Luruh
Oleh: Anang Masduki*
Tibalah pada saat Aqsa dan Najma janjikan. Hari itu Aqsa berbeda dengan biasanya. Dia memberikan perhatian yang lebih terhadap semua penampilannya. Lama sekali dia berada dalam kamar mandi. Disisirnya dengan rapi rambutnya dan dipakainya pelembab kulit. Aqsa mulai menjadi korban iklan. Di depan cermin lama dia perhatikan wajahnya, rasa syukur tak henti-hentinya dia ucapkan karena tidak ada satupun jerawat yang tumbuh. Dia bersihkan bulu kumisnya dan dia rapikan jampangnya. Tidak ada satu orangpun yang tahu alasan Aqsa memelihara jampang. Kiranya biar dipangil akhy atau ikhwan, semua serba mungkin. Selesai berhias dia bersihkan motor bututnya. Motor butut pemberian kakaknya bulan lalu. Terlihat betul kebiasaan orang yang rajin dengan orang yang pemalas. Sudah rapi dan terlihat cakep kemudian membersihkan motor. Seharusnya bukankah sebaliknya, membersihkan motor sebelum mandi dan berhias. Melihat pemandangan itu Pranoto tertawa lirih dengan mengejek. Bagaimana tidak tertawa, parfum bercampur dengan keringat. Selesai membersihkan motor Aqsa dan Pranoto bergegas menuju kos Asty yang jaraknya tidak jauh dari kos Aqsa. Di sana telah menunggu Najma dan Asty. Kemudian mereka bergegas menuju pantai Depok. Aqsa mengajak mereka jalan-jalan karena mungkin setelah wisuda akan pergi meninggalkan Jogjakarta. Aqsa berboncengan dengan Pranoto adapun Najma berboncengan dengan Asty.
Mereka langsung menuju arah selatan menyusuri jalan Timoho, sesampainya di pertigaan selatan kantor Balai Kota Jogjakarta mengambil kanan. Terus saja dia menyusuri jalan Kusuma Negara, lewat depan Puro Paku Alaman. Setelah jembatan Sayidan, mereka belok ke selatan. Jokteng wetan[1] wetan mereka lalui, masuklah jalan Parangtritis. Dalam perjalanan, tepatnya di jalan Parangtritis km 24, dekat jembatan kali Opak tiba-tiba ban belakang motor Aqsa kempes. Aqsa merasa sedikit gelisah, dia khawatir akan merusak suasana. Melihat Aqsa dan Pranoto berhenti, Najma mengikutinya. Sambil menahan rasa kesal dalam hati, Aqsa mendorong motor bututnya. Adapun Pranoto sibuk mendorong dari belakang. ”Ufh...parfum yang melekat di badan berubah jadi kecut nih”.
Setelah mendapatkan tempat penambalan ban, Aqsa meminta tukang tambal ban melihat kondisi ban belakangnya. Ternyata ada tiga yang bocor. Aqsa merasa binggung karena uang sakunya mepet, maklumlah tanggal tua. Hampir satu jam mereka menunggu. Setelah semua beres, merekapun melanjutkan perjalanan menuju pantai Depok. Rasa khawatir mulai terasa lagi oleh Aqsa, “Yaa…Allah, semoga sisa uang ini cukup untuk tidak membuat raut muka ini malu”. Mungkin sudah menjadi hal yang biasa, bila manusia merasa ingat dan butuh akan perhatian Sang Sutradara kehidupan bila merasa pada posisi sulit dan terjepit.
Di tempat retribusi Aqsa mengeluarkan uang lagi untuk empat orang. Selesai memarkir kendaraan, memudian mereka berempat lari dengan riangnya. Dari kejauhan tampak pantai itu cukup ramai dengan pengunjung. Banyak juga muda-mudi dengan kekasihnya yang sedang dilanda kesenangan sesaat.
Sore itu pantai Depok memang tidak seperti biasanya. Kebetulan angin dan ombak laut cukup bersahabat, saat itulah musim panennya para nelayan. Setiap kapal nelayan yang menepi, keluarga mereka berbondong-bondong menghampiri berlarian untuk melihat hasil tangkapan. Wajah mereka berseri-seri. Dengan cekatan mereka bergegas membawa ikan hasil tangkapan itu pada gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu. Disitulah tempat pelelangan ikan terbesar di Jogjakarta. Tempat di mana semua hasil tangkapan dipasarkan. Ada yang dijual mentahan, ada yang dimasak bahkan ada juga ikan yang dijual setelah dikeringkan. Mereka berempat lama berjalan-jalan dipinggir pantai, disela-sela gubug yang satu menuju gubung yang lain guna melihat hasil kekayaan samudera negeri ini. Terbersit dalam hati mereka rasa aneh, kenapa bisa negeri sekaya ini tetapi rakyatnya masih banyak yang miskin. Mungkin tepat sebuah ibarat, tikus mati di lumbung padi, menurut mereka. Ingin sekali Aqsa beli udang yang sudah digoreng, karena warnanya yang kemerah-merahan. Namun ketika meraba dompetnya yang tipis maka yang bisa Aqsa lakukan hanyalah bersedih hati. Merasa puas telah mengamati dan berkeliling melihat hasil tangkapan para nelayan, mereka berlarian menuju tepi pantai.
