Kabar Mu Tiongkok
Temukan Kami di Sosial Media :
  • Beranda
  • Berita
  • Wawasan
  • Risalah Netizen
    • Refleksi Netizen
    • Reportase Netizen
    • Opini Netizen
    • Romadhan di Tiongkok
    • GongXi-Tiongkok
  • Aktivitas
    • School Of Journalism
    • Agenda
    • Lomba Foto >
      • form-lomba-foto
      • Poling Lomba Foto
    • Polling Puisi Favorite >
      • Puisi Favorite 2018
    • Polling
    • Lomba Ramadhan >
      • Pemenang Lomba
      • Polling Video-Favorite
  • Tamadun
    • Karya Fiksi
    • Galeri Foto
    • Karya Video
    • Karya Puisi
    • Kantin Kartini
  • Kontak Kami
  • Organisasi
  • Muhibah Ukuwah
    • NANJING >
      • Poling Lomba Foto Nanjing
      • Foto Ukuwah Nanjing
    • HANGZHOU >
      • Pooling Lomba Foto Hangzhou
      • Foto Ukhuwah Hangzhou
    • SHANGHAI >
      • Foto Ukhuwah Shanghai
  • Tiongkonomi
  • Kemitraan
    • UHAMKA - Pengantar TI
    • UHAMKA - Etika Profesi
    • UHAMKA - Digital Sistem
    • UHAMKA - Praktikum Digital

Paripurna

17/12/2019

0 Comments

 
Picture

Paripurna

Oleh: Anang Masduki*
Hari yang ditunggu-tunggu oleh Aqsa selama kurang lebih empat tahun tiba. Aqsa bangun pagi-pagi sekali. Dia telah mandi dan bersiap untuk menunggu keluarganya datang. Hari itu adalah saat yang membahagiakan bagi Aqsa dan keluarganya. Karena Aqsa akan diwisuda dan sebentar lagi menjadi seorang sarjana.Di balik baju wisuda, dipakainya hem bergaris putih, berwarna dasar merah muda. Kenapa memilih merah muda, hanya Aqsa yang memahaminya. Dipakainya dasi hasil pinjam dari pakde Karno. Jamal, Anton dan Maymoto ikut sibuk juga hari itu.Sebuah mobil parkir di depan kos Aqsa. Dalam mobil itu ada seorang Ibu Kus, Mbah Dul, lalu kakak Aqsa yaitu Iqbal, Ni’mah, Ira terakhir bulek Etik yang merupakan adik bungsu Ibu Kus. Adapun adiknya tidak bisa ikut karena masih belajar di pondok pesantren dan kuliah.  Aqsa menyambutnya dengan penuh kegirangan.

Keluarga itu sangat gembira melihat Aqsa bisa wisuda. Terutama ibu Kus. Betapa tidak bahagia, beliau seorang janda yang ditinggal meninggal oleh suaminya dengan warisan empat orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan. Ketika suami ibu Kus meninggal keempat putranya masih menempuh study. Iqbal yang kuliah di jurusan teknik Universitas orange di Malang, Aqsa yang kuliah di jurusan aqidah filsafat di kampus putih Jogjakarta, Husna Kuliah di kampus oranye Malang mengambil jurusan psikologi dan Khadafi yang masih nyantri di pondok modern Darussalam Gontor, Ponorogo.  Adapun tiga kakak bernama Ni’mah, Ira dan Roni telah berkeluarga. Ni’mah dan Ira tinggal tidak jauh dari rumah ibu Kus, adapun Roni tinggal di Solo.

Bukan perjuangan mudah yang dialami oleh ibu Kus. Beliau tidak pernah absen puasa Nabi Daud untuk tirakat dan menghemat pengeluaran guna dapat mengirim uang bulanan pada Iqbal, Aqsa, Husna dan Khadafi. Kemudian tak henti-hentinya setiap sepertiga malam yang terakhir bersimpuh untuk mendoakan putra-putrinya. Ibu Kus mengucap rasa syukur yang teramat sangat, dengan berbekal uang pensiunan bulanan dari almarhum suami dan sepetak sawah bisa menkuliahkan tiga orang anak.

Ketika musim tanam tiba, ibu Kus setelah subuh harus berangkat ke sawah untuk menanam. Berturut-turut dilanjutkan dengan menyebar pupuk, mengambil rumput yang menjadi penganggu, membuat saluran air. Bila waktu panen tiba biasanya beliau meminta orang lain untuk memanen karena tenaganya sudah tidak kuat lagi. Selesai di panen dan dikeluarkan zakatnya baru di jemur. Sangat kasihan bila melihat Ibu Kus menjemur namun tiba-tiba turun hujan. Dengan amat tergesa-gesa padi itu berusaha dia masukan dalam karung. Terkadang padi yang belum kering telah basah lagi.

Disela-sela mengerjakan sawah, ibu Kus menyempatkan membuat es lilin. Es lilin itu dititipkan kepada penjual jajanan yang berada di sekolah-sekolah atau dibawanya ke pasar. Dari penghasilan jual es lilin itu digunakannya untuk kebutuhan makan sehari-hari. Walau terkadang bila musim penghujan ibu Kus terpaksa tidak membuat es lagi. Semua itu dilakukannya dengan penuh keikhlasan, belum pernah sekalipun perempuan itu mengeluh. Yang ada hanya rasa syukur dengan harapan semua putranya mengenyam pendidikan yang tinggi. Kini beban hidup itu mulai berkurang karena tinggal satu lagi tanggung jawab menyekolahkan, yaitu Khadafi, anak terakhirnya.

Ada satu lagi yang tidak boleh terlewatkan. Semenjak suaminya meninggal, Ibu Kus selalu menyempatkan diri untuk membaca dan membaca. Mulai dari buku sastra, baik itu novel, cerpen atau sajak-sajak. Buku-buku beliau dapatkan dari perpustakaan milik karang taruna. Berhubung keterbatasan uang untuk berlangganan koran, maka setiap pagi bila hendak kepasar sengaja beliau melewati jalan memutar agar bisa lewat depan balai desa. Di sana disempatkannya berhenti sebentar untuk membaca koran. Bahkan walau dengan berat hati beliau harus rela meninggalkan kesukaannya selama ini untuk melihat senetron dan mengantinya dengan berita ataupun dialog. Senantiasa beliau menyempatkan untuk menghadiri pengajian atau majelis ta’lim di kampungnya. Perempuan itu sadar betul bahwa dengan pendidikannya yang hanya tamat SMA, maka beliau harus banyak meningkatkan pengetahuan dan wawasannya untuk mengimbangi wawasan putra-putrinya. Begitu harapnya. Selama ini yang menjadi teman diskusi dari kesemua putra-putrinya adalah suaminnya, sekarang suaminnya telah tiada. Maka ibu Kus ingin mengantikan posisi suaminya sebagai tempat berdiskusi. Dengan banyak membaca maka bila berdiskusi tentunya juga akan nyambung.

Senyum mengembang pada semua orang yang berkumpul di multipurpose kampus putih. Terutama wajah mereka yang mengenakan pakaian panjang phitam lengkap dengan topi toga. Mereka berbaris rapi, satu persatu mulai memasuki ruangan. Lagu Indonesia Raya dan hymne kampus putih berkumandang menyambut para intelektual bangsa. Aqsa sama sekali tidak memperhatikan prosesi wisuda. Saat dibacakan siapa wisudawan yang lulus terbaik, kesan pesan dari wakil mahasiswa dan dosen, bahkan sampai amanat wisuda oleh bapak rektor, semuanya Aqsa lewatkan tanpa sedikitpun ada rasa tertarik untuk mendengarnya. Yang ada dalam benaknya hanyalah harapan. Harapan akan kedatangan Najma. Memang cukup banyak teman Aqsa saat wisuda membawa pendamping. Ada yang telah bersetatus istri atau suami maupun sekedar calon. Bahkan banyak di antara mereka yang sengaja cepat-cepat membuat komitmen untuk berpacaran demi adanya seorang pendamping dalam wisuda. Karena niat hanya untuk mencari pendamping wisuda, maka selesai wisuda komitmennya dalam pacaran juga selesai.

Prosesi wisuda berakhir, terlihat jelas kegelisahan pada wajah Aqsa. Dilihatnya jam yang ada di tangan kirinya. Hari telah menjelang siang, semua teman Aqsa dari kelas, dari komunitas dan dari organisasi ekstra telah datang untuk mengucapkan selamat atau hanya untuk sekedar bersenag-senang dengan berfoto ria. Namun tidak nampak wajah Najma yang telah lama dia harapkan untuk datang, padahal Asty sejak para wisudawan belum masuk ruangan telah datang untuk memberi selamat. Ketika Aqsa bertemu Asty, dia menyarankan Aqsa untuk menghubungi Najma. Akan tetapi jawab Aqsa, “aku tidak akan memintanya lagi, karena kemarin aku telah memintanya. Dan aku ingin dia datang dengan penuh kesadaran tanpa adanya rasa keterpaksaan”. Dalam hati Aqsa, besar sekali harapan akan kehadiran Najma. Dia ingin Najma melihat keluarganya yang sederhana dan apa adanya. Di sisi lain Aqsa juga ingin keluarganya mengetahui Najma, dengan harapan bila suatu saat ada keputusan besar dalam hidup, keluarganya mengetahui dan bisa memberi sebuah pertimbangan.

Sangat jelas terbaca oleh Asty rasa harap-harap cemas tergurat pada wajah Aqsa. Asty merasa kasihan melihat Aqsa, “akan banyak kendala yang kamu lalui Aqsa bila benar kamu suka pada Najma”, desah Asty. Sampai semua mahasiswa yang diwisuda dan keluarganya telah meninggalkan gedung Multipurpose, Aqsa masih sabar menanti kedatangan Najma, dia duduk di bawah pohon beringin. Bahkan keluarga Aqsa telah pergi dulu menuju Pakem, tempat kakak sepupu Aqsa untuk bersilaturahmi. Aqsa masih tetap terpaku. Kekecewaan tidak bisa dibendung, harapan tinggal harapan, bagai dedaunan yang meranggas berguguran. Namun apa arti sebuah kekecewaan, karena datang dan tidaknya Najma adalah hak perogratif Najma. Mereka tidak ada ikatan yang bisa membuat dosa atau salah pada Najma bila dia tidak datang.

Dalam ketermanguan, di tengah-tengah rasa sedih yang menyelimuti hatinya datang menghampiri Aqsa tiga orang perempuan dengan pakaian press body dengan tutup kepala di mana kebanyakan orang menamai jilbab gaul.  “Selamat ya mas Aqsa telah diwisuda”, sapa perempuan yang terlihat paling cerah dipandang sambil mengulurkan tangan.

Aqsa sedikit canggung, namun demi menghindari kekecewaan dia sambut uluran tangan itu, “terimakasih ya Ulinnuha dan teman-teman”, sambut Aqsa dengan pikiran terbayang pada mantan-mantan kekasihnya. Karena Ulinnuha memang cantik, bahkan level kecantikannya melebihi semua mantan kekasihnya bila diperbandingkan.

“Perkenalkan mas, ini Umi dan Wiwik. Dia teman satu kelas dan juga satu kos saya. Umi, Wiwik kenalkan, beliau mas Aqsa, kakak kelas kita”. Lanjut Ulinnuha.

“Saya Aqsa, jawab Aqsa ramah.

“Wah..selamat juga ya mas. Ngomong-ngomong semester berapa mas Aqsa lulus?”. Umi mencoba mengakrabkan diri.

“Alhamdulillah…tepat waktu, delapan semester lebih satu bulan”.

Melihat pemandangan lekuk tubuh yang terlihat jelas, Aqsa melihat sosok mantan-mantan pacarnya ada pada diri Ulinnuha. Merasa kurang nyaman Aqsa segera minta izin pulang ke kos untuk menyusul keluarganya di Pakem, jl. Kaliurang km. 14,5.

Sementara itu Najma sejak pagi berdiam diri di rumahnya. Ada rasa ragu-ragu yang teramat sangat untuk datang melihat wisuda Aqsa. Selesai sholat dzuhur dikirimnya sms, “Allafsana, sudah selesai belum wisudanya?, aku mau kesana”.

Dengan menahan rasa sedikit jengkel Aqsa membalas, “maaf sudah selesai, kalau mau datang aja ketempat kakak sepupuku di Pakem. Keluargaku santai kok”. Lama sekali Aqsa menunggu balasan, namun tak jua kunjung datang.
 
