Paripurna
Oleh: Anang Masduki*
Hari yang ditunggu-tunggu oleh Aqsa selama kurang lebih empat tahun tiba. Aqsa bangun pagi-pagi sekali. Dia telah mandi dan bersiap untuk menunggu keluarganya datang. Hari itu adalah saat yang membahagiakan bagi Aqsa dan keluarganya. Karena Aqsa akan diwisuda dan sebentar lagi menjadi seorang sarjana.Di balik baju wisuda, dipakainya hem bergaris putih, berwarna dasar merah muda. Kenapa memilih merah muda, hanya Aqsa yang memahaminya. Dipakainya dasi hasil pinjam dari pakde Karno. Jamal, Anton dan Maymoto ikut sibuk juga hari itu.Sebuah mobil parkir di depan kos Aqsa. Dalam mobil itu ada seorang Ibu Kus, Mbah Dul, lalu kakak Aqsa yaitu Iqbal, Ni’mah, Ira terakhir bulek Etik yang merupakan adik bungsu Ibu Kus. Adapun adiknya tidak bisa ikut karena masih belajar di pondok pesantren dan kuliah. Aqsa menyambutnya dengan penuh kegirangan.
Keluarga itu sangat gembira melihat Aqsa bisa wisuda. Terutama ibu Kus. Betapa tidak bahagia, beliau seorang janda yang ditinggal meninggal oleh suaminya dengan warisan empat orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan. Ketika suami ibu Kus meninggal keempat putranya masih menempuh study. Iqbal yang kuliah di jurusan teknik Universitas orange di Malang, Aqsa yang kuliah di jurusan aqidah filsafat di kampus putih Jogjakarta, Husna Kuliah di kampus oranye Malang mengambil jurusan psikologi dan Khadafi yang masih nyantri di pondok modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Adapun tiga kakak bernama Ni’mah, Ira dan Roni telah berkeluarga. Ni’mah dan Ira tinggal tidak jauh dari rumah ibu Kus, adapun Roni tinggal di Solo.
Bukan perjuangan mudah yang dialami oleh ibu Kus. Beliau tidak pernah absen puasa Nabi Daud untuk tirakat dan menghemat pengeluaran guna dapat mengirim uang bulanan pada Iqbal, Aqsa, Husna dan Khadafi. Kemudian tak henti-hentinya setiap sepertiga malam yang terakhir bersimpuh untuk mendoakan putra-putrinya. Ibu Kus mengucap rasa syukur yang teramat sangat, dengan berbekal uang pensiunan bulanan dari almarhum suami dan sepetak sawah bisa menkuliahkan tiga orang anak.
Ketika musim tanam tiba, ibu Kus setelah subuh harus berangkat ke sawah untuk menanam. Berturut-turut dilanjutkan dengan menyebar pupuk, mengambil rumput yang menjadi penganggu, membuat saluran air. Bila waktu panen tiba biasanya beliau meminta orang lain untuk memanen karena tenaganya sudah tidak kuat lagi. Selesai di panen dan dikeluarkan zakatnya baru di jemur. Sangat kasihan bila melihat Ibu Kus menjemur namun tiba-tiba turun hujan. Dengan amat tergesa-gesa padi itu berusaha dia masukan dalam karung. Terkadang padi yang belum kering telah basah lagi.
Disela-sela mengerjakan sawah, ibu Kus menyempatkan membuat es lilin. Es lilin itu dititipkan kepada penjual jajanan yang berada di sekolah-sekolah atau dibawanya ke pasar. Dari penghasilan jual es lilin itu digunakannya untuk kebutuhan makan sehari-hari. Walau terkadang bila musim penghujan ibu Kus terpaksa tidak membuat es lagi. Semua itu dilakukannya dengan penuh keikhlasan, belum pernah sekalipun perempuan itu mengeluh. Yang ada hanya rasa syukur dengan harapan semua putranya mengenyam pendidikan yang tinggi. Kini beban hidup itu mulai berkurang karena tinggal satu lagi tanggung jawab menyekolahkan, yaitu Khadafi, anak terakhirnya.
