbuh menjadi anak yang pemberani, berjiwa pemimpin, penuh percaya diri. Tidak ada satupun dari anaknya yang tumbuh menjadi anak yang suka minuman keras, mabuk atau menjadi preman. Akan tetapi ada satu anaknya yang memang punya kegemaran bermain perempuan. Siapa lagi kalau bukan Aqsa. Ibunya sampai heran, hormon macam apa yang mengisi struktur anatomi tubuhnya. Sering beliau mengingatkan Aqsa, mungkin karena naluriah seorang ibu. Dan naluri suci itu pulalah yang berjalan dibawah sadar sehingga setiap Aqsa akan merenggut mahkota perempuan, wajah beliau selalu melintas. Wajah itulah yang mencegahnya.
Sampailah pada detik akhir pendaftaran wisuda. Aqsa datang ke kampus untuk melihat skripsi. Lagi-lagi dosen itu tidak masuk. Dosen itu rupanya termasuk tipikal dosen yang malas datang ke kampus, dia lebih mementingkan bisnis yang ditekuninya. Bagaimana jadinya bila pengajar di negeri ini menjadikan guru sebagai provesi sampingan tanpa ada ketulusan?. Bisik hati Aqsa. Segera Aqsa mengambil handphone, dicarinya nomor kontak, ketua jurusannya. Namun sekali lagi jawaban yang Aqsa dapatkan masih tetap mengecewakan, “skripsimu belum aku baca”.
Selesai menelpon ketiga pacarnya, siang itu di tengah terik matahari, Aqsa menuju terminal Giwangan. Apalah artinya aku lama-lama di Jogjakarta bila hanya menunggu sesuatu yang tidak pasti. Desah Aqsa. Sengaja Aqsa pulang tidak naik motor, karena Lusi telah siap menjemput di terminal Ngawi. Mereka mengadakan janji untuk bermain di lereng gunung Lawu guna menghilangkan amarah dan kekecewaan yang telah mencapai titiik kulminasi. Dalam perjalanan, hanphone Aqsa berkali-kali mendapat pangilan. Dilihatnya seperti biasa, Najma lagi miscall. Diketiknya sms untuk Najma, “lagi ngapain Najma?. Saya lagi dalam perjalanan pulang. Saya lagi pusing dan stres. Skripsiku belum juga mendapatkan persetujuan ketua jurusan. Terpaksa aku harus menunggu wisuda empat bulan lagi. Saya mau sungkem pada ibuku”.
Membaca sms, Najma merasa ikut arus empati, “Yang sabar ya, nanti pasti kamu juga akan bisa wisuda. Jangan putus asa ya... Aqsa yang selama ini aku kenal adalah orang yang penuh percaya diri dan pantang menyerah. Kenapa kamu tidak sungkem pada Ayahmu sekalian?”.
“Ayahku sudah almarhum kok”.
“Aduh, maaf Aqsa aku tidak tahu. Kebiasaan sih.., aku bertanya tidak tahu latar belakangnya”. Jawab Najma dengan penuh rasa bersalah.
“Eh..tidak apa-apa. Santai saja, inikan telah menjadi sebuah ketetapan. Jangan merasa bersalah begitu”. Balas Aqsa mencoba menetralisir suasana.
“Ya, hati-hati di jalan. Tabahkan hatimu ya. Sampaikan salam hangatku pada ibumu”. Balas Najma.
Lusi tersenyum lebar tatkala melihat Aqsa turun dari bis di terminal Ngawi. Namun senyum itu menjadi agak kecut terpengaruh raut dan pancaran kemuraman wajah Aqsa. Lusi menarik tas Aqsa dan berkata, “ada apa sih mas, kok murung?”.
“Ini tidak murung atau sedih, aku benar-benar kecewa. Sampai sekarang aku belum mendapat tanda tangan pengesahan skripsi. Padahal pendaftaran wisuda sudah tutup”. Jawab Aqsa dengan wajah kaku sambil melangkah menuju motor yang diparkir Lusi tidak jauh.
Mereka langsung menuju arah barat. Sadar kalau Aqsa lagi sensitif Lusi sama sekali tidak lagi menanyakan perihal sekripsi. Ternyata Lusi cukup pandai pula mengalihkan perhatian pikiran pacar tercintanya. Diajaknya bicara masalah masakan, pemandangan disekeliling jalan yang mereka lalui, masalah keluarga dan rumah tangga.
