Kabar Mu Tiongkok
Temukan Kami di Sosial Media :
  • Beranda
  • Berita
  • Wawasan
  • Risalah Netizen
    • Refleksi Netizen
    • Reportase Netizen
    • Opini Netizen
    • Romadhan di Tiongkok
    • GongXi-Tiongkok
  • Aktivitas
    • School Of Journalism
    • Agenda
    • Lomba Foto >
      • form-lomba-foto
      • Poling Lomba Foto
    • Polling Puisi Favorite >
      • Puisi Favorite 2018
    • Polling
    • Lomba Ramadhan >
      • Pemenang Lomba
      • Polling Video-Favorite
  • Tamadun
    • Karya Fiksi
    • Galeri Foto
    • Karya Video
    • Karya Puisi
    • Kantin Kartini
  • Kontak Kami
  • Organisasi
  • Muhibah Ukuwah
    • NANJING >
      • Poling Lomba Foto Nanjing
      • Foto Ukuwah Nanjing
    • HANGZHOU >
      • Pooling Lomba Foto Hangzhou
      • Foto Ukhuwah Hangzhou
    • SHANGHAI >
      • Foto Ukhuwah Shanghai
  • Tiongkonomi
  • Kemitraan
    • UHAMKA - Pengantar TI
    • UHAMKA - Etika Profesi
    • UHAMKA - Digital Sistem
    • UHAMKA - Praktikum Digital

Poligini

2/11/2019

0 Comments

 
Picture

Poligini

Oleh : Anang Masduki*
Malam mulai beranjak naik. Disebelah utara terlihat gunung Merapi menjulang dengan angkuhnya memantul dibawah bias sinar rembulan. Dari lerengnya angin berhembus merasuk dalam sumsum tulang. Saat itu Najma baru saja sampai di rumah setelah mengisi diskusi mengenai pemberdayaan perempuan. Diskusi itu dilaksanakan sebulan sekali bersama dengan teman-teman satu organisasi pergerakan mahasisiwa yang Najma ikuti. Saat itu tema yang diangkat adalah teologi pembebasan dalam Al Qur’an. Badannya terasa pegal namun sulit sekali mata untuk dipejamkan. Dia muali membuka tas dan menyalakan laptopnya. Dia hendak mengetik beberapa judul skripsi. Beberapa judul telah diketiknya dan rencana besok akan diajukan pada ketua jurusan. Ketika Najma sedang sibuk mempersiapkan judul yang baru diajukannya, Aqsa sudah jauh melesat. Bulan lalu Aqsa telah mengikuti seminar proposal dan sekarang Aqsa tinggal menyelesaikan bab empat yang berisi kesimpulan. Najma teringat bahwa tadi sore dia sms, berjanji untuk telpon pada Aqsa.

Tepat tengah malam Najma menghubungi Aqsa sebagaimana telah mereka berdua janjikan. Saat itu ada freetalk sampai jam 05.00. Najma membuka pembicaraan, “Aqsa, kamu sibuk ya?”.

“Enggak,emang kenapa?”.

“Walau kita belum pernah ketemu, namun kita sering melakukan komuniaksi walau hanya lewat handphon. Malam ini aku ingin bercerita kepadamu, maukah kamu mendengarkannya?, selama ini belum ada seorang laki-laki satupun yang pernah aku beri tahu”.
”Wah…dengan senang hati Najma, aku akan mendengarkannya”.

Najma memulai ceritanya, “Aku dilahirkan di Salatiga. Namun aku menamatkan sekolah dasar di Bandung. Berhubung ayahku berharap semua anaknya mengenyam pendidikan pesantren, aku melanjutkan sekolah menengah pada pondok modern di Temanggung. Di situ diri ini  merasa sangat asing dan banyak kendala yang aku lalui dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah aku tidak bisa bahasa Jawa sedangkan mata pelajaran banyak yang menggunakan bahasa Jawa. Aqsa, aku tumbuh menjadi orang yang minder dan sangat pemalu. Di sisi lain saat itu banyak laki-laki di pondok yang mengirim surat padaku pertanda suka, banyak surat itu yang tidak aku baca, bahkan langsung aku buang. Sehingga ketika aku berjalan dengan teman-teman perempuan di pondok lalu berpapasan dengan teman laki-laki maka aku selalu merunduk dan menjadikan teman perempuan yang ada di dekatku sebagai pelindung agar tidak bertatapan langsung dengan para laki-laki, walau mereka semua adalah temanku. Aku tidak tahu kenapa aku menjadi seorang yang pemalu bahkan mungkin termasuk orang yang minder. Untuk berbicara di depan publik apalagi, bahkan saat berdiskusi aku hanya menjadi pendengar setia yang sibuk mengurusi kebingungan dan keanehan yang ada dalam diriku. Dan hal yang paling membuat diriku sedih adalah aku tidak bisa mencegah adikku untuk sekolah di tempat ku sekolah. Sedih sekali rasanya, bahkan aku merasa saat itu banyak waktuku yang terbuang sia-sia karena tangis yang tidak bisa terbendung lagi”.