Desiran air laut bergemerisik menciptakan narasi yang merasuk ke dalam jiwa. Bersamaan dengan daun-daun kelapa yang meliuk-liuk menyapa. Burung camar menuju peraduan sambil asyik mendendangkan lagu pertanda syukur. Hati menjadi guru bijak dan memberi tahu bahwa ada selera agung di balik keserasian yang maha dalam kini tergelar luas pada semesta. Selera agung yang transendental terhadap segala cita karsa manusia dan karena keagungannya manusia diminta runduk oleh suara bening di dalam jiwa.Aqsa mendekati kapal milik nelayan yang ditambatkan di bibir pantai. Dia mencoba melihat jauh ke depan untuk menjangkau batas hamparan pantai yang terbentang luas. Dia mencoba mengaitkan dengan apa yang sedang melanda hatinya. Timbul pertanyaan dalam diri Aqsa, kenapa rasa itu datang ketika mau meninggalkan Jogjakarta. Kenapa guratan syair yang mengalun indah, mendengangkan irama kedamaian dan kebahagiaan datang di saat episode pertama mulai berakhir. Desah Aqsa diiringi nafas panjang.
Akhir-akhir ini memang setiap malam menjelang, Aqsa merasa matanya sulit untuk diajak kerjasama walau rasa kantuk telah mendera. Perasaannya gelisah, pikirannya tak jelas apa yang dipikirkannya. Dia merasa malu pada Pranoto.
Ketika titik jernih mulai mengembang dalam hati Aqsa, ada suara memanggilnya dari belakang, “Allafsana, kamu merenung apa?”. Agak terkejut Aqsa mendengar suara yang dikenalnya betul. Mereka duduk sama-sama menghadap ke pantai, agak berjauhan. Adapun Asty dan Pranoto sibuk menikmati pemandangan sambil berjalan menuju pantai.
“He…he..tidak merenung apa-apa Anjali.”. Dalam hati Aqsa mengatakan, “kamu tidak pernah paham Najma, apa yang telah terjadi dengan hati ini”. Aqsa mulai kebingungan bagaimana harus bersikap. Memang tidak biasanya, dengan siapapun Aqsa bergaul tidak pernah membuatnya merasa tertekan, underpresser baik itu laki-laki atau perempuan. Aqsa sendiri heran, Aqsa mempunyai banyak sekali teman perempuan dan tidak ada satupun yang membuat psikologisnya tertekan. Dan lebih sering dia membuat prempuan yang menjadi tertekan. Namun mulai saat ini, mulai detik ini psikologis Aqsa memasuki babak kehidupan yang baru, seorang laki-laki yang bernama Aqsa di hadapan seorang perempuan yang bernama Najma seperti kerbau dicolok hidungnya, Aqsa mati kutu, tubuhnya bergetar, bulu kudunya berdiri, keringat dinginya keluar. Ada sesuatu yang mengalir dalam aliran darahnya, sesuatu yang terasa sejuk, sesuatu yang mendamaikan. Yang bergejolak kuat, indah, mendebarkan dan tak bisa diutarakan dalam bahasa apapun. Ini menjadi sebuah pertanda bahwa telah terjadi revolusi di dalam hati Aqsa.
“Allafsana, setiap kamu ada sesuatu selalu berbagi dengan aku, kenapa sekarang kamu tidak mau membaginya?”. Tanya Najma kembali sambil menatap wajah Aqsa.
Keberanian Aqsa untuk menatap wajah Najma luluh lantak. Wajah lembut Najma yang basah oleh keringat, seperti embun dipermukaan kaca. Sejujurnya, melihat wajah Najma, Aqsa tak sanggup mengatasi keanggunan pada level yang sangat tinggi. Aqsa merasa bahwa Najma tercipta bukan untuknya. Aqsa malu karena merasa tak pantas. Bagi Aqsa, Najma seperti seorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan Aqsa, tak lebih hanya pengisi data dan nama dari buku simfhoninya yang akan terlupakan keesokan harinya. Aura yang dipancarkan Najma membuat Aqsa tak lebih dari boneka kain bekas yang jenaka, yang membuat kumbang-kumbang nakal tak berani muncul lagi. Namun jujur, dalam lubuk jiwanya yang dalam, yang sangat dalam, yang terdalam terasa begitu nyaman, terasa begitu damai dan terasa begitu tenang bila berada di dekat Najma. Setenang air sungai manakala menyentuh kedalaman samudra.
“Anjali, besok sabtu aku akan wisuda, setelahnya aku tidak tahu akan kemana”. Aqsa mencoba mengalihkan dan memberi legitimasi atas sikapnya karena merasa kelihatan bodoh dan bingung atas kondisi hati dan jiwanya sendiri. Namun Najma ternyata tahu kalau itu adalah kata untuk mencoba mengalihkan tema pembicaraan.
“Ah..enggak percaya, setahuku Allafsana adalah orang yang periang, suka membuat joke-joke untuk mencairkan suasana, suka membuat orang lain tertawa. Aku tidak percaya, pasti ada permasalahan yang sedang kamu hadapi. Kalau kamu tidak keberatan untuk berbagi, aku siap untuk mendengarnya”. Papar Najma dengan harapan Aqsa bisa tenang dan bersikap wajar.
Dengan berusaha melempar senyuman Aqsa berkata lirih, “memang telah terjadi sesuatu, mohon maaf Anjali saya belum bisa mengatakannya padamu. Nanti bila sudah saatnya pastilah aku akan mengatakannya, aku akan berbagi dan bercerita denganmu”.