Merasa puas bermain di lereng gunung Lawu, Aqsa bergegas pulang di antar Lusi. Saat Aqsa sampai rumah kebetulan ibunya baru saja pulang dari menanam padi di sawah. Berhubung waktu sudah menjelang magrib, Lusi langsung pamit pulang. Segera Aqsa mencium tangan perempuan paruh baya itu, dan perempuan itu membalas dengan mengecup kening Aqsa. Perempuan itu biasa disapa dengan Ibu Kus. Melihat pakaian Aqsa yang masih agak basah ibu Kus merasa sedikit heran, ”lee[1]..kenapa bajumu basah?”.
”Tadi habis main di sungai lereng lawu ibu....di bawah pondok Condromowo”.
Mendengar jawaban itu ibu Kus mengeleng-gelengkan kepala, dengan tetap ramah dan lembut perempuan itu berkata, ”sudah sholat asyar?”.
”Hee..he...eh lupa”.
”Ayo cepet sholat, sebentar lagi adzan magrib”.
Aqsa bergegas menuju kamar mandi. Adapun ibu Kus sibuk mengoreng kopi di dapur. Sebuah kebiasaan, jika Aqsa pulang selalu kopi yang dijadikan oleh-oleh pulang ke Jogjakarta. Dari semua putra ibu Kus, hanya Aqsa yang punya kegemaran minum kopi dan merokok.
Badan terasa lebih segar setelah mandi. Aqsa bergegas masuk kamar untuk segera menunaikan sholat asyar. Pada saat tahiyat awwal, terdengar suara adzan magrib. aqsa tidak memperdulikannya, yang penting absen, prinsipnya. Ada sedikit rasa malu sebenarnya ketika harus telat menjalankan sholat. Malu pada sosok kakak, adik dan terutama ibunya. Karena mereka tidak pernah lalei, bahkan selalu berusaha untuk menjalankannya tepat waktu dan berjama’ah.
Malam itu ibu dan anan makan bersama dengan menu spesial nasi tiwul, bithok dan sayur lodeh dengan lauk ikan asin. Mereka makan dengan menu yang sangat sederhana. Namun terasa sangat nikmat. Aqsa meminta izin untuk mengunjungi kakeknya. Kebetulan rumah Mbah Dul, lengkapnya Abdul Qodir hanya berjarak 500 meter. Aqsa terus saja menyusuri kegelapan di bawah lampu penerangan listrik. Pintu rumah masih tertutup rapat. Aqsa mengetuk beberapa kali, Mbah Dul membukakan pintu. Segera aqsa mengucap salam, mencium tangan kakeknya dan bergegas masuk. Laki-laki sepuh itu masih tampak sehat di usiannya yang menjelang 80 tahun.
”Kapan kamu sampai Aqsa?”.
”Tadi sore mbah”.
Tak lama kemudian muncul perempuan yang berusia empat puluhan tahun dari dalam kamar. Orang memangilnya Etik. Beliaulah adik bungsu dari ibu Kus, atau anak terakhir dari Mbah Dul. Aqsa segera bangkit dari kursi, menjabat dan mencium tangan buleknya.
”Wah kamu katanya sebentar lagi wisuda ya”.
”Doakan Bulek, tinggal menunggu tandatangan dosen”.
”Kamu ngobrol aja dulu dengan kakekmu, aku mau ketempat budhe Jamilah. Besok putranya akan menikah. Ibumu sudah berangkat kan?”
”Iya bulek, tadi sewaktu saya kesini Ibu belum berangkat”.
”Nanti kalau mau buat kopi, airnya ada ditermos belakang”. Kata Bulek Etik sambil melangkah menuju pintu. Sebentar kemudian lenyam tertutup gelapnya malam.
”Kemaren ibumu cerita kalau skripsimu belum juga dapat tanda tangan, bagaimana ceritannya?”.
”Itu Mbah, dosen penguji yang sekaligus ketua jurusan tidak juga memberi tandatangan. Entah apa alasannya. Namun kayaknya, itu berbedaan idiologi saja antara yang Aqsa anut dengannya”.
”Apa itu idiologi?. Pakai saja bahasa yang lumrah, biar simbahmu ini faham”.
”Pandangan akan sebuah keyakinan, pandangan hidup ataupun konsep pemahaman Mbah”.
”Oooh...masa harus masalah seperti itu di bawa-bawa. Seharusnya bukanlah tolak ukur orang terdidik itu cerdas dan kreatifitas seseorang. Ok lah kalau begitu yang sabar ya cucuku”.
”Iya mbah, kalau tidak sabar sudah dari dulu-dulu aku ajak adu jotos. Pasti menang aku lah. Dia kan sudah 50 an usiannya”. Jawab Aqsa dengan muka mengerut, pertanda serius. Adapun Mbah Dul hanya tersenyum sambil melinting tembakau untuk dirokok. ”Eh mbah, ngomong-ngomong bulek Etik kok belum menikah juga, hampir 40 kan mbah usiannya. Padahal cantik. Dia juga sudah mapan hidupnya dengan gaji yang diterimannya sebagai Guru PNS di Madrasah Tsanawiyah. Apa memang menunggu mapan atau memang tidak minat ya mbah?”.