Ada satu lagi yang tidak boleh terlewatkan. Semenjak suaminya meninggal, Ibu Kus selalu menyempatkan diri untuk membaca dan membaca. Mulai dari buku sastra, baik itu novel, cerpen atau sajak-sajak. Buku-buku beliau dapatkan dari perpustakaan milik karang taruna. Berhubung keterbatasan uang untuk berlangganan koran, maka setiap pagi bila hendak kepasar sengaja beliau melewati jalan memutar agar bisa lewat depan balai desa. Di sana disempatkannya berhenti sebentar untuk membaca koran. Bahkan walau dengan berat hati beliau harus rela meninggalkan kesukaannya selama ini untuk melihat senetron dan mengantinya dengan berita ataupun dialog. Senantiasa beliau menyempatkan untuk menghadiri pengajian atau majelis ta’lim di kampungnya. Perempuan itu sadar betul bahwa dengan pendidikannya yang hanya tamat SMA, maka beliau harus banyak meningkatkan pengetahuan dan wawasannya untuk mengimbangi wawasan putra-putrinya. Begitu harapnya. Selama ini yang menjadi teman diskusi dari kesemua putra-putrinya adalah suaminnya, sekarang suaminnya telah tiada. Maka ibu Kus ingin mengantikan posisi suaminya sebagai tempat berdiskusi. Dengan banyak membaca maka bila berdiskusi tentunya juga akan nyambung.
Senyum mengembang pada semua orang yang berkumpul di multipurpose kampus putih. Terutama wajah mereka yang mengenakan pakaian panjang phitam lengkap dengan topi toga. Mereka berbaris rapi, satu persatu mulai memasuki ruangan. Lagu Indonesia Raya dan hymne kampus putih berkumandang menyambut para intelektual bangsa. Aqsa sama sekali tidak memperhatikan prosesi wisuda. Saat dibacakan siapa wisudawan yang lulus terbaik, kesan pesan dari wakil mahasiswa dan dosen, bahkan sampai amanat wisuda oleh bapak rektor, semuanya Aqsa lewatkan tanpa sedikitpun ada rasa tertarik untuk mendengarnya. Yang ada dalam benaknya hanyalah harapan. Harapan akan kedatangan Najma. Memang cukup banyak teman Aqsa saat wisuda membawa pendamping. Ada yang telah bersetatus istri atau suami maupun sekedar calon. Bahkan banyak di antara mereka yang sengaja cepat-cepat membuat komitmen untuk berpacaran demi adanya seorang pendamping dalam wisuda. Karena niat hanya untuk mencari pendamping wisuda, maka selesai wisuda komitmennya dalam pacaran juga selesai.
Prosesi wisuda berakhir, terlihat jelas kegelisahan pada wajah Aqsa. Dilihatnya jam yang ada di tangan kirinya. Hari telah menjelang siang, semua teman Aqsa dari kelas, dari komunitas dan dari organisasi ekstra telah datang untuk mengucapkan selamat atau hanya untuk sekedar bersenag-senang dengan berfoto ria. Namun tidak nampak wajah Najma yang telah lama dia harapkan untuk datang, padahal Asty sejak para wisudawan belum masuk ruangan telah datang untuk memberi selamat. Ketika Aqsa bertemu Asty, dia menyarankan Aqsa untuk menghubungi Najma. Akan tetapi jawab Aqsa, “aku tidak akan memintanya lagi, karena kemarin aku telah memintanya. Dan aku ingin dia datang dengan penuh kesadaran tanpa adanya rasa keterpaksaan”. Dalam hati Aqsa, besar sekali harapan akan kehadiran Najma. Dia ingin Najma melihat keluarganya yang sederhana dan apa adanya. Di sisi lain Aqsa juga ingin keluarganya mengetahui Najma, dengan harapan bila suatu saat ada keputusan besar dalam hidup, keluarganya mengetahui dan bisa memberi sebuah pertimbangan.
Sangat jelas terbaca oleh Asty rasa harap-harap cemas tergurat pada wajah Aqsa. Asty merasa kasihan melihat Aqsa, “akan banyak kendala yang kamu lalui Aqsa bila benar kamu suka pada Najma”, desah Asty. Sampai semua mahasiswa yang diwisuda dan keluarganya telah meninggalkan gedung Multipurpose, Aqsa masih sabar menanti kedatangan Najma, dia duduk di bawah pohon beringin. Bahkan keluarga Aqsa telah pergi dulu menuju Pakem, tempat kakak sepupu Aqsa untuk bersilaturahmi. Aqsa masih tetap terpaku. Kekecewaan tidak bisa dibendung, harapan tinggal harapan, bagai dedaunan yang meranggas berguguran. Namun apa arti sebuah kekecewaan, karena datang dan tidaknya Najma adalah hak perogratif Najma. Mereka tidak ada ikatan yang bisa membuat dosa atau salah pada Najma bila dia tidak datang.