“Oke..ya sudah kalau tidak mau cerita sekarang, tapi lain kali cerita ya”.
Aqsa hanya menganguk sambil tersenyum. Najma melanjutkan, ”Allafsana maaf ya, kayaknya besok saat wisudamu aku tidak bisa datang”.
”Emang ada acara apa?”.
”Emmmm ada dech. Pokoknya maafin ya jika nanti tidak bisa datang”.
Mendengar jawaban itu Aqsa terdiam. Aqsa sendiri tidak tahu kenapa kedatangan Najma saat wisudanya nanti merupakan satu hal yang spesial baginya.
Cukup lama mereka di pantai. Rasa puas melihat keindahan matahari tengelam telah terpenuhi, mereka berempat segera mencari mushola. Mereka tunaikan sholat magrib lalu bergegas pulang. Gurat-gurat wajah mereka menampakan kegembiraan dan kepuasan kecuali Aqsa. Aqsa merasa ada sesuatu yang berat dan besar terhampar dalam cerita hidupnya kedepan.
Merasa perut mulai melilit, Aqsa mengajak makan di angkringan[2] dekat kos Asty. Mereka memesan nasi dan gorengan bakar. Ketika sedang menikmati makan nasi angkringan Najma berkata, “Allafsana, maafkan aku kalau aku besok tidak datang di wisuda kamu, sekali lagi maafkan ya”.
“Anjali…Aku sangat berharap kamu bisa datang, tapi kalau kamu ada kemauan untuk datang dan aku tidak ingin kamu melakukan apa yang tidak ada di dalam hatimu. Tidak adil Anjali, ketika aku punya sedikit saja kesusahan selalu berbagi dengan kamu tetapi ketika aku punya banyak kebahagiaan tidak mau berbagi dengan kamu”. Dengan penuh harap Aqsa mendesah panjang. Aqsa merasa sedih sekali, karena Najma minta maaf tidak bisa datang diwisudanya sudah tiga kali, tetapi di sisi lain Aqsa berharap kedatangan Najma bukan karena terpaksa, kalau merasa terpaksa lebih baik tidak usah datang. Aqsa berharap Najma bisa belajar dari hal yang kecil, karena Aqsa mencoba berpikir jauh bahwa kalau suatu saat nanti Aqsa mengatakan rasa yang ada di dalam dada, meskipun diterima kalau terpaksa maka memilih tidak diterima.
Selesai makan, Aqsa buru-buru mengambil dompet, khawatir tidak cukup Aqsa berbisik pada Pranoto. Besar harapan Aqsa, Pranoto membawa uang yang banyak, namun ternyata Pranoto hanya membawa uang yang cukup untuk satu kali makan. Aqsa langsung menuju penjual angkringan untuk membayar. Dengan sangat terpaksa Aqsa memberanikan diri minta tolong pada penjual untuk hutang, penjual angkringan itu cukup berjiwa muda dan bisa memahami kondisi mahasiswa. Aqsa merasa senang, karena tidak menanggung malu di depan perempuan yang baginya sangat spesial. Setelah menyerahkan buku novel yang berjudul Amina, Aqsa dan Najma berpisah diiringi Pranoto dan Asty.
Tanpa Aqsa sadari, di kos telah menunggu Erna, Friska dan Nadya. Aqsa tidak pernah menduga kalau mereka bertiga akan datang, namun dicobanya untuk bersikap tenang. Tampak wajah ketiga perempuan itu sembab. Aqsa mencoba menyapa mereka. Entah siapa yang memulai, mereka bertengkar habis-habisan karena tahu Aqsa main ke pantai dengan perempuan baru. Mereka tahu dari Pakde Karno, bapak kos Aqsa. Erna, Friska dan Nadya menangis tak tertahankan, mereka merasa menjadi bahan permainan Aqsa selama ini.
Jamal, Anton, Maymoto, Benjol dan teman-teman kos Aqsa pada sembunyi, karena tidak mau ikut terlibat. Pranoto segera menyusul. Mereka berkumpul di kamar Jamal. Dengan suara setengah berbisik Jamal bilang, “dasar laki-laki buaya, sudah dibilangin berkali-kali juga tidak digubris, baru tahu rasa sekarang”.
Anton menyambung, “kenapa Mal, kamu iri ya, yang salah itu ya perempuannya, sudah tahu buaya dikadalin”.
“Yang salah ya semuanya, yang laki-laki playboy dan yang perempuan juga terlalu mudah takluk oleh rayuan”. Sahut Maymoto mencoba bijaksana.
Sementara di luar, Aqsa bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuat, dalam kondisi yang kalut Aqsa mengambil keputusan secara sepihak untuk memutus tali kasih di antara mereka selama ini. Dan hal itu juga Aqsa lakukan kepada Lusi. Jelaslah dengan nyata keempat perempuan itu patah hati dalam waktu yang bersamaan. Haruskah untuk menegakkan cinta, mengorbankan cinta yang lain?.
***
Beberapa hari berlalu, seperti biasanya, kos Aqsa memang hidup duapuluh empat jam. Ada yang mengerjakan skripsi, ada yang main kartu, dan ada yang suka main gitar. Dan sebuah pemandangan yang unik bila malam minggu datang. Mereka tidak ada yang keluar untuk apel atau kencan, kecuali Aqsa. Mereka semua adalah laki-laki jojoba atau jomblo-jomblo bahagia. Setelah pertengkaran Aqsa dengan semua pacarnya, mereka berkumpul untuk membahasnya. Aqsa berucap, “mereka pantas mendapatkannya, memang sejak awal aku tidak pernah ada rasa suka dengan mereka”.