”Simbah tidak tahu dengan sikap bulek mu itu. Dulu sewaktu masih muda banyak yang datang melamarnya. Ada yang guru, anggota dewan, dokter, polisi dan banyaklah pokoknya. Hampir segala macam profesi ada. Saat itu tinggi sekali kriteria bulekmu. Dulu almarhum ayahmu sering mencarikan dan akhir-akhir ini paman-pamanmu juga masih berusaha, entah itu teman sepekerjaan atau juga minta tolong teman untuk mencarikan. Namun semua juga ditolaknya. Macam-macam sih alasannya. Ada yang item, pendek, banyak saudarannya, rumahnya di lereng gunung dan banyak jugalah. Mungkin karena sering menolak, maka orang mau mendekati menjadi malas atau bahkan mungkin takut. Makannya kamu kalau memang sudah siap, segera saja menikah. Jangan sampai menunda-nunda. Karena, semakin orang sukses maka orang cenderung takut untuk mendekati, khawatir ditolak sebelum bicara. Apalagi perempuan”.
”Apalagi tahun depan bulek mau naik haji ya mbah”.
”Iya, itu akan membuat laki-laki semakin menciut nyalinnya. Simbah tidak tahu, sudah berapa kali simbahmu ini ngomong. Tapi tidak
juga didengarkannya. Mungkin simbahmu ini orang yang sekolah dasar saja tidak tamat, sehingga dianggap tidak berpendidikan. Kalau memberi saran tidak bijaksana. Simbah pasrah sama Yang Kuasa cucuku. Kenapa Allah tidak segera mencabut usia simbahmu ini, mungkin karena tanggungjawabnya di dunia masih. Yaitu menikahkan satu orang lagi dari sembilan anakmya simbah”. Jawab laki-laki tua itu sambil menghisap rokok hasil lintingannya sendiri.
”Simbah sendiri menikah diusia berapa?”.
”Duapuluh tahun simbah sudah menikah, sedangkan simbah putri duapuluh lima tahun”.
”Ooh..jadi lebuh tua simbah putri ya?”.
”Iyalah, dia kan janda dengan anak dua, jadi sebenarnya anak kandung simbahmu ini cuma tujuh. Makannya wajar jika simbah putri meninggal lebih dulu. Kan lebih tua lima tahun”. Aqsa mengangguk-anggukkan kepala pertanda paham. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa hampir jam 12 malam. Aqsa segera izin, melangkah masuk kamar tengah. Kamar yang memang biasa digunakan oleh cucu mbah Dul untuk istirahat bila mereka datang.
Selama di Ngawi, tiada hari yang Aqsa lakukan selain menemani ibunya dan menghabiskan senja dengan Lusi, sang pacar penghiburnya. Entah bermain di alun-alun Ngawi, ke plaza maupun ke sawah sekedar mencari ikan. Kesenangan, kepuasan dan kegembiraan adalah ujung dari tujuan liburan Aqsa. Kurang lebih selama lima belas hari Aqsa berada di kampung halaman.
Ketika Aqsa bersama ibunya sedang sibuk di dapur, terdengar handpone Aqsa berbunyi cukup lama. Aqsa berlari, bergegas mengangkatnya. Senyum Aqsa mengembang tatkala ibu Asna selaku sekretaris jurusan mengabarkan bila skripsinya telah ditandatangani oleh pak dosen killer. Dalam hati Aqsa berucap, “memang dosen itu tidak menhendaki jika aku wisuda bulan ini”. Segera Aqsa menuju ibunya dan mengabarkan perihal skripsinya. Perempuan tua itu pun merasa bahagia. Ibu Kus berucap, “butuh biaya berapa untuk wisuda?”
“Ibu, mungkin kalau dijualkan kambing satu ya cukuplah”. Jawab Aqsa.
“Ya.. nanti kita jualkan hasil panen kemaren, karena kambing itu sudah di jual untuk biaya adikmu sekolah. Kemaren dia minta untuk bayar ujian”.