                                                                                                                 ***
Selepas wisuda Aqsa tidak langsung pulang melainkan tetap tinggal di Jogjakarta. Mau pulang juga ngapain pikirnya, mending tetap di Jogjakarta untuk mencari pekerjaan, apalagi dorongan untuk melanjutkan S2 sangat tinggi. Toh ibu Kus juga telah memberi izin. Saat itu mungkin saat yang paling sulit bagi Aqsa dan semua mahasiswa yang post study. Pekerjaan…Ya, pekerjaan yang membuat kepala seakan berputar bagaikan baling-baling pesawat. Akan lebih mudah sebenarnya bila Aqsa masih berpacaran dengan Erna, Nadya maupun Friska. Karena dia selalu mencukupi kebutuhan untuk hidup dan bahkan kebutuhan study. Sesekali Aqsa masih teringat akan mereka. Begitu kasihan mereka semua, bersit hati Aqsa.

Kurang lebih selama tiga bulan Aqsa hidup dari pekerjaan serabutan, karena malu untuk meminta kiriman dari rumah. Kadang bekerja sebagai makelar komputer, dengan membeli komputer yang rusak diperbaiki kemudian dijualnya dan bila sore bekerja di toko handphon. Selama itu Aqsa tetap mengajukan lamaran pekerjaan baik pada LSM maupun perusahaan yang membuka lowongan. Selama itu pula dia masih aktif di organisasi kemahasiswaan, sambil menunggu selesainya kepengurusan pada level kabupaten.

Kalau boleh jujur, sebenarnya bukan masalah pekerjaan yang membuat Aqsa memutuskan tetap di Jogjakarta, bukan pula masalah keaktifan di organisasi pergerakan. Karena pekerjaan dan menjadi aktivis dapat dicari dan dilakukan di mana saja. Yang membuat Aqsa ingin tetap tinggal adalah adanya pengharapan yang besar akan sebuah mimpi. Dan mimpi itu hanya ada di Jogjakarta. Mimpi itu ada pada Najma.
 
Allahlah yang menjadikan matahari dan memberinya cahaya.
Allahlah yang menumbuhkan bunga dan memberinya wangi.
Allahlah yang menjadikan tubuh dan memberinya nyawa.
Allah pula yang menjadikan mata dan memberinya penglihatan.
Allah pula yang menjadikan hati dan memberinya cinta.
__________________________________________________________________________
*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
                                 Mahasiswa Doktor di Shanghai University
​
0 Comments

Luruh

17/11/2019

0 Comments

 
Picture
Luruh
Oleh: Anang Masduki*
Tibalah pada saat Aqsa dan Najma janjikan. Hari itu Aqsa berbeda dengan biasanya. Dia memberikan perhatian yang lebih  terhadap semua penampilannya. Lama sekali dia berada dalam kamar mandi. Disisirnya dengan rapi rambutnya dan dipakainya pelembab kulit. Aqsa mulai menjadi korban iklan. Di depan cermin lama dia perhatikan wajahnya, rasa syukur tak henti-hentinya dia ucapkan karena tidak ada satupun jerawat yang tumbuh. Dia bersihkan bulu kumisnya dan dia rapikan jampangnya. Tidak ada satu orangpun yang tahu alasan Aqsa memelihara jampang. Kiranya biar dipangil akhy atau ikhwan, semua serba mungkin. Selesai berhias dia bersihkan motor bututnya. Motor butut pemberian kakaknya bulan lalu. Terlihat betul kebiasaan orang yang rajin dengan orang yang pemalas. Sudah rapi dan terlihat cakep kemudian membersihkan motor. Seharusnya bukankah sebaliknya, membersihkan motor sebelum mandi dan berhias. Melihat pemandangan itu Pranoto tertawa lirih dengan mengejek. Bagaimana tidak tertawa, parfum bercampur dengan keringat. Selesai membersihkan motor Aqsa dan Pranoto bergegas menuju kos Asty yang jaraknya tidak jauh dari kos Aqsa. Di sana telah menunggu Najma dan Asty. Kemudian mereka bergegas menuju pantai Depok. Aqsa mengajak mereka jalan-jalan karena mungkin setelah wisuda akan pergi meninggalkan Jogjakarta. Aqsa berboncengan dengan Pranoto adapun Najma berboncengan dengan Asty.

Mereka langsung menuju arah selatan menyusuri jalan Timoho, sesampainya di pertigaan selatan kantor Balai Kota Jogjakarta mengambil kanan. Terus saja dia menyusuri jalan Kusuma Negara, lewat depan Puro Paku Alaman. Setelah jembatan Sayidan, mereka belok ke selatan. Jokteng wetan[1] wetan mereka lalui, masuklah jalan Parangtritis. Dalam perjalanan, tepatnya di jalan Parangtritis km 24, dekat jembatan kali Opak tiba-tiba ban belakang motor Aqsa kempes. Aqsa merasa sedikit gelisah, dia khawatir akan merusak suasana. Melihat Aqsa dan Pranoto berhenti, Najma mengikutinya. Sambil menahan rasa kesal dalam hati, Aqsa mendorong motor bututnya. Adapun Pranoto sibuk mendorong dari belakang. ”Ufh...parfum yang melekat di badan berubah jadi kecut nih”.

Setelah mendapatkan tempat penambalan ban, Aqsa meminta tukang tambal ban melihat kondisi ban belakangnya. Ternyata ada tiga yang bocor. Aqsa merasa binggung karena uang sakunya mepet, maklumlah tanggal tua. Hampir satu jam mereka menunggu. Setelah semua beres,  merekapun melanjutkan perjalanan menuju pantai Depok. Rasa khawatir mulai terasa lagi oleh Aqsa, “Yaa…Allah, semoga sisa uang ini cukup untuk tidak membuat raut muka ini malu”. Mungkin sudah menjadi hal yang biasa, bila manusia merasa ingat dan butuh akan perhatian Sang Sutradara kehidupan bila merasa pada posisi sulit dan terjepit.

Di tempat retribusi Aqsa mengeluarkan uang lagi untuk empat orang. Selesai memarkir kendaraan, memudian mereka berempat lari dengan riangnya. Dari kejauhan tampak pantai itu cukup ramai dengan pengunjung. Banyak juga muda-mudi dengan kekasihnya yang sedang dilanda kesenangan sesaat.

Sore itu pantai Depok memang tidak seperti biasanya. Kebetulan angin dan ombak laut cukup bersahabat, saat itulah musim panennya para nelayan. Setiap kapal nelayan yang menepi, keluarga mereka berbondong-bondong menghampiri berlarian untuk melihat hasil tangkapan. Wajah mereka berseri-seri. Dengan cekatan mereka bergegas membawa ikan hasil tangkapan itu pada gubuk-gubuk yang terbuat dari bambu. Disitulah tempat pelelangan ikan terbesar di Jogjakarta. Tempat di mana semua hasil tangkapan dipasarkan. Ada yang dijual mentahan, ada yang dimasak bahkan ada juga ikan yang dijual setelah dikeringkan. Mereka berempat lama berjalan-jalan dipinggir pantai, disela-sela gubug yang satu menuju gubung yang lain guna melihat hasil kekayaan samudera negeri ini. Terbersit dalam hati mereka rasa aneh, kenapa bisa negeri sekaya ini tetapi rakyatnya masih banyak yang miskin. Mungkin tepat sebuah ibarat, tikus mati di lumbung padi, menurut mereka. Ingin sekali Aqsa beli udang yang sudah digoreng, karena warnanya yang kemerah-merahan. Namun ketika meraba dompetnya yang tipis maka yang bisa Aqsa lakukan hanyalah bersedih hati. Merasa puas telah mengamati dan berkeliling melihat hasil tangkapan para nelayan, mereka berlarian menuju tepi pantai.

Desiran air laut bergemerisik menciptakan narasi yang merasuk ke dalam jiwa. Bersamaan dengan daun-daun kelapa yang meliuk-liuk menyapa. Burung camar menuju peraduan sambil asyik mendendangkan lagu pertanda syukur. Hati menjadi guru bijak dan memberi tahu bahwa ada selera agung di balik keserasian yang maha dalam kini tergelar luas pada semesta. Selera agung yang transendental terhadap segala cita karsa manusia dan karena keagungannya manusia diminta runduk oleh suara bening di dalam jiwa.Aqsa mendekati kapal milik nelayan yang ditambatkan di bibir pantai. Dia mencoba melihat jauh ke depan untuk menjangkau batas hamparan pantai yang terbentang luas. Dia mencoba mengaitkan dengan apa yang sedang melanda hatinya. Timbul pertanyaan dalam diri Aqsa, kenapa rasa itu datang ketika mau meninggalkan Jogjakarta. Kenapa guratan syair yang mengalun indah, mendengangkan irama kedamaian dan kebahagiaan datang di saat episode pertama mulai berakhir. Desah Aqsa diiringi nafas panjang.

Akhir-akhir ini memang setiap malam menjelang, Aqsa merasa matanya sulit untuk diajak kerjasama walau rasa kantuk telah mendera. Perasaannya gelisah, pikirannya tak jelas apa yang dipikirkannya. Dia merasa malu pada Pranoto.

Ketika titik jernih mulai mengembang dalam hati Aqsa, ada suara memanggilnya dari belakang, “Allafsana, kamu merenung apa?”. Agak terkejut Aqsa mendengar suara yang dikenalnya betul. Mereka duduk sama-sama menghadap ke pantai, agak berjauhan. Adapun Asty dan Pranoto sibuk menikmati pemandangan sambil berjalan menuju pantai.

“He…he..tidak merenung apa-apa Anjali.”. Dalam hati Aqsa mengatakan, “kamu tidak pernah paham Najma, apa yang telah terjadi dengan hati ini”. Aqsa mulai kebingungan bagaimana harus bersikap. Memang tidak biasanya, dengan siapapun Aqsa bergaul tidak pernah membuatnya merasa tertekan, underpresser baik itu laki-laki atau perempuan. Aqsa sendiri heran, Aqsa mempunyai banyak sekali teman perempuan dan tidak ada satupun yang membuat psikologisnya tertekan. Dan lebih sering dia membuat prempuan yang menjadi tertekan. Namun mulai saat ini, mulai detik ini psikologis Aqsa memasuki babak kehidupan yang baru, seorang laki-laki yang bernama Aqsa di hadapan seorang perempuan yang bernama Najma seperti kerbau dicolok hidungnya, Aqsa mati kutu, tubuhnya bergetar, bulu kudunya berdiri, keringat dinginya keluar. Ada sesuatu yang mengalir dalam aliran darahnya, sesuatu yang terasa sejuk, sesuatu yang mendamaikan. Yang bergejolak kuat, indah, mendebarkan dan tak bisa diutarakan dalam bahasa apapun. Ini menjadi sebuah pertanda bahwa telah terjadi revolusi di dalam hati Aqsa.

“Allafsana, setiap kamu ada sesuatu selalu berbagi dengan aku, kenapa sekarang kamu tidak mau membaginya?”. Tanya Najma kembali sambil menatap wajah Aqsa.

Keberanian Aqsa untuk menatap wajah Najma luluh lantak. Wajah lembut Najma yang basah oleh keringat, seperti embun dipermukaan kaca. Sejujurnya, melihat wajah Najma, Aqsa tak sanggup mengatasi keanggunan pada level yang sangat tinggi. Aqsa merasa bahwa Najma tercipta bukan untuknya. Aqsa malu karena merasa tak pantas. Bagi Aqsa, Najma seperti seorang yang akan selalu menjadi milik orang lain. Dan Aqsa, tak lebih hanya pengisi data dan nama dari buku simfhoninya yang akan terlupakan keesokan harinya. Aura yang dipancarkan Najma membuat Aqsa tak lebih dari boneka kain bekas yang jenaka, yang membuat kumbang-kumbang nakal tak berani muncul lagi. Namun jujur, dalam lubuk jiwanya yang dalam, yang sangat dalam, yang terdalam terasa begitu nyaman, terasa begitu damai dan terasa begitu tenang bila berada di dekat Najma. Setenang air sungai manakala menyentuh kedalaman samudra.

“Anjali, besok sabtu aku akan wisuda, setelahnya aku tidak tahu akan kemana”. Aqsa mencoba mengalihkan dan memberi legitimasi atas sikapnya karena merasa kelihatan bodoh dan bingung atas kondisi hati dan jiwanya sendiri. Namun Najma ternyata tahu kalau itu adalah kata untuk mencoba mengalihkan tema pembicaraan.

“Ah..enggak percaya, setahuku Allafsana adalah orang yang periang, suka membuat joke-joke untuk mencairkan suasana, suka membuat orang lain tertawa. Aku tidak percaya, pasti ada permasalahan yang sedang kamu hadapi. Kalau kamu tidak keberatan untuk berbagi, aku siap untuk mendengarnya”. Papar Najma dengan harapan Aqsa bisa tenang dan bersikap wajar.

Dengan berusaha melempar senyuman Aqsa berkata lirih, “memang telah terjadi sesuatu, mohon maaf Anjali saya belum bisa mengatakannya padamu. Nanti bila sudah saatnya pastilah aku akan mengatakannya, aku akan berbagi dan bercerita denganmu”.