”Kenapa mesti sedih?, bukankah dengan adanya adikmu maka kamu punya teman”.

”Bahasa yang dipakai adalah Jawa, sedangkan aku dan adikku tidak bisa sama sekali. Kasihan dia nanti kalau seperti aku. Sulit berkomunikasi, diberi pelajaran namun susah untuk ditangkap, teman sedikit”.

Sejenak Najma terdiam, terdengar sedu yang sangat halus, yang sangat lembut. Semua memori Najma tentang masa lalunya di pondok bermunculan. Bahkan dia juga teringat saat yang paling menyedihkan. Yaitu saat ada seorang santri laki-laki yang mengintipnya berganti jilbab. Walau halus dan lembut sedu-sedan itu dapat dirasakan oleh Aqsa, dan Aqsa ikut merasa sedih terbawa oleh rangkaian emosi yang melingkupi kedua insan yang sedang telpon dengan freetalk.

Aqsa memecah keheningan di malam sepi dan sunyi yang hanya diterangi oleh rembulan yang tampak sempurna. ”Najma, kamu menangis ya?”.

Najma tidak menjawab pertanyaan itu, dia sibuk dengan punggung tanganya menyeka air mata yang terus mengalir. Pipinya basah. Aqsa merasa kebingungan, tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dicobanya untuk menghibur dengan mengalihkan perhatian, “Najma coba sekarang kamu lihat keluar, rembulan tampak cerah sekali”.

“Benarkah?”, jawab Najma dengan mencoba untuk tersenyum dan dibukalah jendela kamarnya. Aqsa dapat merasakan kalau Najma sedang tersenyum walau tidak tampak oleh mata.

 Aqsa meneruskan pertanyaan. “Najma, kalau boleh tahu, apa sih masakan kesukaan kamu?”.

“Makanan kesukaanku adalah rendang atau sejenisnyalah. Pokoknya yang banyak santannya aku suka, emang kenapa Aqsa?.

“Wah…sayang sekali ya, aku tidak bisa masak seperti apa yang kamu inginkan”.

“MasyaAllah…Aqsa..Aqsa tak kirain apa, pokoknya kalau aku yang pedas atau ada sambalnya udah cukup”.

“Kalau buah kesukaan kamu apa?”.

“Kalau buah yang paling aku suka adalah buah durian”.

“Wah lidah kamu pinter juga ya..memilih buah yang mahal dan enak”, jawab Aqsa dengan menyungging senyuman. Aqsa merasa sangat senang sekali karena telah bisa mengalihkan fokus pikiran sehingga hati Najma tidak lagi terpaku pada rasa sedih dan penyesalan seperti semula. Menjelang subuh percakapan itupun usai.

Melihat batrei handphon yang hampir habis, segera dia bangkit untuk mengambil cas. Mata Aqsa mulai memerah menahan kantuk. Sebelum terlelap, dia sempatkan mengetik, ”fajar cintaku telah merekah. Menahan malu dengan kokok ayam. Segera sandarkan embun pada wajah. Harapku jangan sekedar absen sebagai hamba. Ayo segera ambil air wudlu, cintaku”. Segera dia kirim pesan singkat itu pada keempat kekasih permaduannya. Tanda terkirim muncul di layar, bersamaan dengan menutupnya kelopak mata Aqsa.