Mendengar perkataan ibunya, Aqsa terdiam. Di satu sisi ada rasa iba yang mendalam terhadap ibunya. Dan di sisi lain ada rasa bangga yang luar biasa dalam terhadap sosok perempuan paruh baya itu. Memang semenjak suaminya meninggal, ibu Kus harus menghidupi anak-anaknya dengan susah payah. Namun satu tekadnya, bahwa semua anaknya harus menempuh pendidikan yang tinggi biar sukses dan bisa bermanfaat buat sesama. ”Tenang saja ibundaku tercinta, lumbung kehidupan masih ada tiga di Jogjakarta. Sangat subur, gemuk dan siap dipanen setiap saat”. Hati Aqsa bicara untuk menghilangkan rasa ibannya.
Keesokan harinya Aqsa berangkat menuju Jogjakarta.
__________________________________________________________________________________
[1] Pangilan untuk anak laki-laki dalam bahasa Jawa
Beruntung siang itu kos Aqsa lagi sepi karena pada sibuk ujian tengah semester. Sedangkan pemilik kos berada di Jakarta, lagi menengok cucunya. Erna segera membuatkan kopi dan mencoba menenangkan Aqsa dengan kata-kata manis untuk mengembalikan hati kekasihnya. Tapi apa yang didapatkan oleh Erna selain bentakkan. Namun Erna cukup faham bagaimana cara menenangkan Aqsa. Malaikat yang sejak tadi enggan mendekati Aqsa karena mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya, sekarang pergi dengan membawa amarah. Marah melihat kelakuan dua anak manusia yang tak pernah menggunakan logika dan nurani. Bayangan ibu Aqsa membuyarkan semua hasrat dan memadamkan debaran jantung.
Tiga hari berselang, pagi-pagi sekali Friska datang ke kos Aqsa dengan membawa kopi susu, nasi gudeg dan sebungkus rokok. Melihat kondisi Aqsa yang masih kalut, Friska membantu kekasihnya dalam mengetik dan mengedit hasil revisian. Menjelang duhur sekripsi itu selesai diprint. Mereka berdua berangkat ke kampus. Sesampainya di kampus, ternyata ketua jurusannya belum datang. Aqsa mulai naik pitam. Namun kali ini bisa ditahannya. Ketua jurusan inilah biang keladi hancurnya nilai Aqsa. Ketua jurusan yang bernama Akhmad Rofi’I dengan gelar Magister Philosophy ini memang dosen yang sangat terkenal killer. Banyak mahasiswa yang anti pati, benci dan tak jarang di antara mereka yang mendoakan buruk padanya. Dosen yang satu ini terkenal juga sulit ditemui dan ucapannya juga suka menusuk hati. Sampai menjelang asyar tak juga dosen killer itu muncul. Merasa tak sabar Aqsa mengambil handpone lalu menghubunginya. Wajah Aqsa merah padam mendengar jawaban, “letakkan saja di meja, aku hari ini malas ke kampus”. Kontan Aqsa mengandeng tangan Friska menuju tempat parkir. Setelah puas membuat suara gaduh dengan motornya sambil jamping berkali-kali, Aqsa buru-buru menuju kos. Aqsa sadar satpam lagi menuju tempat suara motor meraung-raung. Sesampainya di kos, Aqsa langsung tidur. Adapun Friska sibuk merapikan buku dan baju yang masih berantakan milik Aqsa. Kamar itupun terlihat lebih bersih dan rapi. Sesudahnya Friska mencuci semua baju kotor milik kekasihnya. Angin malam mulai menyelimuti dan mengerakan Friska untuk pulang, namun Aqsa masih pulas. Diketiklah sebuah pesan singkat untuk Aqsa, sebelum menstater motor.
Asyar dan magrib terlewatkan tanpa ada penyesalan, menjelang isya’ Aqsa baru terbangun. Dicarinya Friska. Dia mendapati Jamal dan Maymoto sedang asyik memainkan gitar dengan menyanyikan lagu faforit mereka, apalagi kalau bukan lagu India. Dikonfirmasinya mereka berdua, namun juga tidak mengetahui. Diambilah handpone, terlihat pangilan masuk dari Najma sebanyak lima kali. Aqsa tidak merasa heran dengan panggilan itu. Karena Najma memang sering miscall. Lalu dibacanya sms dari Friska, “sayang, sorry aku tidak pamit. Khawatir nanti menganggu istirahatmu. Besok ke kampus jam berapa?”.
Diketiknya balasan, “Oke sayang. Besok aku tidak pergi ke kampus. Aku mau maen dengan teman-teman. Pusing kepalaku”. Tak lama berselang diketik pula sms untuk Nadya, “sayang, besok jam delapan antar mas ke kampus ya…mas sayang adek dech..”. lalu diketik pula sms untuk Erna, “cantik…besok mas pulang, paling dua hari. Thanks ya..”.