Dalam ketermanguan, di tengah-tengah rasa sedih yang menyelimuti hatinya datang menghampiri Aqsa tiga orang perempuan dengan pakaian press body dengan tutup kepala di mana kebanyakan orang menamai jilbab gaul. “Selamat ya mas Aqsa telah diwisuda”, sapa perempuan yang terlihat paling cerah dipandang sambil mengulurkan tangan.
Aqsa sedikit canggung, namun demi menghindari kekecewaan dia sambut uluran tangan itu, “terimakasih ya Ulinnuha dan teman-teman”, sambut Aqsa dengan pikiran terbayang pada mantan-mantan kekasihnya. Karena Ulinnuha memang cantik, bahkan level kecantikannya melebihi semua mantan kekasihnya bila diperbandingkan.
“Perkenalkan mas, ini Umi dan Wiwik. Dia teman satu kelas dan juga satu kos saya. Umi, Wiwik kenalkan, beliau mas Aqsa, kakak kelas kita”. Lanjut Ulinnuha.
“Saya Aqsa, jawab Aqsa ramah.
“Wah..selamat juga ya mas. Ngomong-ngomong semester berapa mas Aqsa lulus?”. Umi mencoba mengakrabkan diri.
“Alhamdulillah…tepat waktu, delapan semester lebih satu bulan”.
Melihat pemandangan lekuk tubuh yang terlihat jelas, Aqsa melihat sosok mantan-mantan pacarnya ada pada diri Ulinnuha. Merasa kurang nyaman Aqsa segera minta izin pulang ke kos untuk menyusul keluarganya di Pakem, jl. Kaliurang km. 14,5.
Sementara itu Najma sejak pagi berdiam diri di rumahnya. Ada rasa ragu-ragu yang teramat sangat untuk datang melihat wisuda Aqsa. Selesai sholat dzuhur dikirimnya sms, “Allafsana, sudah selesai belum wisudanya?, aku mau kesana”.
Dengan menahan rasa sedikit jengkel Aqsa membalas, “maaf sudah selesai, kalau mau datang aja ketempat kakak sepupuku di Pakem. Keluargaku santai kok”. Lama sekali Aqsa menunggu balasan, namun tak jua kunjung datang.
***
Selepas wisuda Aqsa tidak langsung pulang melainkan tetap tinggal di Jogjakarta. Mau pulang juga ngapain pikirnya, mending tetap di Jogjakarta untuk mencari pekerjaan, apalagi dorongan untuk melanjutkan S2 sangat tinggi. Toh ibu Kus juga telah memberi izin. Saat itu mungkin saat yang paling sulit bagi Aqsa dan semua mahasiswa yang post study. Pekerjaan…Ya, pekerjaan yang membuat kepala seakan berputar bagaikan baling-baling pesawat. Akan lebih mudah sebenarnya bila Aqsa masih berpacaran dengan Erna, Nadya maupun Friska. Karena dia selalu mencukupi kebutuhan untuk hidup dan bahkan kebutuhan study. Sesekali Aqsa masih teringat akan mereka. Begitu kasihan mereka semua, bersit hati Aqsa.
Kurang lebih selama tiga bulan Aqsa hidup dari pekerjaan serabutan, karena malu untuk meminta kiriman dari rumah. Kadang bekerja sebagai makelar komputer, dengan membeli komputer yang rusak diperbaiki kemudian dijualnya dan bila sore bekerja di toko handphon. Selama itu Aqsa tetap mengajukan lamaran pekerjaan baik pada LSM maupun perusahaan yang membuka lowongan. Selama itu pula dia masih aktif di organisasi kemahasiswaan, sambil menunggu selesainya kepengurusan pada level kabupaten.