Mulai saat itu Aqsa dan Najma sering berdiskusi tentang apa saja, baik itu masalah keagamaan, masalah kehidupan bahkan karena kepercayaan yang mulai tumbuh mereka berdua juga sering mendiskusikan dan saling berbagi tentang apasaja. Lama kelamaan persahabatan antara mereka berdua tumbuh menjadi sangat dekat, berakibat kepercayaan yang tumbuh sangat kuat, tidak ada kekhawatiran dan keraguan di antara mereka untuk menceritakan hal yang paling pribadi dan rahasia sekalipun.
 
 
                                                                                                                    ***
Beberapa hari kemudian mereka berdiskusi lagi. Dan lagi-lagi lewat telpon pada jam sama, 00.00 dini hari. Karena sama-sama masih menjadi tanggungan orangtua mungkin, bersikap hemat. ”Assalamu’alaikum, Aqsa. Belum ngantuk ya?”.

”Wassalam..eh, wa’laikumsalam...sory salah. Sengaja.he...”.

”Woo...dasar”.

”Belum...nih masih banyak yang perlu diedit skripsinya. Terutama tata bahasa dan banyak kata yang salah ketik”.

”Wah berarti aku menggangu donk....?”. jawab Najma, datar.

”Ah...enggak, malah ada yang nemenin, walau sekedar suaramu”.
”Serius nich?”.

”Bukan hanya serius, kalau boleh bahkan dua atau tiga rius..”. Aqsa kembali tertawa. Untuk berapa saat ada jeda dalam keheningan mereka. Aqsa memulai, “Najma kalau boleh tahu, menurutmu kenapa Allah menciptakan makhluk hidup?”.

“Allah berpuisi dalam hadits qudsi, kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu an u’raf, fa khalaqtu khalqan. Kurang lebih artinya, pada mulanya Aku adalah khazanah kesunyian. Tapi tak elok rasanya Aku terjebak lama dalam kesunyian, maka Ku ciptakanlah makhluk-makhluk itu agar Aku dikenalinya”.”Kemudian, setiap makhluk itu pasti mengalami kebahagiaan dan kesedihan, apakah yang membuat dirimu bahagia di dunia ini?”. Tanya Aqsa kepada Najma.

“Yang membuat aku bahagia adalah ketika aku bisa memberi kebahagiaan kepada orang lain. Emang kenapa, kok aku rasakan pertanyaanmu agak aneh”.

Aqsa tersenyum dengan penuh kegembiraan karena ada celah dan kesempatan untuk mencari tahu bagaimana sikap perempuan.
Kebetulan saat itu sedang hangat-hangatnya kabar infotaiment di televisi bahwa seorang pengasuh pondok pesantren yang terkenal dan kharismatik baru saja melakukan poligami. “Kalau suami kamu nantinya merasa bahagia dengan berpoligami maka apakah kamu juga akan merasa bahagia?”, tanya Aqsa dengan penuh kegirangan.

”Aku tidak setuju tentang itu, yang aku maksud bahagia di sini bukan bahagianya orang yang tertindas”. Kemudian dengan penuh semangat Najma melanjutkan.

“Poligami banyak didasarkan pada Al Qur’an surah An Nisa’. Dan pada hakekatnya semua perbuatan itu adalah mubah hukumnya sebelum ada ketentuan tentang laranganya, termasuk poligami. Namun dari sejarah kita bisa mengambil kesimpulan akan hukumnya. Kita sebaiknya melihat konsep poligami secara integral, mulai asbabun nuzul sampai aplikasi pada Kanjeng Nabi Muhammad. Kalau aku melihat ayat tersebut bukan pada sisi boleh tidaknya poligami tetapi lebih pada batasan maksimal untuk poligami. Di mana pada zaman Arab jahiliyah poligami tidak hanya satu atau dua tetapi puluhan bahkan ratusan. Nah ayat tersebut merupakan batasan maksimal jumlah istri yang dipoligami, yaitu empat orang setelah zaman jahiliyah. Tapi perlu kamu ketahui, di sana ada syarat yang tidak boleh diabaikan, yaitu berlaku adil. Padahal kamu tahukan kalau manusia tidak bisa berlaku adil sebagaimana terdapat dalam Al Quran surah An Nisa’ ayat 129. Aqsa, dalam cinta sejati tidak ada tempat untuk orang ketiga”.

“Najma, bukankah orang tidak bisa dinilai adil kalau dia belum mencobanya?”. Tanya Aqsa untuk memberi legitimasi.