Kurang lebih pukul delapan pagi keesokan harinya, Nadya sampai di kos Aqsa dengan membawa dua bungkus nasi. Sebenarnya saat itu Nadya ada ujian jam tujuh, berhubung Aqsa meminta datang maka yang terjadi adalah rasa mengalahkan logika. Aqsa terbangun tatkala merasa ada tangan lembut membelai rambutnya. Bergegas Aqsa mandi lalu mereka berdua menyantap dua bungkus nasi yang dibeli Nadya. Tepat pukul sembilan mereka sampai di depan ruangan ketua jurusan. Tak lama muncullah dosen killer itu. Dosen itupun memasuki ruang kerjanya, Aqsa mengikuti. Lama Aqsa berdiri, namun tak juga dipersilahkannya duduk. Tanpa pikir panjang Aqsa langsung duduk di kursi yang memang sudah dipersiapkan untuk mahasiswa bila melakukan konsultasi. Dengan suara yang sengaja dibuat halus dan sopan Aqsa bertanya, “bagaimana pak skripsi saya”.
“Maaf saya belum sempat baca. Skripsimu masih ada di rumah”. Ternyata kemaren ketika Aqsa pulang, dosen killer itu datang ke kampus tapi hanya sebentar. Mendengar jawaban yang ketus, Aqsa masih berusaha untuk tenang.
“Kapan ya pak saya bisa melihat hasil koreksi dari bapak?”.
“Kamu itu tidak usah cepat-cepat wisuda,”. Jawaban pak Rofi’I membuat wajah Aqsa memerah.
“Apa maksud bapak agar saya jangan-jangan cepat-cepat wisuda, padahal masih ada dua orang penguji dan pak dekan yang belum membubuhkan tanda tangan pengesahan. Sedangkan pendaftaran wisuda tinggal lima hari lagi”. Darah muda Aqsa mulai naik. Dipegangnya kaki kursinya, bila macam-macam akan dipukulnya dosen killer itu.
“Judul kamu ini perlu diganti, sehingga kamu perlu merombak skripsi”.
“Lho bukannya dulu bapak yang menyetujui judul ini saya ajukan. Dan bapak juga yang memimpin seminar proposal skripsi saya. Tidak bisa begitu dong pak”. Jawab Aqsa. Wajahnya memerah. Tangan yang menggengam kaki kursi bergetar. Namun segera Aqsa tersadar, bila dia memukul orang yang ada di depannya maka sudah pasti droup out resikonya.
“Sudahlah, pokoknya kamu tidak usah cepat-cepat wisuda”. Merasa amarah hampir meledak, Aqsa segera beranjak dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu tanpa sepatah katapun terucap. Di luar telah menunggu Nadya. Melihat Aqsa yang muram menaham marah, Nadya segera mengejarnya.
***
Hampir satu bulan Aqsa merasa jengkel dan marah dengan dosen killer yang bernama Akhmad Rofi’i. Dosen sok pintar dan arogan. Bukan Aqsa saja yang merasa dipersulit dalam menyelesaikan tugas akhir, tapi mahasiswa satu jurusannya juga banyak. Setiap hari Aqsa selalu datang ke kampus melihat perkembangan skripsinya. Namun tak jua kunjung ada perkembangan. Melihat kondisi yang semakin rumit, Aqsa menghubungi Ibunya. Diceritakannya semua kondisi perkembangan skripsinya lewat telpon. Didapatkannya jawaban, “sudahlah anakku, jangan sampai kamu mengajak berantem atau bertindak kasar pada dosen itu. Nanti kamu malah akan dikeluarkan. Kamu mau selesai kapan, itu terserah kamu yang penting dapat selesai”. Mendengar kalimat lembut dari ibunya, Aqsa merasa lega. Ternyata orang tuanya memahami dan tidak menuntut Aqsa agar segera selesai.
Sebenarnya keluarga Aqsa adalah keluarga baik-baik. Ibunya adalah perempuan yang sangat sabar. Walaupun hidupnya cukup sederhana, ibu Kus selalu menanamkan pada semua anaknya untuk terus sekolah. Semua anaknya tumbuh menjadi anak yang pemberani, berjiwa pemimpin, penuh percaya diri. Tidak ada satupun dari anaknya yang tumbuh menjadi anak yang suka minuman keras, mabuk atau menjadi preman. Akan tetapi ada satu anaknya yang memang punya kegemaran bermain perempuan. Siapa lagi kalau bukan Aqsa. Ibunya sampai heran, hormon macam apa yang mengisi struktur anatomi tubuhnya. Sering beliau mengingatkan Aqsa, mungkin karena naluriah seorang ibu. Dan naluri suci itu pulalah yang berjalan dibawah sadar sehingga setiap Aqsa akan merenggut mahkota perempuan, wajah beliau selalu melintas. Wajah itulah yang mencegahnya.