“Oke..ya sudah kalau tidak mau cerita sekarang, tapi lain kali cerita ya”.

Aqsa hanya menganguk sambil tersenyum. Najma melanjutkan, ”Allafsana maaf ya, kayaknya besok saat wisudamu aku tidak bisa datang”.

”Emang ada acara apa?”.

”Emmmm ada dech. Pokoknya maafin ya jika nanti tidak bisa datang”.

Mendengar jawaban itu Aqsa terdiam. Aqsa sendiri tidak tahu kenapa kedatangan Najma saat wisudanya nanti merupakan satu hal yang spesial baginya.

Cukup lama mereka di pantai. Rasa puas melihat keindahan matahari tengelam telah terpenuhi, mereka berempat segera mencari mushola. Mereka tunaikan sholat magrib lalu bergegas pulang. Gurat-gurat wajah mereka menampakan kegembiraan dan kepuasan kecuali Aqsa. Aqsa merasa ada sesuatu yang berat dan besar terhampar dalam cerita hidupnya kedepan.

Merasa perut mulai melilit,  Aqsa mengajak makan di angkringan[2] dekat kos Asty. Mereka memesan nasi dan gorengan bakar. Ketika sedang menikmati makan nasi angkringan Najma berkata,  “Allafsana, maafkan aku kalau aku besok tidak datang di wisuda kamu, sekali lagi maafkan ya”.

 “Anjali…Aku sangat berharap kamu bisa datang, tapi kalau kamu ada kemauan untuk datang dan aku tidak ingin kamu melakukan apa yang tidak ada di dalam hatimu. Tidak adil Anjali, ketika aku punya sedikit saja kesusahan selalu berbagi dengan kamu tetapi ketika aku punya banyak kebahagiaan tidak mau berbagi dengan kamu”. Dengan penuh harap Aqsa mendesah panjang. Aqsa merasa sedih sekali, karena Najma minta maaf tidak bisa datang diwisudanya sudah tiga kali, tetapi di sisi lain Aqsa berharap kedatangan Najma bukan karena terpaksa, kalau merasa terpaksa lebih baik tidak usah datang. Aqsa berharap Najma bisa belajar dari hal yang kecil, karena Aqsa mencoba berpikir jauh bahwa kalau suatu saat nanti Aqsa mengatakan rasa yang ada di dalam dada, meskipun diterima kalau terpaksa maka memilih tidak diterima.

Selesai makan, Aqsa buru-buru mengambil dompet, khawatir tidak cukup Aqsa berbisik pada Pranoto. Besar harapan Aqsa, Pranoto membawa uang yang banyak, namun ternyata Pranoto hanya membawa uang yang cukup untuk satu kali makan.  Aqsa langsung menuju penjual angkringan untuk membayar. Dengan sangat terpaksa Aqsa memberanikan diri minta tolong pada penjual untuk hutang, penjual angkringan itu cukup berjiwa muda dan bisa memahami kondisi mahasiswa. Aqsa merasa senang, karena tidak menanggung malu di depan perempuan yang baginya sangat spesial. Setelah menyerahkan buku novel yang berjudul Amina, Aqsa dan Najma berpisah diiringi Pranoto dan Asty.

Tanpa Aqsa sadari, di kos telah menunggu Erna, Friska dan Nadya. Aqsa tidak pernah menduga kalau mereka bertiga akan datang, namun dicobanya untuk bersikap tenang. Tampak wajah ketiga perempuan itu sembab. Aqsa mencoba menyapa mereka. Entah siapa yang memulai, mereka bertengkar habis-habisan karena tahu Aqsa main ke pantai dengan perempuan baru. Mereka tahu dari Pakde Karno, bapak kos Aqsa. Erna, Friska dan Nadya menangis tak tertahankan, mereka merasa menjadi bahan permainan Aqsa selama ini.

Jamal, Anton, Maymoto, Benjol dan teman-teman kos Aqsa pada sembunyi, karena tidak mau ikut terlibat. Pranoto segera menyusul. Mereka berkumpul di kamar Jamal. Dengan suara setengah berbisik Jamal bilang, “dasar laki-laki buaya, sudah dibilangin berkali-kali juga tidak digubris, baru tahu rasa sekarang”.

Anton menyambung, “kenapa Mal, kamu iri ya, yang salah itu ya perempuannya, sudah tahu buaya dikadalin”.

“Yang salah ya semuanya, yang laki-laki playboy dan yang perempuan juga terlalu mudah takluk oleh rayuan”. Sahut Maymoto mencoba bijaksana.

Sementara di luar, Aqsa bingung dan tak tahu apa yang harus diperbuat, dalam kondisi yang kalut Aqsa mengambil keputusan secara sepihak untuk memutus tali kasih di antara mereka selama ini. Dan hal itu juga Aqsa lakukan kepada Lusi. Jelaslah dengan nyata keempat perempuan itu patah hati dalam waktu yang bersamaan. Haruskah untuk menegakkan cinta, mengorbankan cinta yang lain?.
 
                                                                                                                     ***
Beberapa hari berlalu, seperti biasanya, kos Aqsa memang hidup duapuluh empat jam. Ada yang mengerjakan skripsi, ada yang main kartu, dan ada yang suka main gitar. Dan sebuah pemandangan yang unik bila malam minggu datang. Mereka tidak ada yang keluar untuk apel atau kencan, kecuali Aqsa. Mereka semua adalah laki-laki jojoba atau jomblo-jomblo bahagia. Setelah pertengkaran Aqsa dengan semua pacarnya, mereka berkumpul untuk membahasnya. Aqsa berucap, “mereka pantas mendapatkannya, memang sejak awal aku tidak pernah ada rasa suka dengan mereka”.

“Lalu kenapa Aqsa kamu berpacaran dengan mereka, bukankah kamu yang merayunya, berusaha mendapatkannya dan yang mengatakan rasa cinta dulu. Kalau seperti ini menyakitkan untuk mereka”. Tanya Jamal. Anton, Maymoto dan Pranoto menatap Aqsa dengan penuh penasaran.

“Bukankah sebuah kebanggaan bila laki-laki mampu menaklukan hati perempuan, dan perlu kamu ketahui Jamal, sebagian mereka yang mendahului. Selain itu aku juga merasa enak, makan ada yang traktir, sakit ada yang merawat, sedih ada yang menghibur. Aku yakin kamu pasti punya keinginan yang sama denganku”.

“Berarti selama ini kamu hanya memanfaatkan mereka, dan akhirnya berujung menyakiti mereka?”. Papar Maymoto.

“Kejam sekali kau Aqsa. Ternyata kekerasan tidak hanya terjadi dalam rumahtangga, dalam pacaranpun terjadi kekerasan”. Sambut Anton.

“Aqsa, kau tidak berpikir bagaimana jika kamu mempunyai anak perempuan terus diperlakukan oleh seorang lelaki sebagaimana kamu telah memperlakukan terhadap mereka. Setelah habis sari-sarinya, kau tinggalkan dalam keadaan layu”. Pranoto menambahkan.

Mendengar ucapan itu Aqsa terdiam, dia bergegas pergi kekamar. Dia rebahkan badannya, namun tak juga mata mau terpejam. Malam itu Aqsa tidak bisa tidur. Dia baca satu persatu semua tulisan yang bertebaran di dinding kamarnya. Melintas wajah perempuan lembut, cerdas, bersahaja, lucu, tegas dan pemberani. Wajah yang memiliki hati qurrotaa’yun. Kemudian teringat semua kelakuan bejatnya. Rasa khawatir mulai menyapu segenap relung hatinya, bagaimana jika itu semua menimpa keluarga, saudara atau bahkan anak perempuanya esok. Aqsa merasa ada sesuatu yang salah dalam mata rantai kehidupannya. Lama Aqsa duduk terdiam. Mulai dia merenung, dan mencoba bermuhasabah. Aqsa mengawali dengan mencoba memaafkan diri sendiri dengan meyakini bahwa kisah hidupnya selama ini muncul tidak dari konteks eksistensialisme substansial, melainkan ujian akan struktur dan konstruksi keimanannya. Kuat menerpa keinginannya untuk mengevaluasi ulang parameter-parameter nilai keimanan dan nilai kehidupan. Dicobanya memetakan anatomi nilai-nilai itu. Melintas dalam pikirannya kalimat Betrand Russel, yang pernah dia diskusikan sewaktu masih awal-awal menjadi mahasiswa. ”Kehidupan memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur sesuatu dari segi lebih baik atau lebih jelek dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai. Kita memuji atau mencela, mengatakan bahwa suatu tindakan itu benar atau salah dan menyatakan pemandangan di muka kita itu ‘indah’ atau ‘buruk’. Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai”. Muncullah berbagai pertanyaan, yang mana dan siapa kepala, yang mana dan siapa tangan, kaki, otak, nurani dan kelamin. Apakah yang primer itu akal atau nurani, ataukah kelamin?. Yang menjadi tolok ukur ketaqwaan itu apakah prestasi akal,  pencapaian estetika dan nurani atau uforia nafsu belaka?.

Dalam hening malam yang sunyi, yang hanya bertemankan hembusan angin, terlihat sebuah pemandangan yang indah, sebuah adegan yang menakjubkan dan jarang terjadi sebelumnya. Aqsa bersimpuh, bersujud, meratap, menangis, menyesal atas semua dosa-dosanya. Sejarah telah memaksa Aqsa untuk khusyuk tersungkur mencium mayapada. Dia lakukan sholat tahajud, sholat hajad, taubatan nasuha  dan sholat witir. Berkali-kali dia baca istighfar dan berkali-kali pula dia mengucap, ”maafkan anakmu Ibu...maafkan anakmu...sungguh maafkanlah..”.

Tuhan mentakdirkan orang-orang tertentu untuk memiliki hati yang terang agar dapat memberi pencerahan pada sekelilingnya. Perlahan tapi pasti pandangan Aqsa terhadap perempuan mulai berubah. Seiring dengan tumbuhnya sebuah rasa. Rasa yang tidak ada satupun terminologi mampu menjabarkannya. Dalam hatinya berucap, “tiada seorangpun yang bisa mencapai kedalaman dalam kesendirianku di mana kukuburkan kejahatanku, andaikan suatu saat engkau tahu biarlah itu menjadi pelajaran bahwasannya aku -orang yang sangat mencintaimu-  pernah hidup dalam kehidupanku yang hitam bersimbah berpeluhkan dosa.”. Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzalimin...

Keesokan harinya, Aqsa bergegas menemui Erna, Friska dan Nadya. Aqsa meratap dihadapan mereka dengan hati yang serendah-rendahnya demi satu kata, yaitu kata “maaf” dari mereka. Ya..kata maaf. Kata yang sangat mudah untuk diucapkan namun berat untuk diwujudkan. Aqsa merasa akan menyesal seumur hidup bila semua perilakunya selama ini belum diikhlaskan. Cukup manis memori yang terukir menjadi sejarah antara mereka bertiga masing-masing dengan Aqsa. Sehingga cukup berat rasanya luka yang ditorehkan. Aqsa tidak merasa putus asa, berganti hari, berganti minggu bahkan berganti bulan Aqsa terus berusaha tanpa ada sedikitpun rasa lelah. Bahkan Aqsa meluangkan waktu khusus untuk pulang menemui Lusi, mengklarifikasi dan meminta maafnya. Lambat laun mereka menerima permintaan maaf Aqsa, namun entah dalam hati mereka. Namun insyaallah tulus.

________________________________________________________________________________________________
[1] Pojok Beteng sebelah timur

[2] Warung makan yang mangkal di pingir jalan dengan menggunakan gerobak. Menu spesial adalah nasi kucing (nasi dengan lauk kering tempe dan sambal teri dibungkus kecil-kecil. Biasanya seharga Rp. 1000).

*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
                                 Mahasiswa Doktor di Shanghai University

0 Comments

Seraut Cermin

10/11/2019

0 Comments

 
Picture
Seraut Cermin
Oleh : Anang Masduki*
Aroma dingin belerang gunung Merapi membelai kota Jogjakarta. Adzan subuh menerobos hati yang baru tersadar dari buaian mimpi. Kehangatan sinar mentari menambah semangat warga Jogjakarta beraktivitas. Mobil lalu lalang, motor berseliweran, mereka betebaran untuk mencari rizki. Para mahasiswa mulai memegang tas guna mendengarkan tausiyah sang dosen.
Namun hari itu ada pemandangan yang berbeda di kampus putih itu. Para mahasiswa mulai berkerumun di halaman depan masjid. Mereka berkumpul untuk melakukan kampanye pemilu mahasiswa. Beberapa atribut partai banyak menghiasi sudut-sudut kampus. Dan banyak pula para mahasiswa yang menjadi simpatisan partai yang mengenakan atribut berupa kaos maupun ikat kepala.
Hari itu, senin siang sebagaimana Aqsa dan Najma sepakati bahwa setelah melihat kampanye pemilihan presiden di kampus putih, mereka berdua berjanji untuk bertemu di depan tangga masjid. Selepas dhuhur, Aqsa menuruni tangga masjid. Di bawah pohon palem di tepi halaman tampak oleh Aqsa dua orang perempuan. Aqsa merasa agak gugup karena dia yakin kalau perempuan itu salah satunya adalah Najma. Perasaan gugup itu bermuara pada rasa malu bila teringat akan deretan puisi yang telah dia kirim lewat sms. Namun rasa gugup itu buru-buru diusirnya. Ada rasa gengsi yang amat sangat dalam hatinya bila seorang laki-laki harus terlihat bodoh dihadapan perempuan.
 