Sambil tersenyum kecut Najma memberi jawaban, “itu hanya apologi kamu untuk mencari sebuah pembenaran atas egoisme laki-laki. Dan perlu kamu ketahui Aqsa, bahwa tidak semuannya bisa seenaknya dicoba-coba untuk mengetahui apa hasilnya, iya kalau masih ada kesempatan sesudahnya, kalau tidak?. Contoh yang paling mudah adalah mati, begitu juga dengan sikap adil”.

“Tapi kenapa Rasulullah melakukan poligami, bukankah itu merupakan sunah, ha…ha…ha…”. Aqsa tertawa terbahak-bahak.

“Aqsa, kita harus memahami mana yang sunah dan mana yang produk budaya. Kita harus melihat latar belakang poligami Rasulullah. Ingat, Rasulullah poligami setelah Khadijah meninggal. Dari sini kita bisa melihat pada hakekatnya Nabi Muhammad berprinsip monogami. Kalaupun Nabi Muhammad berpoligami dengan janda yang sudah tua-tua bahkan ada banyak istri Nabi yang ditawarkan dulu pada sahabatnya, karena para sahabat tidak ada yang bersedia menikahinya maka baru diperistri oleh Nabi sendiri. Dan hanya Siti Aisyah, istri Nabi yang masih gadis saat dinikahinya. Jadi konteks poligami Rasulullah adalah karena kepedulian sosial bukan semata-mata libido atau nafsu belaka. Saya di sini hendak menyebut Muhammad sebagai nabi dan politikus sekaligus. ‘Politikus’ saya maknai sebagai seseorang yang harus berjuang untuk ‘dealing with possibilities’, menghadapi kenyataan konkret yang serbasarat kemungkinan-kemungkinan. Muhammad telah memperlihatkan bukan saja sebagai seorang yang melakukan reformasi moral melalui karier kenabian, tetapi juga reformasi sosial, bahkan politik dan budaya. Dan hal ini pernah dicatat oleh sejarah, dimana Ali Bin Abi Thalib meminta izin pada Rasulullah untuk berpoligami namun dilarang dengan keras. Beliau bahkan mengulangi sampai tiga kali melakukan pernyataan ketidaksetujuannya terhadap niat Ali berpoligami. Sejarah pun kembali mencatat, Ali baru menikah lagi setelah Fatimah wafat. Sebagai Rasul, tentu saja beliau sadar bahwa pembelaan terhadap anak perempuan dan penolakannya yang keras terhadap poligami akan diteladani para ayah dari umatnya. Keberatan Rasul sangat logis dan bahkan sangat manusiawi. Ayah siapa yang rela melihat anak perempuannya dimadu. Berarti di sini Rasulullah berketetapan bahwa hanya perkawinan monogami yang menjanjikan terwujudnya mawaddah wa rahmah (cinta kasih yang tak bertepi), mu'asyarah bi al-ma'ruf (kesantunan dan kesopanan), sa'adah (kebahagiaan) dan sakinah (ketenteraman dan kedamaian). Kemudian dari cara pandang budaya menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Paulo Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa.

Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri, tidak bisa melayani suami dengan baik misalkan. Sekarang aku sarankan jika mau poligami sebaiknya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, harus menunggu istri pertama meninggal terlebih dahulu baru poligami. Itupun harus dengan janda yang tua, miskin dan banyak anaknya, maka sekarang aku rekomendasikan kepada laki-laki bila nantinya mau poligami maka silahkan berpoligami dengan janda korban bencana alam atau korban kerusuhan mei 98 yang ditinggal mati oleh suaminya, maka aku akan salut padanya”. Diikuti tawa oleh Najma. “Nah siapa yang mau berpoligami seperti itu?. Aku melihat semangat yang melatarbelakangi poligami sekarang ini bukan karena itu. Tapi lagi-lagi soal biologis!!!. Lihat saja sudah bisa dipastikan istri kedua lebih muda dari istri yang pertama dan tentunya istri yang kedua kebanyakan juga lebih cantik dan lebih menarik. Aku yakin kalau istri pertama belum tentu digauli sekali dalam satu minggu tapi istri yang muda bisa tiga kali dalam sehari. Karena itu, menejemen qalbu saja ternyata tidak cukup, harus diiringi dengan menejemen syahwat. Ini baru nafkah batin belum nafkah yang lahir. Padahal di sana ada meteri, belanja dan juga perhatian yang kesemuanya harus adil. Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi ‘hak penuh’ laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang. Semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, ‘poligami membawa berkah’, atau ‘poligami itu indah’, dan yang lebih populer adalah ‘poligami itu sunah’, capeek dech…”.