“Lalu kenapa Aqsa kamu berpacaran dengan mereka, bukankah kamu yang merayunya, berusaha mendapatkannya dan yang mengatakan rasa cinta dulu. Kalau seperti ini menyakitkan untuk mereka”. Tanya Jamal. Anton, Maymoto dan Pranoto menatap Aqsa dengan penuh penasaran.
“Bukankah sebuah kebanggaan bila laki-laki mampu menaklukan hati perempuan, dan perlu kamu ketahui Jamal, sebagian mereka yang mendahului. Selain itu aku juga merasa enak, makan ada yang traktir, sakit ada yang merawat, sedih ada yang menghibur. Aku yakin kamu pasti punya keinginan yang sama denganku”.
“Berarti selama ini kamu hanya memanfaatkan mereka, dan akhirnya berujung menyakiti mereka?”. Papar Maymoto.
“Kejam sekali kau Aqsa. Ternyata kekerasan tidak hanya terjadi dalam rumahtangga, dalam pacaranpun terjadi kekerasan”. Sambut Anton.
“Aqsa, kau tidak berpikir bagaimana jika kamu mempunyai anak perempuan terus diperlakukan oleh seorang lelaki sebagaimana kamu telah memperlakukan terhadap mereka. Setelah habis sari-sarinya, kau tinggalkan dalam keadaan layu”. Pranoto menambahkan.
Mendengar ucapan itu Aqsa terdiam, dia bergegas pergi kekamar. Dia rebahkan badannya, namun tak juga mata mau terpejam. Malam itu Aqsa tidak bisa tidur. Dia baca satu persatu semua tulisan yang bertebaran di dinding kamarnya. Melintas wajah perempuan lembut, cerdas, bersahaja, lucu, tegas dan pemberani. Wajah yang memiliki hati qurrotaa’yun. Kemudian teringat semua kelakuan bejatnya. Rasa khawatir mulai menyapu segenap relung hatinya, bagaimana jika itu semua menimpa keluarga, saudara atau bahkan anak perempuanya esok. Aqsa merasa ada sesuatu yang salah dalam mata rantai kehidupannya. Lama Aqsa duduk terdiam. Mulai dia merenung, dan mencoba bermuhasabah. Aqsa mengawali dengan mencoba memaafkan diri sendiri dengan meyakini bahwa kisah hidupnya selama ini muncul tidak dari konteks eksistensialisme substansial, melainkan ujian akan struktur dan konstruksi keimanannya. Kuat menerpa keinginannya untuk mengevaluasi ulang parameter-parameter nilai keimanan dan nilai kehidupan. Dicobanya memetakan anatomi nilai-nilai itu. Melintas dalam pikirannya kalimat Betrand Russel, yang pernah dia diskusikan sewaktu masih awal-awal menjadi mahasiswa. ”Kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih jelek dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah dan menyatakan pemandangan di muka kita itu ‘indah’ atau ‘buruk’. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai”. Muncullah berbagai pertanyaan, yang mana dan siapa kepala, yang mana dan siapa tangan, kaki, otak, nurani dan kelamin. Apakah yang primer itu akal atau nurani, ataukah kelamin?. Yang menjadi tolok ukur ketaqwaan itu apakah prestasi akal, pencapaian estetika dan nurani atau uforia nafsu belaka?.
Dalam hening malam yang sunyi, yang hanya bertemankan hembusan angin, terlihat sebuah pemandangan yang indah, sebuah adegan yang menakjubkan dan jarang terjadi sebelumnya. Aqsa bersimpuh, bersujud, meratap, menangis, menyesal atas semua dosa-dosanya. Sejarah telah memaksa Aqsa untuk khusyuk tersungkur mencium mayapada. Dia lakukan sholat tahajud, sholat hajad, taubatan nasuha dan sholat witir. Berkali-kali dia baca istighfar dan berkali-kali pula dia mengucap, ”maafkan anakmu Ibu...maafkan anakmu...sungguh maafkanlah..”.
Tuhan mentakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Perlahan tapi pasti pandangan Aqsa terhadap perempuan mulai berubah. Seiring dengan tumbuhnya sebuah rasa. Rasa yang tidak ada satupun terminologi mampu menjabarkannya. Dalam hatinya berucap, “tiada seorangpun yang bisa mencapai kedalaman dalam kesendirianku di mana kukuburkan kejahatanku, andaikan suatu saat engkau tahu biarlah itu menjadi pelajaran bahwasannya aku -orang yang sangat mencintaimu- pernah hidup dalam kehidupanku yang hitam bersimbah berpeluhkan dosa.”. Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzalimin...