“Assalamu’alaikum…”. Sapa Aqsa mendahului.

“Wa’alaikumsalam”, jawab Najma dan temannya.

“Pasti ini yang namanya Najma?”. Tanya Aqsa sambil menunjuk perempuan mungil di depannya. Rupanya Aqsa melihat ada hal yang berbeda ketika melihat Najma di saat menuruni tangga depan masjid. Karena perempuan kecil itulah yang selalu mengulum senyum sejak tadi.

 “Benar Aqsa, dan ini kenalkan temanku satu pondok dulu ketika masih SMP. Dia namanya Asty, berasal dari Temanggung”. Tidak ada jabat tangan dalam pertemuan itu, tidak ada yang tahu kenapa sebabnya. Aqsa tidak mengulurkan tangan, mungkin menghargai Najma dan Asty yang hadir dalam balutan jubah dan jilbab yang besar, atau karena menjaga imej agar memberikan kesan yang baik. Karena pertemuan pertama biasanya akan memberikan kesan yang akan mempengaruhi dalam perjalanan selanjutnya. Dan hal itu terbukti, Aqsa menangkap kesan yang jelas berbeda pada diri kedua perempuan itu, khususnya Najma. Begitu juga sebaliknya.

”Kuliah di mana Asty?”. Tanya Aqsa.

”Di kampus ini juga, mengambil fakultas tarbiyah, sampean sendiri?”.

”Aku di Usuludin, pantesan kita belum pernah bertemu. Ayo kita jalan menuju kosku ya”. Mereka bertiga meninggalkan halaman masjid kampus putih. Agak lama mereka terdiam, bingung dengan apa yang harus dikatakan.

Dengan penuh keyakinan Najma memberanikan diri bertanya, “Aqsa ada hal yang berbeda yang aku tangkap dari dirimu, kamu sangat berbeba bila dibanding saat telpon atau saat sms?”. Rupanya Najma sangat jeli melihat sikap yang tersembunyi, sikap gugup yang teramat sangat pada diri Aqsa.

Senyum Aqsa mengembang sambil menoleh untuk memnyembunyikan mimik mukannya, Aqsa menjawab, “aku harus berhati-hati bila berbicara dengan orang cerdas, he..he..”. Rupanya ada rasa malu dalam diri Aqsa, dia teringat semua sms yang dkirimnya pada Najma.

”Rumahmu masih jauh ya Aqsa?”, tanya Asty sambil terus menyusuri trotoar menuju arah selatan.

”Enggak...tuh diselatan rel kereta api”.

Tak lama kemudian sampailah mereka bertiga di kos Aqsa. Kos itu cukup sederhana walau bertingkat. Ketika menaiki tangga menuju ruang tamu, Aqsa mengharap agar tidak ada satupun di antara kekasihnya yang menghubungi untuk mengajak keluar jalan-jalan atau bahkan mendadak datang. Karena sahabat yang datang kali ini bagi Aqsa adalah orang yang sangat spesial, Aqsa merasa selama ini belum pernah bersahabat seperti orang yang saat ini datang kekosnya. Menurutnya, Najma adalah perempuan yang sangat anggun, seanggun hatinya. Namun entah kenapa Aqsa tidak seperti biasanya yang langsung mengambil inisiatif untuk mencari simpatik lagi, kayaknya Najma manusia yang terlalu sempurna dan penuh kharisma di matanya.

Adapun teman-teman satu kos Aqsa; Maymoto, Anton dan Jamal sedang asyik bersiap-siap main futsal di halaman. Melihat Aqsa membawa dua orang gadis baru, mereka pada berbisik, sambil cengegesan dan cengar-cengir. “Wah..kapan giliran kita Ton?”. Kata Jamal.

“Itulah resiko perasaan yang hanya dipendam, sehebat-hebatnya perempuan akan luluh dengan kata-kata. Maka segera ungkapkan Mal”. Sahut Maymoto.

”Menurut kamu untuk yang kali ini nilainya berapa?”. Canda Anton meminta penilaian Jamal dan Maymoto terhadap perempuan yang dibawa Aqsa. Memang terkadang kerap dikalangan laki-laki banyak yang mendadak jadi guru matematika ketika melihat gadis yang lewat didepannya.

”Ya..kalau aku delapan setengahlah”. Jamal memberi nilai pada Najma dan Asty.

”Kayaknya sama antara aku dengan Jamal”. Maymoto menanggapi permintaan Anton.

”Ah...Maymoto ini tidak kreatif, tapi sekarang yang dibawa Aqsa berbeda dengan yang kemaren-kemaren. Sekarang kok berjilbab ya?”.
Mereka kemudian memulai futsal setelah Benjol datang sehabis beli sepatu.

Najma dan Asty duduk di ruang tamu, Najma sekilas melihat kamar Aqsa yang memang tidak pernah terkunci walau Aqsa tinggal pergi. Dia melihat pada dinding kamar itu gambar tokoh revolusioner Colombia, Che Guevara. Gambar itu cukup besar, berukuran dua kali satu setengah meter. Gambar yang berwarna dasar merah dengan sketsa wajah berwarna hitam, menambah kesan yang meyakinkan sebagai tokoh proletarian yang anti penindasan. Kemudian Najma melihat banyak sekali tulisan yang melekat diberbagai sudut pada dinding kamar. Lama dia mengamatinya. Najma masih ingat betul akan tulisan tersebut. Tulisan itu adalah puluhan puisi, syair dan kata-kata romantis yang kesemuanya pernah disampaikan Aqsa lewat sms dulu. Ya!, yang kesemuanya pernah Aqsa kirimkan pada Najma.

Kontan saja Najma berkomentar, “eh..bukannya tulisan yang ada di dinding itu semua puisimu yang pernah engkau kirim padaku, itu semua karyamu ya?”.

Aqsa merasa tersanjung, wajahnya memerah, dengan melempar senyum Aqsa menjawab, “bukan!, itu semua tulisan hasil warisan dari penghuni kamar ini sebelumnya”. Aqsa berbohong untuk menutupi rasa malu.

Najma terus menelusuri setiap sudut kamar itu, ya semua tulisan itu adalah puisi, syair yang pernah dikirim Aqsa kemarin-kemarin. Muncul dalam benaknya apa maksud Aqsa menuliskannya, sengaja untuk mengabadikan, sengaja untuk bisa setiap saat menjelang tidur dapat direnungkan, atau pribadi Aqsa yang memang aneh. Tapi ada satu hal yang tidak boleh diabaikan, Aqsa termasuk orang yang romantis, kesimpulan Najma.

Tidak beberapa lama kemudian Pranoto datang. Setelah berkenalan, mereka berempat asyik berdiskusi dan saling bercerita. Mereka langsung akrab seperti orang yang telah lama saling kenal, sambil menikmati buah durian yang sengaja Aqsa siapkan untuk Najma.
Lama mereka berbasa-basi, kemudian Najma mengawali diskusi, “bagaimana Aqsa, mulai ada pencerahan pandangan terhadap perempuan?”.

“Heeehe..selama ini saya selalu menghargai perempuan, menyayangi dan mengasihi. Itu tetap menjadi prinsip saya”, jawab Aqsa dengan tegas.

“Oke, kamu merasa menghargai, tapi sebenarnya merendahkan!”.

Di saat Aqsa dan Najma sibuk berdiskusi, Pranoto dan Asty juga mencari kesibukan sendiri dengan bercerita tentang berbagai hal. Sengaja mereka tidak mau masuk dalam wilayah pembicaraan Aqsa dan Najma. Mereka mencari topik sendiri.

“Lho pada posisi di mana saya merendahkan perempuan, bukankah jelas dalam hadits kalau perempuan terbuat dari tulang rusuk Adam yang bengkok, semua rasul selama ini juga laki-laki?”. Tanya Aqsa dengan meninggikan suara.

 “Laki-laki dan perempuan itu keberadaanya untuk saling melengkapi. Sebagaimana disampaikan Shachiko Murata, perempuan adalah reseptive (munfa’il) dan yang creative (fa’il). Sementara laki-laki adalah jiwa yang creative atau aktif saja (fa’il). Dua kualitas inilah yang saling melengkapi (aktif dan reseptif) yang menyatu dalam perempuan (feminin), inilah yang memungkinkan jiwa ini menjadi tempat yang paling sempurna sebagai tajalli Tuhan. Inilah yang disebut sebagai esensi dari imajinasi kreatif. So..banggalah bagi yang berjenis kelamin perempuan. Perlu kamu ketahui Aqsa, kalau  ideologi mengenai penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki bukankah itu berasal dari kitab perjanjian lama dalam kitab kejadian II ayat 21-22?. Bisa saja terjadi bila tidak disebutkan asal usul penciptaan manusia dalam kitab tersebut, rasul yang mulia tidak mengeluarkan hadits. Kemudian kitab tafsir yang ditulis oleh kaum laki-laki, berkecenderungan bias laki-laki, dan hal yang sama terjadi pada hadits, sehingga munculah istilah hadits misoginis[1]. Ini berarti laki-laki telah menghegemoni struktural gender dan sexsualitas. Pandangan yang berawal dari kebiasaan kemudian menjadi konstruksi budaya. Setiap anak perempuan yang lahir telah diberi doktrin ideologis bahwa perempuan tidak perlu cerdas dengan menempuh pendidikan yang tinggi, tetapi perempuan harus pandai bersolek untuk menyambut ajakan suami, perempuan harus pandai memasak dan mencuci. Pendeknya perempuan harus pandai melayani suami. Sehingga kehadirannya terbatas untuk eksis dalam ranah domestik. Menurut Simeone De Beauvoir terjadi maskulinisasi epistimologis, katanya ’dunia adalah hasil karya laki-laki dan perempuan adalah jenis kelamin kedua’, bila dilihat dari produk budaya selama ini. Karena gelisah melihat ketimpangan, Fatima Mernissi sampai mengatakan, apakah aku memiliki surga?, atau aku hanya diizinkan memasuki surga orang lain?, apakah kaum perempuan memiliki surga?, apakah arti surga bagiku?. Kemudian berbagai pertanyaan itu dijawabnya sendiri, tak ada keraguan kukatakan, surga adalah tempat di mana aku dan setiap orang bebas dari seluruh penghambaan duniawi”.“Ok. Sekarang menurut kamu Najma, apa perbedaan gender dan sex?. Lanjut Aqsa seperti celoteh jaksa dalam menginterogasi.

“Gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi budaya, sedangkan sex digunakan untuk mengidentifikasi laki-laki dan perempuan dari segi biologis. Artinya sex bersifat kodrati sedangkan gender bersifat non kodrati. Kemudian dalam perkembangannya muncul istilah sex differens[2]. Sex differences pada umumnya melahirkan gender dif-ferences[3] dalam masyarakat. Sebenarnya tidak bermasalah terjadi gender dif-ferences selama tidak melahirkan gender inequalities[4]”.Dengan penuh semangat Najma tetap terus melanjutkan ucapannya, “Aqsa, perempuan harus berdaya, syukur-syukur perempuan mempunyai penghasilan. Sehingga tidak terlalu bergantung dengan suami. Kenapa banyak poligami terjadi?, karena perempuan selalu bergantung pada suami. Dan di sisi lain bila suami ditaqdirkan meninggal lebih dulu sedangkan istri mandiri, maka tidak akan terlalu berat menghidupi anak walaupun banyak. Perlu engkau ketahui Aqsa, pada hakekatnya semua manusia adalah politikus. Pilihan satu-satunya adalah menjadi aktif atau pasif. Kalau kita tidak melakukan sesuatu tentang hal-hal yang mempengaruhi kita maka orang lain yang akan melakukannya terhadap kita. Begitu juga dengan bekerja atau menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah pilihan”.