Kalau boleh jujur, sebenarnya bukan masalah pekerjaan yang membuat Aqsa memutuskan tetap di Jogjakarta, bukan pula masalah keaktifan di organisasi pergerakan. Karena pekerjaan dan menjadi aktivis dapat dicari dan dilakukan di mana saja. Yang membuat Aqsa ingin tetap tinggal adalah adanya pengharapan yang besar akan sebuah mimpi. Dan mimpi itu hanya ada di Jogjakarta. Mimpi itu ada pada Najma.
Allahlah yang menjadikan matahari dan memberinya cahaya.
Allahlah yang menumbuhkan bunga dan memberinya wangi.
Allahlah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa.
Allah pula yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan.
Allah pula yang menjadikan hati dan memberinya cinta.
Keluarga itu sangat gembira melihat Aqsa bisa wisuda. Terutama ibu Kus. Betapa tidak bahagia, beliau seorang janda yang ditinggal meninggal oleh suaminya dengan warisan empat orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan. Ketika suami ibu Kus meninggal keempat putranya masih menempuh study. Iqbal yang kuliah di jurusan teknik Universitas orange di Malang, Aqsa yang kuliah di jurusan aqidah filsafat di kampus putih Jogjakarta, Husna Kuliah di kampus oranye Malang mengambil jurusan psikologi dan Khadafi yang masih nyantri di pondok modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Adapun tiga kakak bernama Ni’mah, Ira dan Roni telah berkeluarga. Ni’mah dan Ira tinggal tidak jauh dari rumah ibu Kus, adapun Roni tinggal di Solo.
Bukan perjuangan mudah yang dialami oleh ibu Kus. Beliau tidak pernah absen puasa Nabi Daud untuk tirakat dan menghemat pengeluaran guna dapat mengirim uang bulanan pada Iqbal, Aqsa, Husna dan Khadafi. Kemudian tak henti-hentinya setiap sepertiga malam yang terakhir bersimpuh untuk mendoakan putra-putrinya. Ibu Kus mengucap rasa syukur yang teramat sangat, dengan berbekal uang pensiunan bulanan dari almarhum suami dan sepetak sawah bisa menkuliahkan tiga orang anak.
Ketika musim tanam tiba, ibu Kus setelah subuh harus berangkat ke sawah untuk menanam. Berturut-turut dilanjutkan dengan menyebar pupuk, mengambil rumput yang menjadi penganggu, membuat saluran air. Bila waktu panen tiba biasanya beliau meminta orang lain untuk memanen karena tenaganya sudah tidak kuat lagi. Selesai di panen dan dikeluarkan zakatnya baru di jemur. Sangat kasihan bila melihat Ibu Kus menjemur namun tiba-tiba turun hujan. Dengan amat tergesa-gesa padi itu berusaha dia masukan dalam karung. Terkadang padi yang belum kering telah basah lagi.
Disela-sela mengerjakan sawah, ibu Kus menyempatkan membuat es lilin. Es lilin itu dititipkan kepada penjual jajanan yang berada di sekolah-sekolah atau dibawanya ke pasar. Dari penghasilan jual es lilin itu digunakannya untuk kebutuhan makan sehari-hari. Walau terkadang bila musim penghujan ibu Kus terpaksa tidak membuat es lagi. Semua itu dilakukannya dengan penuh keikhlasan, belum pernah sekalipun perempuan itu mengeluh. Yang ada hanya rasa syukur dengan harapan semua putranya mengenyam pendidikan yang tinggi. Kini beban hidup itu mulai berkurang karena tinggal satu lagi tanggung jawab menyekolahkan, yaitu Khadafi, anak terakhirnya.
Ada satu lagi yang tidak boleh terlewatkan. Semenjak suaminya meninggal, Ibu Kus selalu menyempatkan diri untuk membaca dan membaca. Mulai dari buku sastra, baik itu novel, cerpen atau sajak-sajak. Buku-buku beliau dapatkan dari perpustakaan milik karang taruna. Berhubung keterbatasan uang untuk berlangganan koran, maka setiap pagi bila hendak kepasar sengaja beliau melewati jalan memutar agar bisa lewat depan balai desa. Di sana disempatkannya berhenti sebentar untuk membaca koran. Bahkan walau dengan berat hati beliau harus rela meninggalkan kesukaannya selama ini untuk melihat senetron dan mengantinya dengan berita ataupun dialog. Senantiasa beliau menyempatkan untuk menghadiri pengajian atau majelis ta’lim di kampungnya. Perempuan itu sadar betul bahwa dengan pendidikannya yang hanya tamat SMA, maka beliau harus banyak meningkatkan pengetahuan dan wawasannya untuk mengimbangi wawasan putra-putrinya. Begitu harapnya. Selama ini yang menjadi teman diskusi dari kesemua putra-putrinya adalah suaminnya, sekarang suaminnya telah tiada. Maka ibu Kus ingin mengantikan posisi suaminya sebagai tempat berdiskusi. Dengan banyak membaca maka bila berdiskusi tentunya juga akan nyambung.