Keesokan harinya, Aqsa bergegas menemui Erna, Friska dan Nadya. Aqsa meratap dihadapan mereka dengan hati yang serendah-rendahnya demi satu kata, yaitu kata “maaf” dari mereka. Ya..kata maaf. Kata yang sangat mudah untuk diucapkan namun berat untuk diwujudkan. Aqsa merasa akan menyesal seumur hidup bila semua perilakunya selama ini belum diikhlaskan. Cukup manis memori yang terukir menjadi sejarah antara mereka bertiga masing-masing dengan Aqsa. Sehingga cukup berat rasanya luka yang ditorehkan. Aqsa tidak merasa putus asa, berganti hari, berganti minggu bahkan berganti bulan Aqsa terus berusaha tanpa ada sedikitpun rasa lelah. Bahkan Aqsa meluangkan waktu khusus untuk pulang menemui Lusi, mengklarifikasi dan meminta maafnya. Lambat laun mereka menerima permintaan maaf Aqsa, namun entah dalam hati mereka. Namun insyaallah tulus.
________________________________________________________________________________________________
[1] Pojok Beteng sebelah timur
[2] Warung makan yang mangkal di pingir jalan dengan menggunakan gerobak. Menu spesial adalah nasi kucing (nasi dengan lauk kering tempe dan sambal teri dibungkus kecil-kecil. Biasanya seharga Rp. 1000).
Mereka langsung menuju arah selatan menyusuri jalan Timoho, sesampainya di pertigaan selatan kantor Balai Kota Jogjakarta mengambil kanan. Terus saja dia menyusuri jalan Kusuma Negara, lewat depan Puro Paku Alaman. Setelah jembatan Sayidan, mereka belok ke selatan. Jokteng wetan[1] wetan mereka lalui, masuklah jalan Parangtritis. Dalam perjalanan, tepatnya di jalan Parangtritis km 24, dekat jembatan kali Opak tiba-tiba ban belakang motor Aqsa kempes. Aqsa merasa sedikit gelisah, dia khawatir akan merusak suasana. Melihat Aqsa dan Pranoto berhenti, Najma mengikutinya. Sambil menahan rasa kesal dalam hati, Aqsa mendorong motor bututnya. Adapun Pranoto sibuk mendorong dari belakang. ”Ufh...parfum yang melekat di badan berubah jadi kecut nih”.
Setelah mendapatkan tempat penambalan ban, Aqsa meminta tukang tambal ban melihat kondisi ban belakangnya. Ternyata ada tiga yang bocor. Aqsa merasa binggung karena uang sakunya mepet, maklumlah tanggal tua. Hampir satu jam mereka menunggu. Setelah semua beres, merekapun melanjutkan perjalanan menuju pantai Depok. Rasa khawatir mulai terasa lagi oleh Aqsa, “Yaa…Allah, semoga sisa uang ini cukup untuk tidak membuat raut muka ini malu”. Mungkin sudah menjadi hal yang biasa, bila manusia merasa ingat dan butuh akan perhatian Sang Sutradara kehidupan bila merasa pada posisi sulit dan terjepit.
Di tempat retribusi Aqsa mengeluarkan uang lagi untuk empat orang. Selesai memarkir kendaraan, memudian mereka berempat lari dengan riangnya. Dari kejauhan tampak pantai itu cukup ramai dengan pengunjung. Banyak juga muda-mudi dengan kekasihnya yang sedang dilanda kesenangan sesaat.
Sore itu pantai Depok memang tidak seperti biasanya. Kebetulan angin dan ombak laut cukup bersahabat, saat itulah musim panennya para nelayan. Setiap kapal nelayan yang menepi, keluarga mereka berbondong-bondong menghampiri berlarian untuk melihat hasil tangkapan. Wajah mereka berseri-seri. Dengan cekatan mereka bergegas membawa ikan hasil tangkapan itu pada gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu. Disitulah tempat pelelangan ikan terbesar di Jogjakarta. Tempat di mana semua hasil tangkapan dipasarkan. Ada yang dijual mentahan, ada yang dimasak bahkan ada juga ikan yang dijual setelah dikeringkan. Mereka berempat lama berjalan-jalan dipinggir pantai, disela-sela gubug yang satu menuju gubung yang lain guna melihat hasil kekayaan samudera negeri ini. Terbersit dalam hati mereka rasa aneh, kenapa bisa negeri sekaya ini tetapi rakyatnya masih banyak yang miskin. Mungkin tepat sebuah ibarat, tikus mati di lumbung padi, menurut mereka. Ingin sekali Aqsa beli udang yang sudah digoreng, karena warnanya yang kemerah-merahan. Namun ketika meraba dompetnya yang tipis maka yang bisa Aqsa lakukan hanyalah bersedih hati. Merasa puas telah mengamati dan berkeliling melihat hasil tangkapan para nelayan, mereka berlarian menuju tepi pantai.
Desiran air laut bergemerisik menciptakan narasi yang merasuk ke dalam jiwa. Bersamaan dengan daun-daun kelapa yang meliuk-liuk menyapa. Burung camar menuju peraduan sambil asyik mendendangkan lagu pertanda syukur. Hati menjadi guru bijak dan memberi tahu bahwa ada selera agung di balik keserasian yang maha dalam kini tergelar luas pada semesta. Selera agung yang transendental terhadap segala cita karsa manusia dan karena keagungannya manusia diminta runduk oleh suara bening di dalam jiwa.Aqsa mendekati kapal milik nelayan yang ditambatkan di bibir pantai. Dia mencoba melihat jauh ke depan untuk menjangkau batas hamparan pantai yang terbentang luas. Dia mencoba mengaitkan dengan apa yang sedang melanda hatinya. Timbul pertanyaan dalam diri Aqsa, kenapa rasa itu datang ketika mau meninggalkan Jogjakarta. Kenapa guratan syair yang mengalun indah, mendengangkan irama kedamaian dan kebahagiaan datang di saat episode pertama mulai berakhir. Desah Aqsa diiringi nafas panjang.