“Lalu apa hubungan pemberdayaan dengan jilbab?, sehingga kamu pilih memakainya, panjang lagi?. Bukankah perempuan diberikan keindahan dan kecantikan agar bisa menjadi vitamin A untuk laki-laki yang rabun?. Kenapa kamu tidak seperti mereka yang memperlihatkan lekuk tubuhnya?. Menurutku bila ingin membuat laki-laki senang jangan setengah-setengah, akan lebih baik kalau telanjang sekalian”.

“Aku tidak memungkiri bila perempuan suka di puji, suka dimanja dan suka menjadi pusat perhatian laki-laki. Tapi bagiku bila ada orang yang memilihku, harapanku bukan disebabkan karena tampilan fisik melainkan karena apa yang ada di dalam dada. Menurutku seorang lelaki yang mengatakan suka karena paras yang cantik, maka sebenarnya cintanya hanya setebal kulit ari. Dalam memandang perempuan tidak cukup hanya melulu melihat permukaan wujudnya. Tapi harus digali dengan piranti kearifan yang tidak sekedar memasungkan diri pada biasan fenomenal. Artinya, perempuan mesti dimaknakan kembali pada dataran transendentalnya yang samawi. Bukankah kesempurnaan Bunda Maria terletak pada keluhuran ruhani. Aqsa, aku tidak mengatakan dan aku tidak akan sepakat bila kesalehan seseorang diukur dari selembar kain. Namun belakangan banyak perempuan merasa bangga bila tubuh mereka dipandang oleh berjuta-juta pasang mata dalam suatu pertunjukan atau di tempat umum, itulah penjajahan material dan itulah eksploitasi. Yang secara tidak sadar menyebabkan laki-laki hidup dalam desakan-desakan nafsu birahi, sementara kapitalisme melayani demi penumpukan modal. Mereka tidak sadar bila telah menjadi media iklan gratis dari korporatokrasi kapitalis. Sehingga yang menjadi ukuran adalah putih dan mulusnya kulit, hitam dan lurusnya rambut, tinggi dan semampainya postur tubuh, seksi dan kencangnya badan. Sungguh tidak adil manusia dinilai dari tampilan fisik belaka. Maaf....kasihan bagi mereka yang mempunyai kulit hitam, rambut kriting, tubuh cebol, kerempeng atau gendut, penyakitan atau punya cacat. Padahal aku yakin mereka semua tidak menginginkannya, termasuk kamu. Lantas bagiku Aqsa....jangan sampai seorang perempuan ketika sholat dia tutup auratnya sopan, rapi, mulia sehingga dikenal oleh para penghuni langit dan bumi sebagai dzalika adnaa anyu’rafna falaa yu’zaina, mereka mudah dikenal sebagai perempuan mu’minah sehingga tidak mudah diganggu. Tapi sayang walaupun berikrar ketika sholat tunduk dan patuh pada perintah Allah, seusai sholat pakaian sopan, santun, mulia itu kembali ditanggalkan, diganti dengan pakaian serba sempit dan transparan. Jilbab adalah pelindung bagi perempuan seperti cangkang yang melindungi siput, agar kecantikan dari dalam diri terpancar seperti cahaya. Bagiku tubuh yang indah untuk diberikan kepada yang berhak, bukan untuk dipamerkan apalagi diobral seperti baju, dipegang, dicoba, karena merasa tidak cocok lalu dikembalikan. Akhirnya yang terjadi apa?, harganya seribu dapat tiga. Maka Allah menganjurkan kepada perempuan untuk memakai jilbab sebagaimana terdapat dalam surah Al Ahzab, ayat 59. Dalam kesempatan lain, laki-laki sering salah dalam memposisikan perempuan. Perempuan bukanlah intan permata untuk dijadikan perhiasan, disimpan, dipandang dan dijaga atau bahkan dipamerkan. Bukan pula burung garuda yang berada disangkar emas, diberi makan lalu dicumbu biar berbunyi sekedar menjadi penghibur kegundahan hati. Dan yang paling penting, perempuan bukan piala untuk diperebutkan, sekedar mendapatkan hadiah atau sebuah prestis untuk dibanggakan ”.

Aqsa mengangguk-angguk. “Kalau begitu menurutmu di mana posisi gerakan feminis selama ini?. Bukankah banyak sekali LSM ataupun lembaga-lembaga study bermunculan dikampus-kampus. Begitu pula dengan dibuatnya undang-undang baru untuk perlindungan perempuan”. Tanya Aqsa kembali.

“Gerakan feminis telah gagal dalam memahami hal yang demikian. Bahkan gerakan feminimisme (Barat) yang menyerukan agar perempuan mengadopsi sifat maskulin dan menanggalkan sifat feminim, hanya berujung pada keterpenjaraan perempuan oleh maskulinitas. Perempuan memang dapat benar-benar mandiri, tapi dalam kehidupannya terasa kosong dan teralienasi, asing, sunyi, dan iseng sendiri. Sebuah situasi yang disebut “Cinderella Complex”: perempuan pada akhirnya butuh “pangeran penolong” yang baik hati dan setia. Kemudian dengan pasrah menjatuhkan diri dalam pelukannya untuk mencari perlindungan. Di sisi lain mereka terlalu mengarahkan orientasi pada sistem patriarkal dalam struktur rumah tangga dan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Mereka tidak mencoba melihat bahwa betapa jahatnya kapitalisme merampas kebebasan perempuan dan mengeksploitasi tubuh secara sporadis dan sewenang-wenang demi menambah pundi-pundi modal. Dan ini ternyata tidak disadari oleh perempuan. Sekedar contoh sederhana, sepatu bertumit tinggi. Bagi perempuan yang memakainya, mungkin ia sekadar benda pakaian biasa. Tetapi, bagi seorang semitoikus berwawasan feminis, sepatu itu menandai hasrat budaya yang didominasi laki-laki guna melumpuhkan perempuan secara fisik, agar membuat mereka berjalan menjinjit-jinjit sehingga tidak bisa lari (dari cengkeraman laki-laki). So jika tak ingin rapuh jagan pakai sepatu bertumit tinggi. Di sinilah seharusnya posisi kita untuk mengambil peran penyadaran. Namun hal ini perlu didukung oleh keberpihakan pemerintah. Adapun posisi pemerintah baik legislatif maupun eksekutif dalam mengambil policy harus mengunakan falsafah dari hulu ke hilir, jangan sebaliknya”.

Merasa belum faham, Aqsa berkata, “maksudmu dari hulu ke hilir?”.

“Untuk menegakkan sebuah kemaslakhatan, kebijakan harus berawal dari sumbernya. Selama ini yang terjadi sebaliknya. Dalam sebuah industri hiburan, banyak sekali yang bermain. Ketika ada seorang perempuan perfoto bugil, jangan hanya foto modelnya yang ditangkap. Melainkan yang paling utama dicari dan berat hukumannya adalah aktor intelektual dibaliknya. Begitu juga bila ada pekerja seks komersial (PSK), yang ditangkap jangan hanya perempuan penjaja seksnya melainkan juga pelanggan dan germonya. Dan yang lebih parah, selama ini negeri kita terkenal lihai membuat undang-undang dan itu diakui oleh negara lain. Namun sayang sekali, kita lemah dalam masalah penegakannya”.

Aqsa hanya terdiam, Najma melanjutkan. “Aqsa banyak sekali ketimpangan relasi perempuan dalam peradaban Islam. Sebenarnya Islam datang untuk menghapus ketidakadilan itu. Namun budaya patriarkhi yang telah mengakar, maka perlu proses yang panjang untuk merubahnya. Saya kira perlu dikaji lebih dalam hadits yang menyebutkan bila seorang istri tidak mau menyambut ajakan suami untuk jima’, maka malaikat akan mengutuknya sampai pagi. Bagiku ini akan menjadi adil bila hadits ini juga berlaku untuk suami yang menolak ajakan istri. Memangnya seks hanya milik suami, istri tidak butuh?. Sejauh yang saya ketahui dari para pakar sexsologi, hasrat perempuan lebih besar dari pada laki-laki, karena besarnya rasa malu, itu semua menjadi tersembunyi. Dalam al Qur’an disampaikan bila istri adalah ladang tempat untuk bercocok tanam. Memang benar, perempuan adalah ladangnya sedangkan laki-laki adalah benihnya. Namun bila ladang itu lagi tandus maka sebuah penindasan bila tetap di gunakan bercocok tanam”.

“Apa maksudmu dengan ladang yang lagi tandus maka sebuah penindasan bila digunakan untuk bercocok tanam?”. Tanya Aqsa.

“Bila perempuan haidh, sedang sakit atau hamil sehingga enggan untuk jima’, namun kok masih dipaksa untuk melakukan hubungan intim, maka itu sebuah penindasan dan merupakan kekerasan seksual. Perlu diketahui, biasanya kekerasan seksual akan diiringi oleh kekerasan psikologis. Dan ini juga berlaku pada seorang suami. Bila suami, sedang sakit, capek dan lain-lain sehingga enggan untuk jima’, seorang istri tidak boleh memaksa, maka diperlukan komunikasi yang intens dan efektif untuk menjembataninya. Hubungan seksual harus dilakukan sama-sama suka, sama-sama siap, dan sama-sama berakhir dengan happy ending. Tidak boleh ada sedikitpun kekerasan fisik maupun psikologis. Dan masih banyak ketimpangan itu”.

Aqsa merasa tertarik dengan pandangan-pandangan yang disampaikan Najma, “lalu apa lagi ketimpangan itu. Kok kayaknya banyak banget?”.

Najma menjawab, “kamu ini emang serius nanya atau ngetes sih?”.

Aqsa tersenyum lebar, ”masa sih aku diangap ngetes, aku ini serius ingin tahu dan sharing tentang pendapatmu. Siapa tahu kita mempunyai pendapat yang berbeda”.

”Misalkan cara membasuh air kencing anak yang masih menyusu antara laki-laki dan perempuan berbeda, laki-laki cukup diperciki air sedangkan perempuan harus dibasuh. Seharusnya ada penelitian medis dulu. Saya bisa menerima bila hasil penelitian membuktikan air seni perempuan ada suatu zat yang mempengaruhi kadar najisnya. Kemudian, istri dilarang bermuka masam di depan suami, kok enak banget. Seharusnya suami juga dilarang bermuka masam dong. Istri juga sedih bila melihat suaminya amburadul raut wajahnya, marah kek, cenberut kek. Ada lagi, perempuan bila mau puasa sunah harus izin pada suami, karena bila suami tidak tahu dan di siang hari mengajak jima’ maka dia akan kecewa. Memangnya yang kecewa hanya laki-laki. Perempuan juga akan kecewa, hasrat sudah di ubun-ubun tapi suaminya tidak mau di ajak jima’ karena puasa yang tidak meminta izin terlebuh dulu. Sekarang masalah persaksian, kenapa kalau saksinya laki-laki cukup satu orang sedangkan perempuan harus dua orang. Apa karena perempuan psikologisnya mudah berubah-ubah, tidak dapat dipercaya?. Sekarang kamu tahu sendiri, kebanyakan korupsi dilakukan oleh laki-laki, laki-laki pembohong juga banyak. Kemudia masalah waris, kenapa perempuan mendapat satu sedangkan laki-laki mendapat dua, begitu juga dalam masalah aqiqah, laki-laki dengan kambing dua sedangkan perempuan dengan satu kambing. Aqsa...mengutip apa yang disampaikan Muhammad Iqbal, selama nilai perempuan yang sesungguhnya belum dapat dipahami, maka kehidupan bangsa tetap tidak sempurna. Dan selama perempuan masih dianggap separuh laki-laki dalam urusan harta pusaka dan seperempat laki-laki dalam hal perkawinan, baik keluarga maupun negara takkan bisa diperbaiki”.

Melihat cara pandang Aqsa mengenai perempuan yang timpang, Najma mengeluarkan sebuah buku yang berjudul Amina karya Muhammad Umar, “ini ada novel, kayaknya kamu perlu membacanya. Novel ini berlatar belakang kehidupan sosial masyarakat di Nigeria. Siapa tahu kamu akan mendapatkan sudut pandang yang berbeda sehingga akan mengalami sifting paradigm[5]”.
Suasana terasa begitu hidup. Dengan terseyum Aqsa menerima buku dan berkata, “oke, buku ini akan aku baca bukan karena tertarik membacanya, tetapi karena kamu yang menawarkannya”.

                                                                                                                            ***

Dua jam kurang lebih Najma dan Asty main di kos Aqsa, mereka berdua bergegas pamit, dengan membawa komitmen hari minggu depan jam tiga sore akan mengantar Aqsa pergi ke pantai Depok di sebelah barat pantai Parangtritis. Komitmen itu Aqsa yang meminta, karena dia berniat  setelah wisuda mau pulang kampung.