“Jadi begitu ya menurutmu?. Oke, sekarang kita beralih pada topik kepemimpinan. Menurut kamu apa makna Arrijaalu qawwaamuuna ‘ala-n-nisa?”. Aqsa berujar lirih.

“Arrijaalu qawwaamuuna ‘ala-n-nisa,  itu berlaku hanya dalam ranah domestik, laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga. Sedangkan untuk ranah publik maka semua sama. Di mana antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam hal pendidikan, pemerintahan, pekerjaan dan tentunya sosial kultural dalam masyarakat. Dan sekalian aku jelaskan lanjutan ayat tersebut,  karena Allah telah melebihkan sebagian yang lain dari pada sebagian yang lainnya, aku yakin kamu akan menanyakannya. Kelebihan di sini adalah dibebankannya tanggung jawab kepada laki-laki untuk memberi nafkah kepada istri dan anaknya dengan penghargaan sebagai pemimpin rumah tangga. Hal ini setara dengan kewajiban yang dibebankan kepada perempuan di mana dia harus melahirkan dan menyusui. Kewajiban menjadi pemimpin keluarga ini sendiri akan gugur dengan sendirinya bila laki-laki sudah tidak mampu lagi untuk mengemban kepemimpinan itu. Misalkan sakit yang menahun, seperti pikun atau strok mungkin”. Suara Najma berapi-api.

“Terimakasih....jawabanmu menarik. Najma, kamu pingin menikahkan?”.
”Ya jelaslah...karena aku perempuan normal. Emang kenapa?”.

”Bagaimana sikap kamu bila dihadapkan pada beberapa permasalahan menjelang kamu menikah. Misalkan, bila kamu mau menikah tetapi suami kamu mengatakan dengan penuh kejujuran kalau ternyata singgasananya pernah disingahi putri mahkota. Pertama dia mengatakan sebelum menikah maka apakah kamu masih mau menerimanya?. Kedua, dia mengatakan setelah menikah?”.

“Kenapa Aqsa kamu bertanya begitu, jangan-jangan kamu sudah tidak perjaka lagi, he..he..jangan tersinggung lho, ini hanya canda. Jangan dianggap tidak serius”.

“Santai aja Najma, kalaupun aku sudah tidak perjaka cukup istriku saja yang tahu. Bodoh sekali aku bilang-bilang pada kamu. He..he..”. Mereka asyik bercanda mendendangkan dialektika yang mengalun syahdu.

“Eeehhhmmm…”. Agak lama Najma berpikir, “sekarang begini Aqsa, kalau dia mengatakan sebelum menikah dan setelah menikah asalkan dia benar-benar menyesal dan bertaubat, kemudian berjanji untuk tidak mengulangi lagi dan aku pun tidak ragu dengan janjinya maka aku akan menerimanya kembali”.

“Yang bener Najma…Sudah bekas orang lain lho. Padahal dia melakukannya dengan penuh kesadaran sedangkan di satu sisi kamu mati-matian mempertahankan mahkota kamu yang hanya akan kamu berikan dan untuk semata-mata kebahagiaan suami kamu”.

“Aqsa… semua orang mempunyai masa lalu, aku kira alangkah bijaknya kalau kita mau memaafkan dan menerimanya kembali. Bukankah itu yang diajarkan oleh agama kita”.

“Wah…wah…bagus banget”, dengan penuh canda Aqsa berusaha mengejeknya untuk melihat sejauh mana kekuatan prinsip yang dipegang Najma.

“Sekarang begini, kalau kamu telah menikah dengan seorang suami yang selama ini menunjukan semua sikap yang memang menjadi idaman kamu bahkan mungkin menjadi idaman semua perempuan. Akan tetapi pada perjalanan rumah tangga, kamu menemukan suami kamu itu berselingkuh di depan mata kamu, padahal kamu telah mempunyai seorang anak. Bagaimana sikap kamu sebagai seorang istri, apakah tetap akan menerimanya, padahal kamu telah berusaha menjadi istri yang baik, ada kesempatan berselingkuh kamu tidak mengambilnya dikarenakan besarnya cinta dan ketulusan hatimu?”.