Akhir-akhir ini memang setiap malam menjelang, Aqsa merasa matanya sulit untuk diajak kerjasama walau rasa kantuk telah mendera. Perasaannya gelisah, pikirannya tak jelas apa yang dipikirkannya. Dia merasa malu pada Pranoto.
Ketika titik jernih mulai mengembang dalam hati Aqsa, ada suara memanggilnya dari belakang, “Allafsana, kamu merenung apa?”. Agak terkejut Aqsa mendengar suara yang dikenalnya betul. Mereka duduk sama-sama menghadap ke pantai, agak berjauhan. Adapun Asty dan Pranoto sibuk menikmati pemandangan sambil berjalan menuju pantai.
“He…he..tidak merenung apa-apa Anjali.”. Dalam hati Aqsa mengatakan, “kamu tidak pernah paham Najma, apa yang telah terjadi dengan hati ini”. Aqsa mulai kebingungan bagaimana harus bersikap. Memang tidak biasanya, dengan siapapun Aqsa bergaul tidak pernah membuatnya merasa tertekan, underpresser baik itu laki-laki atau perempuan. Aqsa sendiri heran, Aqsa mempunyai banyak sekali teman perempuan dan tidak ada satupun yang membuat psikologisnya tertekan. Dan lebih sering dia membuat prempuan yang menjadi tertekan. Namun mulai saat ini, mulai detik ini psikologis Aqsa memasuki babak kehidupan yang baru, seorang laki-laki yang bernama Aqsa di hadapan seorang perempuan yang bernama Najma seperti kerbau dicolok hidungnya, Aqsa mati kutu, tubuhnya bergetar, bulu kudunya berdiri, keringat dinginya keluar. Ada sesuatu yang mengalir dalam aliran darahnya, sesuatu yang terasa sejuk, sesuatu yang mendamaikan. Yang bergejolak kuat, indah, mendebarkan dan tak bisa diutarakan dalam bahasa apapun. Ini menjadi sebuah pertanda bahwa telah terjadi revolusi di dalam hati Aqsa.
“Allafsana, setiap kamu ada sesuatu selalu berbagi dengan aku, kenapa sekarang kamu tidak mau membaginya?”. Tanya Najma kembali sambil menatap wajah Aqsa.
Keberanian Aqsa untuk menatap wajah Najma luluh lantak. Wajah lembut Najma yang basah oleh keringat, seperti embun dipermukaan kaca. Sejujurnya, melihat wajah Najma, Aqsa tak sanggup mengatasi keanggunan pada level yang sangat tinggi. Aqsa merasa bahwa Najma tercipta bukan untuknya. Aqsa malu karena merasa tak pantas. Bagi Aqsa, Najma seperti seorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan Aqsa, tak lebih hanya pengisi data dan nama dari buku simfhoninya yang akan terlupakan keesokan harinya. Aura yang dipancarkan Najma membuat Aqsa tak lebih dari boneka kain bekas yang jenaka, yang membuat kumbang-kumbang nakal tak berani muncul lagi. Namun jujur, dalam lubuk jiwanya yang dalam, yang sangat dalam, yang terdalam terasa begitu nyaman, terasa begitu damai dan terasa begitu tenang bila berada di dekat Najma. Setenang air sungai manakala menyentuh kedalaman samudra.
“Anjali, besok sabtu aku akan wisuda, setelahnya aku tidak tahu akan kemana”. Aqsa mencoba mengalihkan dan memberi legitimasi atas sikapnya karena merasa kelihatan bodoh dan bingung atas kondisi hati dan jiwanya sendiri. Namun Najma ternyata tahu kalau itu adalah kata untuk mencoba mengalihkan tema pembicaraan.
“Ah..enggak percaya, setahuku Allafsana adalah orang yang periang, suka membuat joke-joke untuk mencairkan suasana, suka membuat orang lain tertawa. Aku tidak percaya, pasti ada permasalahan yang sedang kamu hadapi. Kalau kamu tidak keberatan untuk berbagi, aku siap untuk mendengarnya”. Papar Najma dengan harapan Aqsa bisa tenang dan bersikap wajar.
Dengan berusaha melempar senyuman Aqsa berkata lirih, “memang telah terjadi sesuatu, mohon maaf Anjali saya belum bisa mengatakannya padamu. Nanti bila sudah saatnya pastilah aku akan mengatakannya, aku akan berbagi dan bercerita denganmu”.
“Oke..ya sudah kalau tidak mau cerita sekarang, tapi lain kali cerita ya”.
Aqsa hanya menganguk sambil tersenyum. Najma melanjutkan, ”Allafsana maaf ya, kayaknya besok saat wisudamu aku tidak bisa datang”.
”Emang ada acara apa?”.
”Emmmm ada dech. Pokoknya maafin ya jika nanti tidak bisa datang”.
Mendengar jawaban itu Aqsa terdiam. Aqsa sendiri tidak tahu kenapa kedatangan Najma saat wisudanya nanti merupakan satu hal yang spesial baginya.
Cukup lama mereka di pantai. Rasa puas melihat keindahan matahari tengelam telah terpenuhi, mereka berempat segera mencari mushola. Mereka tunaikan sholat magrib lalu bergegas pulang. Gurat-gurat wajah mereka menampakan kegembiraan dan kepuasan kecuali Aqsa. Aqsa merasa ada sesuatu yang berat dan besar terhampar dalam cerita hidupnya kedepan.