Ada kesan yang menarik dalam diri Aqsa menurut pandangan Najma, cukup low profile dan bersahabat. Walaupun sedikit menyebalkan dengan pandangannya pada perempuan. Dalam diri Najma tertarik dengan gambar Che yang terpampang di dinding kamar Aqsa, dan diapun penasaran dengan buku Kahlil Gibran yang berjudul, the prophet and the broken wings yang Aqsa perlihatkan.

Najma memberi kabar lewat sms, “Aqsa, aku sudah sampai rumah dengan selamat, eh..apa kesimpulan dari buku Kahlil Gibran itu?, Dan tolong sampaikan salamku pada Che di dinding kamarmu ya. Aku berharap suatu saat aku bisa memilikinya, he..he..”.
Aqsa membalas, “Syukur alhamdulillah kalau sudah sampai dengan selamat. Salam kamu sudah aku sampaikan, dia hanya tersenyum sambil mengatakan kesimpulannya, hal terindah yang pernah aku pelajari dalam hidup adalah ketika aku mencintai dan cintaku terbalas”.

“Semua menginginkan hal yang ideal, tapi segala sesuatu ada yang menentukan. Sampaikan pada Che, kalau senyum jangan lama-lama, nanti kering mulutnya”. Balas Najma.

“Eh..Najma kalau saya perhatikan wajahmu itu mirip bintang film India lho..”. Canda Aqsa.

 Mendengar itu Najma merasa tersanjung walau hanya sedikit, “iya tho..terus kenapa emangnya?”.

 
“Mulai sekarang kamu saya panggil Anjali ya?”.

“Ok, silahkan saja tapi mulai sekarang aku panggil kamu dengan Allafsana. Adilkan?”.

“Silahkan, asal jangan kamu panggil aku Kisanak saja, he..he..Anjali, Pranoto minta bantuan kamu untuk dicarikan calon istri”.

“Lho..bukannya anak kampusmu banyak, kan tinggal tunjuk aja. Apa kamu mau aku carikan sekalian?”.
Dengan kalimat yang mantap Aqsa membalas, “eeenggak…Aku tidak mau dicarikan, aku mau mencari sendiri. Karena aku ingin ada struggle in my life.

“He..he…he…Oooooh gitu tho, Syukurlah kalau begitu, Allafsana…Aku sangat tertarik dengan gambar Che yang ada di dinding kamarmu. Kalau kamu tidak keberatan bolehkah kiranya itu kamu hadiahkan buatku?”.

“Boleh....... tetapi tidak sekarang”.

Dengan wajah yang menyungging senyum Najma membalas dan mengakhiri sms, “yaa…kutunggu rasa bosanmu, The history of free men is never written by chance but by choice, their choice. Maaf pulsa terakhir”.

Melihat ekspresi Aqsa yang begitu ceria, Pranoto mengingatkannya, “hati-hati Aqsa, nanti kalau terjadi sesuatu dihatimu baru tau rasa”.

“Santai saja Pranoto, kalau aku suka sama Najma kayaknya dunia akan kiamat, tapi kalau dia yang suka padaku itu harus, he..he..”. Jawab Aqsa dengan cengengesan.

“Tidak usah pakai sumpah serapah segala, dia mempunyai segalanya untuk dicintai oleh semua orang”, sanggah Pranoto.           

“Sudahlah, sebaiknya kamu masak nasi lalu perbaiki komputerku, sedang aku mau belanja mi instans dan mau menjilid skripsi”.

Pranoto tersenyum lebar, ”kenapa?, jatah logistik belum datang ya dari pacarmu”.

”Ah..cerewet kamu”. Aqsa bergegas pergi.

Kayaknya memang tidak mungkin Aqsa menyukai Najma. Karena memang kriteria utama orang yang bisa menjadi pacar Aqsa harus berparaskan cantik. Dan cukup sederhana ukuran cantik bagi Aqsa. Bila ada seorang perempuan dan ada sepuluh laki-laki ditanya tentang kecantikan perempuan itu, bila yang menjawab sebelas orang, maka itulah devinisi cantik bagi Aqsa. Bagaimana mungkin sepuluh orang ditanya tentang cantik kok yang menjawab sebelas, artinya fisiknya memang cantik mengagumkan, bodynyapun indah luar biasa, kulitnya putih dan mulus mengiurkan. Ternyata berbeda antara Pranoto dan Aqsa dalam mendevinisikan perempuan cantik.
 

________________________________________________________________________________________
[1] Hadits yang menempatkan posisi perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
[2] Perbedaan jenis kelamin
[3] Perbedaan gender
[4] Ketidak adilan gender
[5] Pergeseran paradigma
*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
                                  Mahasiswa Doktor di Shanghai University

0 Comments

The Killer

9/11/2019

0 Comments

 
Picture
The Killer
Oleh : Anang Masduki*
Dimintanya tangan Erna melinkar dan berpegangan kuat pada pinggang Aqsa. Laju motor yang kencang menimbulkan suara yang menderu-deru bagaikan suara gergaji mesin tatkala membelah kayu jati. Debu membumbung tinggi. Pandangan semua mahasiswa yang berada di pinggir jalan di antara bangunan megah kampus putih Jogjakarta semua tertuju padanya. Berbagai macam umpatan keluar dari mulut Aqsa. Aqsa merasa sangat kecewa karena nilai munaqosyahnya B. Dengan nilai itu otomatis indek prestasi komulatifnya (IPK) hanya tiga lebih sedikit. Rasa bingung, was-was terbentur oleh besarnya keinginan suatu saat bisa melanjutkan S2.

Beruntung siang itu kos Aqsa lagi sepi karena pada sibuk ujian tengah semester. Sedangkan pemilik kos berada di Jakarta, lagi menengok cucunya. Erna segera membuatkan kopi dan mencoba menenangkan Aqsa dengan kata-kata manis untuk mengembalikan hati kekasihnya. Tapi apa yang didapatkan oleh Erna selain bentakkan. Namun Erna cukup faham bagaimana cara menenangkan Aqsa. Malaikat yang sejak tadi enggan mendekati Aqsa karena mendengar kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya, sekarang pergi dengan membawa amarah. Marah melihat kelakuan dua anak manusia yang tak pernah menggunakan logika dan nurani. Bayangan ibu Aqsa membuyarkan semua hasrat dan memadamkan debaran jantung.

Tiga hari berselang, pagi-pagi sekali Friska datang ke kos Aqsa dengan membawa kopi susu, nasi gudeg dan sebungkus rokok. Melihat kondisi Aqsa yang masih kalut, Friska membantu kekasihnya dalam mengetik dan mengedit hasil revisian. Menjelang duhur sekripsi itu selesai diprint. Mereka berdua berangkat ke kampus. Sesampainya di kampus, ternyata ketua jurusannya belum datang. Aqsa mulai naik pitam. Namun kali ini bisa ditahannya. Ketua jurusan inilah biang keladi hancurnya nilai Aqsa. Ketua jurusan yang bernama Akhmad Rofi’I dengan gelar Magister Philosophy ini memang dosen yang sangat terkenal killer. Banyak mahasiswa yang anti pati, benci dan tak jarang di antara mereka yang mendoakan buruk padanya. Dosen yang satu ini terkenal juga sulit ditemui dan ucapannya juga suka menusuk hati. Sampai menjelang asyar tak juga dosen killer itu muncul. Merasa tak sabar Aqsa mengambil handpone lalu menghubunginya. Wajah Aqsa merah padam mendengar jawaban, “letakkan saja di meja, aku hari ini malas ke kampus”. Kontan Aqsa mengandeng tangan Friska menuju tempat parkir. Setelah puas membuat suara gaduh dengan motornya sambil jamping berkali-kali, Aqsa buru-buru menuju kos. Aqsa sadar satpam lagi menuju tempat suara motor meraung-raung. Sesampainya di kos, Aqsa langsung tidur. Adapun Friska sibuk merapikan buku dan baju yang masih berantakan milik Aqsa. Kamar itupun terlihat lebih bersih dan rapi. Sesudahnya Friska mencuci semua baju kotor milik kekasihnya. Angin malam mulai menyelimuti dan mengerakan Friska untuk pulang, namun Aqsa masih pulas. Diketiklah sebuah pesan singkat untuk Aqsa, sebelum menstater motor.

Asyar dan magrib terlewatkan tanpa ada penyesalan, menjelang isya’ Aqsa baru terbangun. Dicarinya Friska. Dia mendapati Jamal dan Maymoto  sedang asyik memainkan gitar dengan menyanyikan lagu faforit mereka, apalagi kalau bukan lagu India. Dikonfirmasinya mereka berdua, namun juga tidak mengetahui. Diambilah handpone, terlihat pangilan masuk dari Najma sebanyak lima kali. Aqsa tidak merasa heran dengan panggilan itu. Karena Najma memang sering miscall. Lalu dibacanya sms dari Friska, “sayang, sorry aku tidak pamit. Khawatir nanti menganggu istirahatmu. Besok ke kampus jam berapa?”.

Diketiknya balasan, “Oke sayang. Besok aku tidak pergi ke kampus. Aku mau maen dengan teman-teman. Pusing kepalaku”. Tak lama berselang diketik pula sms untuk Nadya, “sayang, besok jam delapan antar mas ke kampus ya…mas sayang adek dech..”. lalu diketik pula sms untuk Erna, “cantik…besok mas pulang, paling dua hari. Thanks ya..”.

Kurang lebih pukul delapan pagi keesokan harinya, Nadya sampai di kos Aqsa dengan membawa dua bungkus nasi. Sebenarnya saat itu Nadya ada ujian jam tujuh, berhubung Aqsa meminta datang maka yang terjadi adalah rasa mengalahkan logika. Aqsa terbangun tatkala merasa ada tangan lembut membelai rambutnya. Bergegas Aqsa mandi lalu mereka berdua menyantap dua bungkus nasi yang dibeli Nadya. Tepat pukul sembilan mereka sampai di depan ruangan ketua jurusan. Tak lama muncullah dosen killer itu. Dosen itupun memasuki ruang kerjanya, Aqsa mengikuti. Lama Aqsa berdiri, namun tak juga dipersilahkannya duduk. Tanpa pikir panjang Aqsa langsung duduk di kursi yang memang sudah dipersiapkan untuk mahasiswa bila melakukan konsultasi. Dengan suara yang sengaja dibuat halus dan sopan Aqsa bertanya, “bagaimana pak skripsi saya”.

“Maaf saya belum sempat baca. Skripsimu masih ada di rumah”. Ternyata kemaren ketika Aqsa pulang, dosen killer itu datang ke kampus tapi hanya sebentar. Mendengar jawaban yang ketus, Aqsa masih berusaha untuk tenang.

“Kapan ya pak saya bisa melihat hasil koreksi dari bapak?”.

“Kamu itu tidak usah cepat-cepat wisuda,”. Jawaban pak Rofi’I membuat wajah Aqsa memerah.

“Apa maksud bapak agar saya jangan-jangan cepat-cepat wisuda, padahal masih ada dua orang penguji dan pak dekan yang belum membubuhkan tanda tangan pengesahan. Sedangkan pendaftaran wisuda tinggal lima hari lagi”. Darah muda Aqsa mulai naik. Dipegangnya kaki kursinya, bila macam-macam akan dipukulnya dosen killer itu.

“Judul kamu ini perlu diganti, sehingga kamu perlu merombak skripsi”.

“Lho bukannya dulu bapak yang menyetujui judul ini saya ajukan. Dan bapak juga yang memimpin seminar proposal skripsi saya. Tidak bisa begitu dong pak”. Jawab Aqsa. Wajahnya memerah. Tangan yang menggengam kaki kursi bergetar. Namun segera Aqsa tersadar, bila dia memukul orang yang ada di depannya maka sudah pasti droup out resikonya.

“Sudahlah, pokoknya kamu tidak usah cepat-cepat wisuda”. Merasa amarah hampir meledak, Aqsa segera beranjak dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu tanpa sepatah katapun terucap. Di luar telah menunggu Nadya. Melihat Aqsa yang muram menaham marah, Nadya segera mengejarnya.
                                                                                                                      ***

Hampir satu bulan Aqsa merasa jengkel dan marah dengan dosen killer yang bernama Akhmad Rofi’i. Dosen sok pintar dan arogan. Bukan Aqsa saja yang merasa  dipersulit dalam menyelesaikan tugas akhir, tapi mahasiswa satu jurusannya juga banyak. Setiap hari Aqsa selalu datang ke kampus melihat perkembangan skripsinya. Namun tak jua kunjung ada perkembangan. Melihat kondisi yang semakin rumit, Aqsa menghubungi Ibunya. Diceritakannya semua kondisi perkembangan skripsinya lewat telpon. Didapatkannya jawaban, “sudahlah anakku, jangan sampai kamu mengajak berantem atau bertindak kasar pada dosen itu. Nanti kamu malah akan dikeluarkan. Kamu mau selesai kapan, itu terserah kamu yang penting dapat selesai”. Mendengar kalimat lembut dari ibunya, Aqsa merasa lega. Ternyata orang tuanya memahami dan tidak menuntut Aqsa agar segera selesai.