Sampailah pada detik akhir pendaftaran wisuda. Aqsa datang ke kampus untuk melihat skripsi. Lagi-lagi dosen itu tidak masuk. Dosen itu rupanya termasuk tipikal dosen yang malas datang ke kampus, dia lebih mementingkan bisnis yang ditekuninya. Bagaimana jadinya bila pengajar di negeri ini menjadikan guru sebagai provesi sampingan tanpa ada ketulusan?. Bisik hati Aqsa. Segera Aqsa mengambil handphone, dicarinya nomor kontak, ketua jurusannya. Namun sekali lagi jawaban yang Aqsa dapatkan masih tetap mengecewakan, “skripsimu belum aku baca”.
Selesai menelpon ketiga pacarnya, siang itu di tengah terik matahari, Aqsa menuju terminal Giwangan. Apalah artinya aku lama-lama di Jogjakarta bila hanya menunggu sesuatu yang tidak pasti. Desah Aqsa. Sengaja Aqsa pulang tidak naik motor, karena Lusi telah siap menjemput di terminal Ngawi. Mereka mengadakan janji untuk bermain di lereng gunung Lawu guna menghilangkan amarah dan kekecewaan yang telah mencapai titiik kulminasi. Dalam perjalanan, hanphone Aqsa berkali-kali mendapat pangilan. Dilihatnya seperti biasa, Najma lagi miscall. Diketiknya sms untuk Najma, “lagi ngapain Najma?. Saya lagi dalam perjalanan pulang. Saya lagi pusing dan stres. Skripsiku belum juga mendapatkan persetujuan ketua jurusan. Terpaksa aku harus menunggu wisuda empat bulan lagi. Saya mau sungkem pada ibuku”.
Membaca sms, Najma merasa ikut arus empati, “Yang sabar ya, nanti pasti kamu juga akan bisa wisuda. Jangan putus asa ya... Aqsa yang selama ini aku kenal adalah orang yang penuh percaya diri dan pantang menyerah. Kenapa kamu tidak sungkem pada Ayahmu sekalian?”.
“Ayahku sudah almarhum kok”.
“Aduh, maaf Aqsa aku tidak tahu. Kebiasaan sih.., aku bertanya tidak tahu latar belakangnya”. Jawab Najma dengan penuh rasa bersalah.
“Eh..tidak apa-apa. Santai saja, inikan telah menjadi sebuah ketetapan. Jangan merasa bersalah begitu”. Balas Aqsa mencoba menetralisir suasana.
“Ya, hati-hati di jalan. Tabahkan hatimu ya. Sampaikan salam hangatku pada ibumu”. Balas Najma.
Lusi tersenyum lebar tatkala melihat Aqsa turun dari bis di terminal Ngawi. Namun senyum itu menjadi agak kecut terpengaruh raut dan pancaran kemuraman wajah Aqsa. Lusi menarik tas Aqsa dan berkata, “ada apa sih mas, kok murung?”.
“Ini tidak murung atau sedih, aku benar-benar kecewa. Sampai sekarang aku belum mendapat tanda tangan pengesahan skripsi. Padahal pendaftaran wisuda sudah tutup”. Jawab Aqsa dengan wajah kaku sambil melangkah menuju motor yang diparkir Lusi tidak jauh.
Mereka langsung menuju arah barat. Sadar kalau Aqsa lagi sensitif Lusi sama sekali tidak lagi menanyakan perihal sekripsi. Ternyata Lusi cukup pandai pula mengalihkan perhatian pikiran pacar tercintanya. Diajaknya bicara masalah masakan, pemandangan disekeliling jalan yang mereka lalui, masalah keluarga dan rumah tangga.
Merasa puas bermain di lereng gunung Lawu, Aqsa bergegas pulang di antar Lusi. Saat Aqsa sampai rumah kebetulan ibunya baru saja pulang dari menanam padi di sawah. Berhubung waktu sudah menjelang magrib, Lusi langsung pamit pulang. Segera Aqsa mencium tangan perempuan paruh baya itu, dan perempuan itu membalas dengan mengecup kening Aqsa. Perempuan itu biasa disapa dengan Ibu Kus. Melihat pakaian Aqsa yang masih agak basah ibu Kus merasa sedikit heran, ”lee[1]..kenapa bajumu basah?”.
”Tadi habis main di sungai lereng lawu ibu....di bawah pondok Condromowo”.
Mendengar jawaban itu ibu Kus mengeleng-gelengkan kepala, dengan tetap ramah dan lembut perempuan itu berkata, ”sudah sholat asyar?”.