“Tentu aku akan marah, namun sebelum itu aku akan bertanya apa latar belakangnya, apakah karena menurutnya aku sudah tidak bisa membahagiakannya, apa karena aku tidak cantik lagi, apa kerena ada sikap aku yang menurutnya tidak baik atau karena apa?”.

“Kalau semua alasan itu ada padamu?”.
“Aku menerimannya”.
“Kalau alasan itu hanya dibuat-buat”.
“Asalkan dia sungguh-sungguh bertaubat maka aku tetap menerimanya”. Jawab Najma tegas.
”He..he...bagus-bagus”.

“Biar adil sekarang giliran aku yang bertanya. Kalau kamu Aqsa, bila dihadapkan pada permasalahan yang sama dengan apa yang kau sampaikan pada aku, apa yang akan kamu lakukan?”.

“Kalau orang yang akan aku nikahi ternyata sudah tidak perawan dan dia mengatakan sebelum menikah, dia menyatakan penyesalan yang mendalam dan sungguh-sungguh berniat untuk memperbaiki diri maka aku akan menerimanya. Kalau dia mengatakan sesudah menikah maka akan aku tanyakan kenapa kok mengatakannya setelah menikah, apa takut akan aku batalkan pernikahan itu atau apa?”.

 “Kalau karena takut akan kamu batalkan?”, Tanya Najma.
“Ya…Akan aku terima bila ada pertimbangan lain”.
”Maksud pertimbangan lain?”.

 ”Maksudku pertimbangan lain adalah mungkin aku sangat cinta sekali padanya dan dia sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri. Kalau tidak ya lebih baik mencari perempuan lain”.

”Kalau cintamu sekedar angin-anginan?”.
”Buat apa ku pertahankan”.

“Nah aku tanya lagi, bila kamu mempunyai istri, di mana istri itu kamu anggap perempuan yang paling perfect yang pernah kamu temukan, kemudian dia berpaling darimu, padahal kamu begitu dalam mencintainya, setiap langkah hidupmu dalam setiap tetesan keringat hanya kamu berikan demi melihatnya bahagia dan kamu selalu menjaga diri karena semata-mata ingin melihatnya tersenyum, tapi ternyata dia melakukan hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang istri bila tidak dengan suaminya, dia melakukan dengan penuh kesadaran tanpa paksaan, apa Aqsa yang akan kamu lakukan?.

“Aku akan meminta kepada istriku agar dia mengambil sikap, memilih aku atau dia”.
 “Kalau memilih dia?”.
“Maka akan aku antarkan dia menuju pelaminan agar yang haram menjadi halal”.
“Kalau istrimu memilih kedua-duanya?”.
“Aku akan memilih mundur dengan teratur sebagai seorang laki-laki, karena bagiku cinta tidak sama dengan keinginan untuk memiliki”.

“Wah..wahh…hebat. Bila dia mengakui kekhilafannya dan ingin kembali padamu untuk menghimpun kembali kepingan hati yang telah tercecer, dengan penuh kesungguhan?”.

Perlahan Aqsa memejamkan mata dan menarik nafas yang dalam lalu dia mengatakan, “aku dengan senang hati menerima dia kembali dan memaafkan semua kesalahannya, namun ada syaratnya”.

“Apa syarat itu?”.
“Aku akan berpoligami”.

Najma sontak terkejut, “kenapa Aqsa kamu mau menerima dia harus dengan syarat mau dipoligami, kenapa kamu tidak memberi pilihan yang seimbang, pilihan yang kamu berikan itu bukan madu atau racun, tapi menurut aku kamu memberi pilihan racun dengan racun?”. Kata poligami adalah kata yang paling Najma benci selama ini. Karena baginya poligami adalah sebuah bentuk penindasan apapun alasannya.