Merasa perut mulai melilit, Aqsa mengajak makan di angkringan[2] dekat kos Asty. Mereka memesan nasi dan gorengan bakar. Ketika sedang menikmati makan nasi angkringan Najma berkata, “Allafsana, maafkan aku kalau aku besok tidak datang di wisuda kamu, sekali lagi maafkan ya”.
“Anjali…Aku sangat berharap kamu bisa datang, tapi kalau kamu ada kemauan untuk datang dan aku tidak ingin kamu melakukan apa yang tidak ada di dalam hatimu. Tidak adil Anjali, ketika aku punya sedikit saja kesusahan selalu berbagi dengan kamu tetapi ketika aku punya banyak kebahagiaan tidak mau berbagi dengan kamu”. Dengan penuh harap Aqsa mendesah panjang. Aqsa merasa sedih sekali, karena Najma minta maaf tidak bisa datang diwisudanya sudah tiga kali, tetapi di sisi lain Aqsa berharap kedatangan Najma bukan karena terpaksa, kalau merasa terpaksa lebih baik tidak usah datang. Aqsa berharap Najma bisa belajar dari hal yang kecil, karena Aqsa mencoba berpikir jauh bahwa kalau suatu saat nanti Aqsa mengatakan rasa yang ada di dalam dada, meskipun diterima kalau terpaksa maka memilih tidak diterima.
Selesai makan, Aqsa buru-buru mengambil dompet, khawatir tidak cukup Aqsa berbisik pada Pranoto. Besar harapan Aqsa, Pranoto membawa uang yang banyak, namun ternyata Pranoto hanya membawa uang yang cukup untuk satu kali makan. Aqsa langsung menuju penjual angkringan untuk membayar. Dengan sangat terpaksa Aqsa memberanikan diri minta tolong pada penjual untuk hutang, penjual angkringan itu cukup berjiwa muda dan bisa memahami kondisi mahasiswa. Aqsa merasa senang, karena tidak menanggung malu di depan perempuan yang baginya sangat spesial. Setelah menyerahkan buku novel yang berjudul Amina, Aqsa dan Najma berpisah diiringi Pranoto dan Asty.
Tanpa Aqsa sadari, di kos telah menunggu Erna, Friska dan Nadya. Aqsa tidak pernah menduga kalau mereka bertiga akan datang, namun dicobanya untuk bersikap tenang. Tampak wajah ketiga perempuan itu sembab. Aqsa mencoba menyapa mereka. Entah siapa yang memulai, mereka bertengkar habis-habisan karena tahu Aqsa main ke pantai dengan perempuan baru. Mereka tahu dari Pakde Karno, bapak kos Aqsa. Erna, Friska dan Nadya menangis tak tertahankan, mereka merasa menjadi bahan permainan Aqsa selama ini.
Jamal, Anton, Maymoto, Benjol dan teman-teman kos Aqsa pada sembunyi, karena tidak mau ikut terlibat. Pranoto segera menyusul. Mereka berkumpul di kamar Jamal. Dengan suara setengah berbisik Jamal bilang, “dasar laki-laki buaya, sudah dibilangin berkali-kali juga tidak digubris, baru tahu rasa sekarang”.
Anton menyambung, “kenapa Mal, kamu iri ya, yang salah itu ya perempuannya, sudah tahu buaya dikadalin”.
“Yang salah ya semuanya, yang laki-laki playboy dan yang perempuan juga terlalu mudah takluk oleh rayuan”. Sahut Maymoto mencoba bijaksana.
Sementara di luar, Aqsa bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuat, dalam kondisi yang kalut Aqsa mengambil keputusan secara sepihak untuk memutus tali kasih di antara mereka selama ini. Dan hal itu juga Aqsa lakukan kepada Lusi. Jelaslah dengan nyata keempat perempuan itu patah hati dalam waktu yang bersamaan. Haruskah untuk menegakkan cinta, mengorbankan cinta yang lain?.
***
Beberapa hari berlalu, seperti biasanya, kos Aqsa memang hidup duapuluh empat jam. Ada yang mengerjakan skripsi, ada yang main kartu, dan ada yang suka main gitar. Dan sebuah pemandangan yang unik bila malam minggu datang. Mereka tidak ada yang keluar untuk apel atau kencan, kecuali Aqsa. Mereka semua adalah laki-laki jojoba atau jomblo-jomblo bahagia. Setelah pertengkaran Aqsa dengan semua pacarnya, mereka berkumpul untuk membahasnya. Aqsa berucap, “mereka pantas mendapatkannya, memang sejak awal aku tidak pernah ada rasa suka dengan mereka”.
“Lalu kenapa Aqsa kamu berpacaran dengan mereka, bukankah kamu yang merayunya, berusaha mendapatkannya dan yang mengatakan rasa cinta dulu. Kalau seperti ini menyakitkan untuk mereka”. Tanya Jamal. Anton, Maymoto dan Pranoto menatap Aqsa dengan penuh penasaran.
“Bukankah sebuah kebanggaan bila laki-laki mampu menaklukan hati perempuan, dan perlu kamu ketahui Jamal, sebagian mereka yang mendahului. Selain itu aku juga merasa enak, makan ada yang traktir, sakit ada yang merawat, sedih ada yang menghibur. Aku yakin kamu pasti punya keinginan yang sama denganku”.