Senyum mengembang pada semua orang yang berkumpul di multipurpose kampus putih. Terutama wajah mereka yang mengenakan pakaian panjang phitam lengkap dengan topi toga. Mereka berbaris rapi, satu persatu mulai memasuki ruangan. Lagu Indonesia Raya dan hymne kampus putih berkumandang menyambut para intelektual bangsa. Aqsa sama sekali tidak memperhatikan prosesi wisuda. Saat dibacakan siapa wisudawan yang lulus terbaik, kesan pesan dari wakil mahasiswa dan dosen, bahkan sampai amanat wisuda oleh bapak rektor, semuanya Aqsa lewatkan tanpa sedikitpun ada rasa tertarik untuk mendengarnya. Yang ada dalam benaknya hanyalah harapan. Harapan akan kedatangan Najma. Memang cukup banyak teman Aqsa saat wisuda membawa pendamping. Ada yang telah bersetatus istri atau suami maupun sekedar calon. Bahkan banyak di antara mereka yang sengaja cepat-cepat membuat komitmen untuk berpacaran demi adanya seorang pendamping dalam wisuda. Karena niat hanya untuk mencari pendamping wisuda, maka selesai wisuda komitmennya dalam pacaran juga selesai.
Prosesi wisuda berakhir, terlihat jelas kegelisahan pada wajah Aqsa. Dilihatnya jam yang ada di tangan kirinya. Hari telah menjelang siang, semua teman Aqsa dari kelas, dari komunitas dan dari organisasi ekstra telah datang untuk mengucapkan selamat atau hanya untuk sekedar bersenag-senang dengan berfoto ria. Namun tidak nampak wajah Najma yang telah lama dia harapkan untuk datang, padahal Asty sejak para wisudawan belum masuk ruangan telah datang untuk memberi selamat. Ketika Aqsa bertemu Asty, dia menyarankan Aqsa untuk menghubungi Najma. Akan tetapi jawab Aqsa, “aku tidak akan memintanya lagi, karena kemarin aku telah memintanya. Dan aku ingin dia datang dengan penuh kesadaran tanpa adanya rasa keterpaksaan”. Dalam hati Aqsa, besar sekali harapan akan kehadiran Najma. Dia ingin Najma melihat keluarganya yang sederhana dan apa adanya. Di sisi lain Aqsa juga ingin keluarganya mengetahui Najma, dengan harapan bila suatu saat ada keputusan besar dalam hidup, keluarganya mengetahui dan bisa memberi sebuah pertimbangan.
Sangat jelas terbaca oleh Asty rasa harap-harap cemas tergurat pada wajah Aqsa. Asty merasa kasihan melihat Aqsa, “akan banyak kendala yang kamu lalui Aqsa bila benar kamu suka pada Najma”, desah Asty. Sampai semua mahasiswa yang diwisuda dan keluarganya telah meninggalkan gedung Multipurpose, Aqsa masih sabar menanti kedatangan Najma, dia duduk di bawah pohon beringin. Bahkan keluarga Aqsa telah pergi dulu menuju Pakem, tempat kakak sepupu Aqsa untuk bersilaturahmi. Aqsa masih tetap terpaku. Kekecewaan tidak bisa dibendung, harapan tinggal harapan, bagai dedaunan yang meranggas berguguran. Namun apa arti sebuah kekecewaan, karena datang dan tidaknya Najma adalah hak perogratif Najma. Mereka tidak ada ikatan yang bisa membuat dosa atau salah pada Najma bila dia tidak datang.
Dalam ketermanguan, di tengah-tengah rasa sedih yang menyelimuti hatinya datang menghampiri Aqsa tiga orang perempuan dengan pakaian press body dengan tutup kepala di mana kebanyakan orang menamai jilbab gaul. “Selamat ya mas Aqsa telah diwisuda”, sapa perempuan yang terlihat paling cerah dipandang sambil mengulurkan tangan.