Sebenarnya keluarga Aqsa adalah keluarga baik-baik. Ibunya adalah perempuan yang sangat sabar. Walaupun hidupnya cukup sederhana, ibu Kus selalu menanamkan pada semua anaknya untuk terus sekolah. Semua anaknya tumbuh menjadi anak yang pemberani, berjiwa pemimpin, penuh percaya diri. Tidak ada satupun dari anaknya yang tumbuh menjadi anak yang suka minuman keras, mabuk atau menjadi preman. Akan tetapi ada satu anaknya yang memang punya kegemaran bermain perempuan. Siapa lagi kalau bukan Aqsa. Ibunya sampai heran, hormon macam apa yang mengisi struktur anatomi tubuhnya. Sering beliau mengingatkan Aqsa, mungkin karena naluriah seorang ibu. Dan naluri suci itu pulalah yang berjalan dibawah sadar sehingga setiap Aqsa akan merenggut mahkota perempuan, wajah beliau selalu melintas. Wajah itulah yang mencegahnya.

Sampailah pada detik akhir pendaftaran wisuda. Aqsa datang ke kampus untuk melihat skripsi. Lagi-lagi dosen itu tidak masuk. Dosen itu rupanya termasuk tipikal dosen yang malas datang ke kampus, dia lebih mementingkan bisnis yang ditekuninya. Bagaimana jadinya bila pengajar di negeri ini menjadikan guru sebagai provesi sampingan tanpa ada ketulusan?. Bisik hati Aqsa. Segera Aqsa mengambil handphone, dicarinya nomor kontak, ketua jurusannya. Namun sekali lagi jawaban yang Aqsa dapatkan masih tetap mengecewakan, “skripsimu belum aku baca”.

Selesai menelpon ketiga pacarnya, siang itu di tengah terik matahari, Aqsa menuju terminal Giwangan. Apalah artinya aku lama-lama di Jogjakarta bila hanya menunggu sesuatu yang tidak pasti. Desah Aqsa. Sengaja Aqsa pulang tidak naik motor, karena Lusi telah siap menjemput di terminal Ngawi. Mereka mengadakan janji untuk bermain di lereng gunung Lawu guna menghilangkan amarah dan kekecewaan yang telah mencapai titiik kulminasi. Dalam perjalanan, hanphone Aqsa berkali-kali mendapat pangilan. Dilihatnya seperti biasa, Najma lagi miscall. Diketiknya sms untuk Najma, “lagi ngapain Najma?. Saya lagi dalam perjalanan pulang. Saya lagi pusing dan stres. Skripsiku belum juga mendapatkan persetujuan ketua jurusan. Terpaksa aku harus menunggu wisuda empat bulan lagi. Saya mau sungkem pada ibuku”.

Membaca sms, Najma merasa ikut arus empati, “Yang sabar ya, nanti pasti kamu juga akan bisa wisuda. Jangan putus asa ya... Aqsa yang selama ini aku kenal adalah orang yang penuh percaya diri dan pantang menyerah. Kenapa kamu tidak sungkem pada Ayahmu sekalian?”.

“Ayahku sudah almarhum kok”.

“Aduh, maaf Aqsa aku tidak tahu. Kebiasaan sih.., aku bertanya tidak tahu latar belakangnya”. Jawab Najma dengan penuh rasa bersalah.

“Eh..tidak apa-apa. Santai saja, inikan telah menjadi sebuah ketetapan. Jangan merasa bersalah begitu”. Balas Aqsa mencoba menetralisir suasana.

“Ya, hati-hati di jalan. Tabahkan hatimu ya. Sampaikan salam hangatku pada ibumu”. Balas Najma.

Lusi tersenyum lebar tatkala melihat Aqsa turun dari bis di terminal Ngawi. Namun senyum itu menjadi agak kecut terpengaruh raut dan pancaran kemuraman wajah Aqsa. Lusi menarik tas Aqsa dan berkata, “ada apa sih mas, kok murung?”.
“Ini tidak murung atau sedih, aku benar-benar kecewa. Sampai sekarang aku belum mendapat tanda tangan pengesahan skripsi. Padahal pendaftaran wisuda sudah tutup”. Jawab Aqsa dengan wajah kaku sambil melangkah menuju motor yang diparkir Lusi tidak jauh.

Mereka langsung menuju arah barat. Sadar kalau Aqsa lagi sensitif Lusi sama sekali tidak lagi menanyakan perihal sekripsi. Ternyata Lusi cukup pandai pula mengalihkan perhatian pikiran pacar tercintanya. Diajaknya bicara masalah masakan, pemandangan disekeliling jalan yang mereka lalui, masalah keluarga dan rumah tangga.
Merasa puas bermain di lereng gunung Lawu, Aqsa bergegas pulang di antar Lusi. Saat Aqsa sampai rumah kebetulan ibunya baru saja pulang dari menanam padi di sawah. Berhubung waktu sudah menjelang magrib, Lusi langsung pamit pulang. Segera Aqsa mencium tangan perempuan paruh baya itu, dan perempuan itu membalas dengan mengecup kening Aqsa. Perempuan itu biasa disapa dengan Ibu Kus. Melihat pakaian Aqsa yang masih agak basah ibu Kus merasa sedikit heran, ”lee[1]..kenapa bajumu basah?”.

”Tadi habis main di sungai lereng lawu ibu....di bawah pondok Condromowo”.

Mendengar jawaban itu ibu Kus mengeleng-gelengkan kepala, dengan tetap ramah dan lembut perempuan itu berkata, ”sudah sholat asyar?”.

”Hee..he...eh lupa”.

”Ayo cepet sholat, sebentar lagi adzan magrib”.
Aqsa bergegas menuju kamar mandi. Adapun ibu Kus sibuk mengoreng kopi di dapur. Sebuah kebiasaan, jika Aqsa pulang selalu kopi yang dijadikan oleh-oleh pulang ke Jogjakarta. Dari semua putra ibu Kus, hanya Aqsa yang punya kegemaran minum kopi dan merokok.

Badan terasa lebih segar setelah mandi. Aqsa bergegas masuk kamar untuk segera menunaikan sholat asyar. Pada saat tahiyat awwal, terdengar suara adzan magrib. aqsa tidak memperdulikannya, yang penting absen, prinsipnya. Ada sedikit rasa malu sebenarnya ketika harus telat menjalankan sholat. Malu pada sosok kakak, adik dan terutama ibunya. Karena mereka tidak pernah lalei, bahkan selalu berusaha untuk menjalankannya tepat waktu dan berjama’ah.

Malam itu ibu dan anan makan bersama dengan menu spesial nasi tiwul, bithok dan sayur lodeh dengan lauk ikan asin. Mereka makan dengan menu yang sangat sederhana. Namun terasa sangat nikmat. Aqsa meminta izin untuk mengunjungi kakeknya. Kebetulan rumah Mbah Dul, lengkapnya Abdul Qodir hanya berjarak 500 meter. Aqsa terus saja menyusuri kegelapan di bawah lampu penerangan listrik. Pintu rumah masih tertutup rapat. Aqsa mengetuk beberapa kali, Mbah Dul membukakan pintu. Segera aqsa mengucap salam, mencium tangan kakeknya dan bergegas masuk. Laki-laki sepuh itu masih tampak sehat di usiannya yang menjelang 80 tahun.

”Kapan kamu sampai Aqsa?”.

”Tadi sore mbah”.

Tak lama kemudian muncul perempuan yang berusia empat puluhan tahun dari dalam kamar. Orang memangilnya Etik. Beliaulah adik bungsu dari ibu Kus, atau anak terakhir dari Mbah Dul. Aqsa segera bangkit dari kursi, menjabat dan mencium tangan buleknya.

”Wah kamu katanya sebentar lagi wisuda ya”.

”Doakan Bulek, tinggal menunggu tandatangan dosen”.

”Kamu ngobrol aja dulu dengan kakekmu, aku mau ketempat budhe Jamilah. Besok putranya akan menikah. Ibumu sudah berangkat kan?”

”Iya bulek, tadi sewaktu saya kesini Ibu belum berangkat”.

”Nanti kalau mau buat kopi, airnya ada ditermos belakang”. Kata Bulek Etik sambil melangkah menuju pintu. Sebentar kemudian lenyam tertutup gelapnya malam.

”Kemaren ibumu cerita kalau skripsimu belum juga dapat tanda tangan, bagaimana ceritannya?”.

”Itu Mbah, dosen penguji yang sekaligus ketua jurusan tidak juga memberi tandatangan. Entah apa alasannya. Namun kayaknya, itu berbedaan idiologi saja antara yang Aqsa anut dengannya”.

”Apa itu idiologi?. Pakai saja bahasa yang lumrah, biar simbahmu ini faham”.

”Pandangan akan sebuah keyakinan, pandangan hidup ataupun konsep pemahaman Mbah”.

”Oooh...masa harus masalah seperti itu di bawa-bawa. Seharusnya bukanlah tolak ukur orang terdidik itu cerdas dan kreatifitas seseorang. Ok lah kalau begitu yang sabar ya cucuku”.

”Iya mbah, kalau tidak sabar sudah dari dulu-dulu aku ajak adu jotos. Pasti menang aku lah. Dia kan sudah 50 an usiannya”. Jawab Aqsa dengan muka mengerut, pertanda serius. Adapun Mbah Dul hanya tersenyum sambil melinting tembakau untuk dirokok. ”Eh mbah, ngomong-ngomong bulek Etik kok belum menikah juga, hampir 40 kan mbah usiannya. Padahal cantik. Dia juga sudah mapan hidupnya dengan gaji yang diterimannya sebagai Guru PNS di Madrasah Tsanawiyah. Apa memang menunggu mapan atau memang tidak minat ya mbah?”.

”Simbah tidak tahu dengan sikap bulek mu itu. Dulu sewaktu masih muda banyak yang datang melamarnya. Ada yang guru, anggota dewan, dokter, polisi dan banyaklah pokoknya. Hampir segala macam profesi ada. Saat itu tinggi sekali kriteria bulekmu. Dulu almarhum ayahmu sering mencarikan dan akhir-akhir ini paman-pamanmu juga masih berusaha, entah itu teman sepekerjaan atau juga minta tolong teman untuk mencarikan. Namun semua juga ditolaknya. Macam-macam sih alasannya. Ada yang item, pendek, banyak saudarannya, rumahnya di lereng gunung dan banyak jugalah. Mungkin karena sering menolak, maka orang mau mendekati menjadi malas atau bahkan mungkin takut. Makannya kamu kalau memang sudah siap, segera saja menikah. Jangan sampai menunda-nunda. Karena, semakin orang sukses maka orang cenderung takut untuk mendekati, khawatir ditolak sebelum bicara. Apalagi perempuan”.

”Apalagi tahun depan bulek mau naik haji ya mbah”.

”Iya, itu akan membuat laki-laki semakin menciut nyalinnya. Simbah tidak tahu, sudah berapa kali simbahmu ini ngomong. Tapi tidak

juga didengarkannya. Mungkin simbahmu ini orang yang sekolah dasar saja tidak tamat, sehingga dianggap tidak berpendidikan. Kalau memberi saran tidak bijaksana. Simbah pasrah sama Yang Kuasa cucuku. Kenapa Allah tidak segera mencabut usia simbahmu ini, mungkin karena tanggungjawabnya di dunia masih. Yaitu menikahkan satu orang lagi dari sembilan anakmya simbah”. Jawab laki-laki tua itu sambil menghisap rokok hasil lintingannya sendiri.

”Simbah sendiri menikah diusia berapa?”.

”Duapuluh tahun simbah sudah menikah, sedangkan simbah putri duapuluh lima tahun”.

”Ooh..jadi lebuh tua simbah putri ya?”.

”Iyalah, dia kan janda dengan anak dua, jadi sebenarnya anak kandung simbahmu ini cuma tujuh. Makannya wajar jika simbah putri meninggal lebih dulu. Kan lebih tua lima tahun”. Aqsa mengangguk-anggukkan kepala pertanda paham. Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa hampir jam 12 malam. Aqsa segera izin, melangkah masuk kamar tengah. Kamar yang memang biasa digunakan oleh cucu mbah Dul untuk istirahat bila mereka datang.