“Berarti selama ini kamu hanya memanfaatkan mereka, dan akhirnya berujung menyakiti mereka?”. Papar Maymoto.
“Kejam sekali kau Aqsa. Ternyata kekerasan tidak hanya terjadi dalam rumahtangga, dalam pacaranpun terjadi kekerasan”. Sambut Anton.
“Aqsa, kau tidak berpikir bagaimana jika kamu mempunyai anak perempuan terus diperlakukan oleh seorang lelaki sebagaimana kamu telah memperlakukan terhadap mereka. Setelah habis sari-sarinya, kau tinggalkan dalam keadaan layu”. Pranoto menambahkan.
Mendengar ucapan itu Aqsa terdiam, dia bergegas pergi kekamar. Dia rebahkan badannya, namun tak juga mata mau terpejam. Malam itu Aqsa tidak bisa tidur. Dia baca satu persatu semua tulisan yang bertebaran di dinding kamarnya. Melintas wajah perempuan lembut, cerdas, bersahaja, lucu, tegas dan pemberani. Wajah yang memiliki hati qurrotaa’yun. Kemudian teringat semua kelakuan bejatnya. Rasa khawatir mulai menyapu segenap relung hatinya, bagaimana jika itu semua menimpa keluarga, saudara atau bahkan anak perempuanya esok. Aqsa merasa ada sesuatu yang salah dalam mata rantai kehidupannya. Lama Aqsa duduk terdiam. Mulai dia merenung, dan mencoba bermuhasabah. Aqsa mengawali dengan mencoba memaafkan diri sendiri dengan meyakini bahwa kisah hidupnya selama ini muncul tidak dari konteks eksistensialisme substansial, melainkan ujian akan struktur dan konstruksi keimanannya. Kuat menerpa keinginannya untuk mengevaluasi ulang parameter-parameter nilai keimanan dan nilai kehidupan. Dicobanya memetakan anatomi nilai-nilai itu. Melintas dalam pikirannya kalimat Betrand Russel, yang pernah dia diskusikan sewaktu masih awal-awal menjadi mahasiswa. ”Kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih jelek dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah dan menyatakan pemandangan di muka kita itu ‘indah’ atau ‘buruk’. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai”. Muncullah berbagai pertanyaan, yang mana dan siapa kepala, yang mana dan siapa tangan, kaki, otak, nurani dan kelamin. Apakah yang primer itu akal atau nurani, ataukah kelamin?. Yang menjadi tolok ukur ketaqwaan itu apakah prestasi akal, pencapaian estetika dan nurani atau uforia nafsu belaka?.
Dalam hening malam yang sunyi, yang hanya bertemankan hembusan angin, terlihat sebuah pemandangan yang indah, sebuah adegan yang menakjubkan dan jarang terjadi sebelumnya. Aqsa bersimpuh, bersujud, meratap, menangis, menyesal atas semua dosa-dosanya. Sejarah telah memaksa Aqsa untuk khusyuk tersungkur mencium mayapada. Dia lakukan sholat tahajud, sholat hajad, taubatan nasuha dan sholat witir. Berkali-kali dia baca istighfar dan berkali-kali pula dia mengucap, ”maafkan anakmu Ibu...maafkan anakmu...sungguh maafkanlah..”.
Tuhan mentakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Perlahan tapi pasti pandangan Aqsa terhadap perempuan mulai berubah. Seiring dengan tumbuhnya sebuah rasa. Rasa yang tidak ada satupun terminologi mampu menjabarkannya. Dalam hatinya berucap, “tiada seorangpun yang bisa mencapai kedalaman dalam kesendirianku di mana kukuburkan kejahatanku, andaikan suatu saat engkau tahu biarlah itu menjadi pelajaran bahwasannya aku -orang yang sangat mencintaimu- pernah hidup dalam kehidupanku yang hitam bersimbah berpeluhkan dosa.”. Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzalimin...
Keesokan harinya, Aqsa bergegas menemui Erna, Friska dan Nadya. Aqsa meratap dihadapan mereka dengan hati yang serendah-rendahnya demi satu kata, yaitu kata “maaf” dari mereka. Ya..kata maaf. Kata yang sangat mudah untuk diucapkan namun berat untuk diwujudkan. Aqsa merasa akan menyesal seumur hidup bila semua perilakunya selama ini belum diikhlaskan. Cukup manis memori yang terukir menjadi sejarah antara mereka bertiga masing-masing dengan Aqsa. Sehingga cukup berat rasanya luka yang ditorehkan. Aqsa tidak merasa putus asa, berganti hari, berganti minggu bahkan berganti bulan Aqsa terus berusaha tanpa ada sedikitpun rasa lelah. Bahkan Aqsa meluangkan waktu khusus untuk pulang menemui Lusi, mengklarifikasi dan meminta maafnya. Lambat laun mereka menerima permintaan maaf Aqsa, namun entah dalam hati mereka. Namun insyaallah tulus.
________________________________________________________________________________________________
[1] Pojok Beteng sebelah timur
[2] Warung makan yang mangkal di pingir jalan dengan menggunakan gerobak. Menu spesial adalah nasi kucing (nasi dengan lauk kering tempe dan sambal teri dibungkus kecil-kecil. Biasanya seharga Rp. 1000).
*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Mahasiswa Doktor di Shanghai University