”Hee..he...eh lupa”.
”Ayo cepet sholat, sebentar lagi adzan magrib”.
Aqsa bergegas menuju kamar mandi. Adapun ibu Kus sibuk mengoreng kopi di dapur. Sebuah kebiasaan, jika Aqsa pulang selalu kopi yang dijadikan oleh-oleh pulang ke Jogjakarta. Dari semua putra ibu Kus, hanya Aqsa yang punya kegemaran minum kopi dan merokok.
Badan terasa lebih segar setelah mandi. Aqsa bergegas masuk kamar untuk segera menunaikan sholat asyar. Pada saat tahiyat awwal, terdengar suara adzan magrib. aqsa tidak memperdulikannya, yang penting absen, prinsipnya. Ada sedikit rasa malu sebenarnya ketika harus telat menjalankan sholat. Malu pada sosok kakak, adik dan terutama ibunya. Karena mereka tidak pernah lalei, bahkan selalu berusaha untuk menjalankannya tepat waktu dan berjama’ah.
Malam itu ibu dan anan makan bersama dengan menu spesial nasi tiwul, bithok dan sayur lodeh dengan lauk ikan asin. Mereka makan dengan menu yang sangat sederhana. Namun terasa sangat nikmat. Aqsa meminta izin untuk mengunjungi kakeknya. Kebetulan rumah Mbah Dul, lengkapnya Abdul Qodir hanya berjarak 500 meter. Aqsa terus saja menyusuri kegelapan di bawah lampu penerangan listrik. Pintu rumah masih tertutup rapat. Aqsa mengetuk beberapa kali, Mbah Dul membukakan pintu. Segera aqsa mengucap salam, mencium tangan kakeknya dan bergegas masuk. Laki-laki sepuh itu masih tampak sehat di usiannya yang menjelang 80 tahun.
”Kapan kamu sampai Aqsa?”.
”Tadi sore mbah”.
Tak lama kemudian muncul perempuan yang berusia empat puluhan tahun dari dalam kamar. Orang memangilnya Etik. Beliaulah adik bungsu dari ibu Kus, atau anak terakhir dari Mbah Dul. Aqsa segera bangkit dari kursi, menjabat dan mencium tangan buleknya.
”Wah kamu katanya sebentar lagi wisuda ya”.
”Doakan Bulek, tinggal menunggu tandatangan dosen”.
”Kamu ngobrol aja dulu dengan kakekmu, aku mau ketempat budhe Jamilah. Besok putranya akan menikah. Ibumu sudah berangkat kan?”
”Iya bulek, tadi sewaktu saya kesini Ibu belum berangkat”.
”Nanti kalau mau buat kopi, airnya ada ditermos belakang”. Kata Bulek Etik sambil melangkah menuju pintu. Sebentar kemudian lenyam tertutup gelapnya malam.
”Kemaren ibumu cerita kalau skripsimu belum juga dapat tanda tangan, bagaimana ceritannya?”.
”Itu Mbah, dosen penguji yang sekaligus ketua jurusan tidak juga memberi tandatangan. Entah apa alasannya. Namun kayaknya, itu berbedaan idiologi saja antara yang Aqsa anut dengannya”.
”Apa itu idiologi?. Pakai saja bahasa yang lumrah, biar simbahmu ini faham”.
”Pandangan akan sebuah keyakinan, pandangan hidup ataupun konsep pemahaman Mbah”.
”Oooh...masa harus masalah seperti itu di bawa-bawa. Seharusnya bukanlah tolak ukur orang terdidik itu cerdas dan kreatifitas seseorang. Ok lah kalau begitu yang sabar ya cucuku”.
”Iya mbah, kalau tidak sabar sudah dari dulu-dulu aku ajak adu jotos. Pasti menang aku lah. Dia kan sudah 50 an usiannya”. Jawab Aqsa dengan muka mengerut, pertanda serius. Adapun Mbah Dul hanya tersenyum sambil melinting tembakau untuk dirokok. ”Eh mbah, ngomong-ngomong bulek Etik kok belum menikah juga, hampir 40 kan mbah usiannya. Padahal cantik. Dia juga sudah mapan hidupnya dengan gaji yang diterimannya sebagai Guru PNS di Madrasah Tsanawiyah. Apa memang menunggu mapan atau memang tidak minat ya mbah?”.