“Itu bukan syarat Najma, apa dia tidak berpikir sedikitpun tentang aku ketika dia melakukan itu dengan orang yang tidak halal baginya. Aku bersungguh-sunguh mempersembahkan seluruh jiwa dan raga ini demi melihatnya tersenyum dan bahagia. Tuhan pun tidak mau diduakan. Dan kenapa dia melakukan dibelakangku, andaikan dia bilang kalau sudah tidak ada cinta lagi yang hendak disemai, maka akan aku persilahkan dia untuk menikah dengan orang yang dia cinta, karena aku sadar bahwa semua manusia berhak untuk memilih dia akan hidup dan menghimpun kebahagiaan dengan siapa”.

“Kalau dia tidak mau kamu madu, Aqsa?”. Tanya Najma dengan penuh penasaran.
 “Aku akan mempersilahkan dia memilih lelaki lain, cukup simpel bukan…he..he..he..Emang perempuan hanya dia di dunia ini. Sekarang giliranku untuk bertanya. Apa makna mahar buatmu?”.

“Kenapa kamu bertanya begitu, kamu keberatan ya memberikannya?”. Najma mencoba membaca alur pikiran Aqsa.
“Jangan salah faham Najma, selama ini aku merasa laki-laki menjadi obyek eksploitasi ekonomi”.
“Kok bisa?”. Tanya Najma.

“Maksudku, kalau nikah itu dilakukan sama-sama suka, sama-sama ikhlas dan dirasakan sama-sama enaknya kenapa laki-laki dibebankan kewajiban untuk membayar mahar?. Menurutku yang baik adalah sebaliknya. Bukankah sebuah anugerah jika perempuan telah laku”.

“Enak aja kamu bilang. Mahar dalam Al Qur’an disebut dengan sadukhatihinna nihlah atau sesuatu pemberian yang dilakukan dengan rela hati. Mahar adalah lambang kecintaan, penghormatan dan penghargaan, bukan sebuah bentuk pembelian. Dan mahar merupakan cermin kesiapan laki-laki untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Karena bersifat pencerminan maka sedikitpun jadi, selama bersifat materi. Seperti yang telah aku kakatakan tempo hari, bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga maka dia mempunyai kewajiban memberi nafkah. Sebagaimana seorang pemimpin negara, dia harus menjamin rakyatnya agar sejahtera. Mahar adalah awal dari sebuah pemberian nafkah yang dilakukan calon suami. Maka ada timbal balik antara hak istimewa yang diberikan kepada suami dengan kewajiban yang dipikulnya. Dan hak istimewa ini juga diberikan pada istri. Bila istri hamil atau menyusui maka boleh dia tidak puasa tapi harus membayar fidyah. Bahkan kalau perempuan haidh maka gugur kewajiban sholatnya. Nah, selama ini terjadi kesalahan pemahaman yang telah turun menurun. Orang banyak melihat bila mahar adalah sebuah bentuk pembelian. Karena sudah dibeli maka mau diperlakukan seperti apapun terserah yang membeli. Jahat sekali, perempuan dianggap seperti barang saja. Aqsa, hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak dengan pihak lain, bukan pula penyerahan diri seseorang kepada orang lain. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Aku masih ingat ketika kamu mengirim sms, kalau Allah menciptakan dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, dua kaki untuk berjalan, tapi kenapa Allah menciptakan satu hati untuk mencintai?. Berarti di sini perlu satu hati yang lain untuk dicintai. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini mengisyaratkan bahwa suami sendiri belum lengkap, istripun demikian. Kamu itu sering sms dengan kalimat-kalimat penuh hikmah, tetapi tidak meresapinya”.

Jawaban Najma membuat rasa ingin tahu Aqsa semakin dalam. ”Terus kapan kamu mau menempuh hidup baru?”.
”Apa maksud kamu dengan hidup baru?”. Tanya Najma untuk menggali maksud Aqsa lebih dalam.
”Ya..menikah lah...”.

“Aqsa…boleh aku mengoreksi istilah yang kamu gunakan. Karena aku kurang sepakat kalau istilah menikah diganti dengan menempuh hidup baru”.
“Ok..silahkan”.