Aqsa sedikit canggung, namun demi menghindari kekecewaan dia sambut uluran tangan itu, “terimakasih ya Ulinnuha dan teman-teman”, sambut Aqsa dengan pikiran terbayang pada mantan-mantan kekasihnya. Karena Ulinnuha memang cantik, bahkan level kecantikannya melebihi semua mantan kekasihnya bila diperbandingkan.
“Perkenalkan mas, ini Umi dan Wiwik. Dia teman satu kelas dan juga satu kos saya. Umi, Wiwik kenalkan, beliau mas Aqsa, kakak kelas kita”. Lanjut Ulinnuha.
“Saya Aqsa, jawab Aqsa ramah.
“Wah..selamat juga ya mas. Ngomong-ngomong semester berapa mas Aqsa lulus?”. Umi mencoba mengakrabkan diri.
“Alhamdulillah…tepat waktu, delapan semester lebih satu bulan”.
Melihat pemandangan lekuk tubuh yang terlihat jelas, Aqsa melihat sosok mantan-mantan pacarnya ada pada diri Ulinnuha. Merasa kurang nyaman Aqsa segera minta izin pulang ke kos untuk menyusul keluarganya di Pakem, jl. Kaliurang km. 14,5.
Sementara itu Najma sejak pagi berdiam diri di rumahnya. Ada rasa ragu-ragu yang teramat sangat untuk datang melihat wisuda Aqsa. Selesai sholat dzuhur dikirimnya sms, “Allafsana, sudah selesai belum wisudanya?, aku mau kesana”.
Dengan menahan rasa sedikit jengkel Aqsa membalas, “maaf sudah selesai, kalau mau datang aja ketempat kakak sepupuku di Pakem. Keluargaku santai kok”. Lama sekali Aqsa menunggu balasan, namun tak jua kunjung datang.
***
Selepas wisuda Aqsa tidak langsung pulang melainkan tetap tinggal di Jogjakarta. Mau pulang juga ngapain pikirnya, mending tetap di Jogjakarta untuk mencari pekerjaan, apalagi dorongan untuk melanjutkan S2 sangat tinggi. Toh ibu Kus juga telah memberi izin. Saat itu mungkin saat yang paling sulit bagi Aqsa dan semua mahasiswa yang post study. Pekerjaan…Ya, pekerjaan yang membuat kepala seakan berputar bagaikan baling-baling pesawat. Akan lebih mudah sebenarnya bila Aqsa masih berpacaran dengan Erna, Nadya maupun Friska. Karena dia selalu mencukupi kebutuhan untuk hidup dan bahkan kebutuhan study. Sesekali Aqsa masih teringat akan mereka. Begitu kasihan mereka semua, bersit hati Aqsa.
Kurang lebih selama tiga bulan Aqsa hidup dari pekerjaan serabutan, karena malu untuk meminta kiriman dari rumah. Kadang bekerja sebagai makelar komputer, dengan membeli komputer yang rusak diperbaiki kemudian dijualnya dan bila sore bekerja di toko handphon. Selama itu Aqsa tetap mengajukan lamaran pekerjaan baik pada LSM maupun perusahaan yang membuka lowongan. Selama itu pula dia masih aktif di organisasi kemahasiswaan, sambil menunggu selesainya kepengurusan pada level kabupaten.
Kalau boleh jujur, sebenarnya bukan masalah pekerjaan yang membuat Aqsa memutuskan tetap di Jogjakarta, bukan pula masalah keaktifan di organisasi pergerakan. Karena pekerjaan dan menjadi aktivis dapat dicari dan dilakukan di mana saja. Yang membuat Aqsa ingin tetap tinggal adalah adanya pengharapan yang besar akan sebuah mimpi. Dan mimpi itu hanya ada di Jogjakarta. Mimpi itu ada pada Najma.
Allahlah yang menjadikan matahari dan memberinya cahaya.
Allahlah yang menumbuhkan bunga dan memberinya wangi.
Allahlah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa.
Allah pula yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan.
Allah pula yang menjadikan hati dan memberinya cinta.
__________________________________________________________________________
*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Mahasiswa Doktor di Shanghai University
*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Mahasiswa Doktor di Shanghai University