”Simbah tidak tahu dengan sikap bulek mu itu. Dulu sewaktu masih muda banyak yang datang melamarnya. Ada yang guru, anggota dewan, dokter, polisi dan banyaklah pokoknya. Hampir segala macam profesi ada. Saat itu tinggi sekali kriteria bulekmu. Dulu almarhum ayahmu sering mencarikan dan akhir-akhir ini paman-pamanmu juga masih berusaha, entah itu teman sepekerjaan atau juga minta tolong teman untuk mencarikan. Namun semua juga ditolaknya. Macam-macam sih alasannya. Ada yang item, pendek, banyak saudarannya, rumahnya di lereng gunung dan banyak jugalah. Mungkin karena sering menolak, maka orang mau mendekati menjadi malas atau bahkan mungkin takut. Makannya kamu kalau memang sudah siap, segera saja menikah. Jangan sampai menunda-nunda. Karena, semakin orang sukses maka orang cenderung takut untuk mendekati, khawatir ditolak sebelum bicara. Apalagi perempuan”.
”Apalagi tahun depan bulek mau naik haji ya mbah”.
”Iya, itu akan membuat laki-laki semakin menciut nyalinnya. Simbah tidak tahu, sudah berapa kali simbahmu ini ngomong. Tapi tidak
juga didengarkannya. Mungkin simbahmu ini orang yang sekolah dasar saja tidak tamat, sehingga dianggap tidak berpendidikan. Kalau memberi saran tidak bijaksana. Simbah pasrah sama Yang Kuasa cucuku. Kenapa Allah tidak segera mencabut usia simbahmu ini, mungkin karena tanggungjawabnya di dunia masih. Yaitu menikahkan satu orang lagi dari sembilan anakmya simbah”. Jawab laki-laki tua itu sambil menghisap rokok hasil lintingannya sendiri.
”Simbah sendiri menikah diusia berapa?”.
”Duapuluh tahun simbah sudah menikah, sedangkan simbah putri duapuluh lima tahun”.
”Ooh..jadi lebuh tua simbah putri ya?”.
”Iyalah, dia kan janda dengan anak dua, jadi sebenarnya anak kandung simbahmu ini cuma tujuh. Makannya wajar jika simbah putri meninggal lebih dulu. Kan lebih tua lima tahun”. Aqsa mengangguk-anggukkan kepala pertanda paham. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa hampir jam 12 malam. Aqsa segera izin, melangkah masuk kamar tengah. Kamar yang memang biasa digunakan oleh cucu mbah Dul untuk istirahat bila mereka datang.
Selama di Ngawi, tiada hari yang Aqsa lakukan selain menemani ibunya dan menghabiskan senja dengan Lusi, sang pacar penghiburnya. Entah bermain di alun-alun Ngawi, ke plaza maupun ke sawah sekedar mencari ikan. Kesenangan, kepuasan dan kegembiraan adalah ujung dari tujuan liburan Aqsa. Kurang lebih selama lima belas hari Aqsa berada di kampung halaman.
Ketika Aqsa bersama ibunya sedang sibuk di dapur, terdengar handpone Aqsa berbunyi cukup lama. Aqsa berlari, bergegas mengangkatnya. Senyum Aqsa mengembang tatkala ibu Asna selaku sekretaris jurusan mengabarkan bila skripsinya telah ditandatangani oleh pak dosen killer. Dalam hati Aqsa berucap, “memang dosen itu tidak menhendaki jika aku wisuda bulan ini”. Segera Aqsa menuju ibunya dan mengabarkan perihal skripsinya. Perempuan tua itu pun merasa bahagia. Ibu Kus berucap, “butuh biaya berapa untuk wisuda?”
“Ibu, mungkin kalau dijualkan kambing satu ya cukuplah”. Jawab Aqsa.
“Ya.. nanti kita jualkan hasil panen kemaren, karena kambing itu sudah di jual untuk biaya adikmu sekolah. Kemaren dia minta untuk bayar ujian”.
Mendengar perkataan ibunya, Aqsa terdiam. Di satu sisi ada rasa iba yang mendalam terhadap ibunya. Dan di sisi lain ada rasa bangga yang luar biasa dalam terhadap sosok perempuan paruh baya itu. Memang semenjak suaminya meninggal, ibu Kus harus menghidupi anak-anaknya dengan susah payah. Namun satu tekadnya, bahwa semua anaknya harus menempuh pendidikan yang tinggi biar sukses dan bisa bermanfaat buat sesama. ”Tenang saja ibundaku tercinta, lumbung kehidupan masih ada tiga di Jogjakarta. Sangat subur, gemuk dan siap dipanen setiap saat”. Hati Aqsa bicara untuk menghilangkan rasa ibannya.
Keesokan harinya Aqsa berangkat menuju Jogjakarta.
__________________________________________________________________________________
[1] Pangilan untuk anak laki-laki dalam bahasa Jawa
*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Mahasiswa Doktor di Shanghai University
Mahasiswa Doktor di Shanghai University