“Aqsa…kalimat selamat menempuh hidup baru!, memang itu adalah ucapan umum untuk setiap pasangan yang baru memasuki gerbang pernikahan. Gerbang yang di amini banyak orang sebagai pintu menuju kehidupan baru yang diharapkan lebih menyenangkan. Kenapa harus baru?, haruskah kita berubah menjadi seseorang yang lain setelah memutuskan untuk hidup bersama orang lain?. Ucapan itu haruslah dikoreksi, tak harus menjadi baru dalam pengertian sikap, perilaku dan penampilan. Karena pernikahan bukanlah pengabdian, apalagi akhir dari sebuah kebebasan. Pernikahan, bagi Said Jawdat, lebih kurang sama dengan agama. Ia tidak akan tumbuh dan mekar dengan cara-cara paksaan, tidak hidup dan bersemi dari represi. Ia justru tumbuh dengan adanya perbuatan baik (ihsân). Sejarah membuktikan, para tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya dengan cara-cara  represi akan terjerembab, dan pernikahan sebagaimana keimanan atau kekufuran, selamanya tidak akan bisa dipaksa. Pernikahan adalah penyatuan dua karakter berbeda untuk bisa saling mengerti, mengasihi dan memahami perbedaan yang ada diantara keduanya. Dan bukan untuk merubah salah satunya. Apalagi dengan mahkota 'kepala rumah tangga' yang terlanjur disandang kaum pria. Tapi perempuan bukanlah cinderella yang baru bisa menikah setelah lelah mencari sepatu kacanya yang disimpan pangeran antah berantah. Sekali lagi atas nama cinta. Menikah memang harus bermaterei pemerintah dan bersegel agama, tapi yang tidak kalah penting dari semua itu harus lah ada legalisasi cinta yang tumbuh tulus di antara keduanya. Bukan intimidasi sepihak, apalagi ada label 'jual beli' di mana pihak perempuan selalu jadi subjek penderita. Zaman sudah berubah. Hidup bersama, memutuskan bersama dan saling menopang ketika badai melanda, sehingga bebanpun terbagi merata. Menyedihkan sekali melihat seseorang yang berubah setelah ditinggal oleh pasangannya. Kembali sibuk membuka cermin dirinya yang sengaja disimpan ketika hidup dengan seseorang yang menginginkannya untuk tampil dan bersikap sesuai selera pasangannya. Menyenangkan kah itu?.

Manusia adalah manusia dan tak ada seorang manusiapun yang mau diperlakukan seperti boneka. Mencintai seseorang bukan untuk merubahnya tapi membantunya untuk semakin menemukan jati dirinya. Semakin memperkuat sayap kebebasan tuk meraih impian-impiannya yang tertunda. Dan berdecak tulus saat prestasi diraih melebihi apa yang tergambar di angannya. Membantu penuh cinta dan ketulusan saat kegagalan tengah melingkari garis nasibnya. Itulah kehidupan baru yang sesungguhnya. Terakhir aku ingin menjawab pertanyaanmu, yang jelas aku tidak akan menikah dengan laki-laki penindas perempuan”.

Mendengar semua jawaban itu Aqsa bengong dan terkesima. Dia mendapatkan sebuah jawaban yang mengesankan yang belum pernah dia dapatkan. Sebuah prespektif lain yang lahir dari sudut pandang yang berbeda. Tak terasa suara adzan mulai berkumandang. ”Najma, terimakasih ya...telah mau berbagi. Tapi maaf bagaimana kalau diskusi yang menarik ini kita lanjutkan lain kali. Sekarang aku mau tidur dulu karena nanti jam delapan aku harus munaqosyah[1]”.

”Oke...eh bagaimana rasanya mau munaqosyah?”.
”Rasanya seperti orang mau menikah, he...”.
”Ah...kamu bisa aja. Kayak orang pernah menikah”.
”Hee..he...assalamu’alaikum”. Klik.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Ujian pendadaran skripsi

*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
                                 Mahasiswa Doktor di Shanghai University

0 Comments



Leave a Reply.

    Picture

    KARYA FIKSI

    Berisi hasil karya dan tulisan tentang karya fiksi, baik berupa Cerpen maupun Novel

    Categories

    All

    RSS Feed

    Archives

    December 2019
    November 2019
    October 2019

BERANDA
BERITA     
WAWASAN
  

REPORTASE NETIZEN
​OPINI NETIZEN
AGENDA
GALERI
POLING ARTIKEL FAVORITE
Flag Counter
Picture
​

PCIM TIONGKOK
kabarmutiongkok.org
Di Dukung Oleh BPTI UHAMKA