Selama di Ngawi, tiada hari yang Aqsa lakukan selain menemani ibunya dan menghabiskan senja dengan Lusi, sang pacar penghiburnya. Entah bermain di alun-alun Ngawi, ke plaza maupun ke sawah sekedar mencari ikan. Kesenangan, kepuasan dan kegembiraan adalah ujung dari tujuan liburan Aqsa. Kurang lebih selama lima belas hari Aqsa berada di kampung halaman.
Ketika Aqsa bersama ibunya sedang sibuk di dapur, terdengar handpone Aqsa berbunyi cukup lama. Aqsa berlari, bergegas mengangkatnya. Senyum Aqsa mengembang tatkala ibu Asna selaku sekretaris jurusan mengabarkan bila skripsinya telah ditandatangani oleh pak dosen killer. Dalam hati Aqsa berucap, “memang dosen itu tidak menhendaki jika aku wisuda bulan ini”. Segera Aqsa menuju ibunya dan mengabarkan perihal skripsinya. Perempuan tua itu pun merasa bahagia. Ibu Kus berucap, “butuh biaya berapa untuk wisuda?”

“Ibu, mungkin kalau dijualkan kambing satu ya cukuplah”. Jawab Aqsa.

“Ya.. nanti kita jualkan hasil panen kemaren, karena kambing itu sudah di jual untuk biaya adikmu sekolah. Kemaren dia minta untuk bayar ujian”.

Mendengar perkataan ibunya, Aqsa terdiam. Di satu sisi ada rasa iba yang mendalam terhadap ibunya. Dan di sisi lain ada rasa bangga yang luar biasa dalam terhadap sosok perempuan paruh baya itu. Memang semenjak suaminya meninggal, ibu Kus harus menghidupi anak-anaknya dengan susah payah. Namun satu tekadnya, bahwa semua anaknya harus menempuh pendidikan yang tinggi biar sukses dan bisa bermanfaat buat sesama. ”Tenang saja ibundaku tercinta, lumbung kehidupan masih ada tiga di Jogjakarta. Sangat subur, gemuk dan siap dipanen setiap saat”. Hati Aqsa bicara untuk menghilangkan rasa ibannya.
Keesokan harinya Aqsa berangkat menuju Jogjakarta.



__________________________________________________________________________________
[1] Pangilan untuk anak laki-laki dalam bahasa Jawa
*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
                                  Mahasiswa Doktor di Shanghai University

0 Comments

Poligini

2/11/2019

0 Comments

 
Picture

Poligini

Oleh : Anang Masduki*
Malam mulai beranjak naik. Disebelah utara terlihat gunung Merapi menjulang dengan angkuhnya memantul dibawah bias sinar rembulan. Dari lerengnya angin berhembus merasuk dalam sumsum tulang. Saat itu Najma baru saja sampai di rumah setelah mengisi diskusi mengenai pemberdayaan perempuan. Diskusi itu dilaksanakan sebulan sekali bersama dengan teman-teman satu organisasi pergerakan mahasisiwa yang Najma ikuti. Saat itu tema yang diangkat adalah teologi pembebasan dalam Al Qur’an. Badannya terasa pegal namun sulit sekali mata untuk dipejamkan. Dia muali membuka tas dan menyalakan laptopnya. Dia hendak mengetik beberapa judul skripsi. Beberapa judul telah diketiknya dan rencana besok akan diajukan pada ketua jurusan. Ketika Najma sedang sibuk mempersiapkan judul yang baru diajukannya, Aqsa sudah jauh melesat. Bulan lalu Aqsa telah mengikuti seminar proposal dan sekarang Aqsa tinggal menyelesaikan bab empat yang berisi kesimpulan. Najma teringat bahwa tadi sore dia sms, berjanji untuk telpon pada Aqsa.

Tepat tengah malam Najma menghubungi Aqsa sebagaimana telah mereka berdua janjikan. Saat itu ada freetalk sampai jam 05.00. Najma membuka pembicaraan, “Aqsa, kamu sibuk ya?”.

“Enggak,emang kenapa?”.

“Walau kita belum pernah ketemu, namun kita sering melakukan komuniaksi walau hanya lewat handphon. Malam ini aku ingin bercerita kepadamu, maukah kamu mendengarkannya?, selama ini belum ada seorang laki-laki satupun yang pernah aku beri tahu”.
”Wah…dengan senang hati Najma, aku akan mendengarkannya”.

Najma memulai ceritanya, “Aku dilahirkan di Salatiga. Namun aku menamatkan sekolah dasar di Bandung. Berhubung ayahku berharap semua anaknya mengenyam pendidikan pesantren, aku melanjutkan sekolah menengah pada pondok modern di Temanggung. Di situ diri ini  merasa sangat asing dan banyak kendala yang aku lalui dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah aku tidak bisa bahasa Jawa sedangkan mata pelajaran banyak yang menggunakan bahasa Jawa. Aqsa, aku tumbuh menjadi orang yang minder dan sangat pemalu. Di sisi lain saat itu banyak laki-laki di pondok yang mengirim surat padaku pertanda suka, banyak surat itu yang tidak aku baca, bahkan langsung aku buang. Sehingga ketika aku berjalan dengan teman-teman perempuan di pondok lalu berpapasan dengan teman laki-laki maka aku selalu merunduk dan menjadikan teman perempuan yang ada di dekatku sebagai pelindung agar tidak bertatapan langsung dengan para laki-laki, walau mereka semua adalah temanku. Aku tidak tahu kenapa aku menjadi seorang yang pemalu bahkan mungkin termasuk orang yang minder. Untuk berbicara di depan publik apalagi, bahkan saat berdiskusi aku hanya menjadi pendengar setia yang sibuk mengurusi kebingungan dan keanehan yang ada dalam diriku. Dan hal yang paling membuat diriku sedih adalah aku tidak bisa mencegah adikku untuk sekolah di tempat ku sekolah. Sedih sekali rasanya, bahkan aku merasa saat itu banyak waktuku yang terbuang sia-sia karena tangis yang tidak bisa terbendung lagi”.

”Kenapa mesti sedih?, bukankah dengan adanya adikmu maka kamu punya teman”.

”Bahasa yang dipakai adalah Jawa, sedangkan aku dan adikku tidak bisa sama sekali. Kasihan dia nanti kalau seperti aku. Sulit berkomunikasi, diberi pelajaran namun susah untuk ditangkap, teman sedikit”.

Sejenak Najma terdiam, terdengar sedu yang sangat halus, yang sangat lembut. Semua memori Najma tentang masa lalunya di pondok bermunculan. Bahkan dia juga teringat saat yang paling menyedihkan. Yaitu saat ada seorang santri laki-laki yang mengintipnya berganti jilbab. Walau halus dan lembut sedu-sedan itu dapat dirasakan oleh Aqsa, dan Aqsa ikut merasa sedih terbawa oleh rangkaian emosi yang melingkupi kedua insan yang sedang telpon dengan freetalk.

Aqsa memecah keheningan di malam sepi dan sunyi yang hanya diterangi oleh rembulan yang tampak sempurna. ”Najma, kamu menangis ya?”.

Najma tidak menjawab pertanyaan itu, dia sibuk dengan punggung tanganya menyeka air mata yang terus mengalir. Pipinya basah. Aqsa merasa kebingungan, tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dicobanya untuk menghibur dengan mengalihkan perhatian, “Najma coba sekarang kamu lihat keluar, rembulan tampak cerah sekali”.

“Benarkah?”, jawab Najma dengan mencoba untuk tersenyum dan dibukalah jendela kamarnya. Aqsa dapat merasakan kalau Najma sedang tersenyum walau tidak tampak oleh mata.

 Aqsa meneruskan pertanyaan. “Najma, kalau boleh tahu, apa sih masakan kesukaan kamu?”.

“Makanan kesukaanku adalah rendang atau sejenisnyalah. Pokoknya yang banyak santannya aku suka, emang kenapa Aqsa?.

“Wah…sayang sekali ya, aku tidak bisa masak seperti apa yang kamu inginkan”.

“MasyaAllah…Aqsa..Aqsa tak kirain apa, pokoknya kalau aku yang pedas atau ada sambalnya udah cukup”.

“Kalau buah kesukaan kamu apa?”.

“Kalau buah yang paling aku suka adalah buah durian”.

“Wah lidah kamu pinter juga ya..memilih buah yang mahal dan enak”, jawab Aqsa dengan menyungging senyuman. Aqsa merasa sangat senang sekali karena telah bisa mengalihkan fokus pikiran sehingga hati Najma tidak lagi terpaku pada rasa sedih dan penyesalan seperti semula. Menjelang subuh percakapan itupun usai.

Melihat batrei handphon yang hampir habis, segera dia bangkit untuk mengambil cas. Mata Aqsa mulai memerah menahan kantuk. Sebelum terlelap, dia sempatkan mengetik, ”fajar cintaku telah merekah. Menahan malu dengan kokok ayam. Segera sandarkan embun pada wajah. Harapku jangan sekedar absen sebagai hamba. Ayo segera ambil air wudlu, cintaku”. Segera dia kirim pesan singkat itu pada keempat kekasih permaduannya. Tanda terkirim muncul di layar, bersamaan dengan menutupnya kelopak mata Aqsa.

Mulai saat itu Aqsa dan Najma sering berdiskusi tentang apa saja, baik itu masalah keagamaan, masalah kehidupan bahkan karena kepercayaan yang mulai tumbuh mereka berdua juga sering mendiskusikan dan saling berbagi tentang apasaja. Lama kelamaan persahabatan antara mereka berdua tumbuh menjadi sangat dekat, berakibat kepercayaan yang tumbuh sangat kuat, tidak ada kekhawatiran dan keraguan di antara mereka untuk menceritakan hal yang paling pribadi dan rahasia sekalipun.
 
 
                                                                                                                    ***
Beberapa hari kemudian mereka berdiskusi lagi. Dan lagi-lagi lewat telpon pada jam sama, 00.00 dini hari. Karena sama-sama masih menjadi tanggungan orangtua mungkin, bersikap hemat. ”Assalamu’alaikum, Aqsa. Belum ngantuk ya?”.

”Wassalam..eh, wa’laikumsalam...sory salah. Sengaja.he...”.

”Woo...dasar”.

”Belum...nih masih banyak yang perlu diedit skripsinya. Terutama tata bahasa dan banyak kata yang salah ketik”.

”Wah berarti aku menggangu donk....?”. jawab Najma, datar.

”Ah...enggak, malah ada yang nemenin, walau sekedar suaramu”.
”Serius nich?”.

”Bukan hanya serius, kalau boleh bahkan dua atau tiga rius..”. Aqsa kembali tertawa. Untuk berapa saat ada jeda dalam keheningan mereka. Aqsa memulai, “Najma kalau boleh tahu, menurutmu kenapa Allah menciptakan makhluk hidup?”.

“Allah berpuisi dalam hadits qudsi, kuntu kanzan makhfiyyan, fa ahbabtu an u’raf, fa khalaqtu khalqan. Kurang lebih artinya, pada mulanya Aku adalah khazanah kesunyian. Tapi tak elok rasanya Aku terjebak lama dalam kesunyian, maka Ku ciptakanlah makhluk-makhluk itu agar Aku dikenalinya”.”Kemudian, setiap makhluk itu pasti mengalami kebahagiaan dan kesedihan, apakah yang membuat dirimu bahagia di dunia ini?”. Tanya Aqsa kepada Najma.

“Yang membuat aku bahagia adalah ketika aku bisa memberi kebahagiaan kepada orang lain. Emang kenapa, kok aku rasakan pertanyaanmu agak aneh”.

Aqsa tersenyum dengan penuh kegembiraan karena ada celah dan kesempatan untuk mencari tahu bagaimana sikap perempuan.
Kebetulan saat itu sedang hangat-hangatnya kabar infotaiment di televisi bahwa seorang pengasuh pondok pesantren yang terkenal dan kharismatik baru saja melakukan poligami. “Kalau suami kamu nantinya merasa bahagia dengan berpoligami maka apakah kamu juga akan merasa bahagia?”, tanya Aqsa dengan penuh kegirangan.

”Aku tidak setuju tentang itu, yang aku maksud bahagia di sini bukan bahagianya orang yang tertindas”. Kemudian dengan penuh semangat Najma melanjutkan.

“Poligami banyak didasarkan pada Al Qur’an surah An Nisa’. Dan pada hakekatnya semua perbuatan itu adalah mubah hukumnya sebelum ada ketentuan tentang laranganya, termasuk poligami. Namun dari sejarah kita bisa mengambil kesimpulan akan hukumnya. Kita sebaiknya melihat konsep poligami secara integral, mulai asbabun nuzul sampai aplikasi pada Kanjeng Nabi Muhammad. Kalau aku melihat ayat tersebut bukan pada sisi boleh tidaknya poligami tetapi lebih pada batasan maksimal untuk poligami. Di mana pada zaman Arab jahiliyah poligami tidak hanya satu atau dua tetapi puluhan bahkan ratusan. Nah ayat tersebut merupakan batasan maksimal jumlah istri yang dipoligami, yaitu empat orang setelah zaman jahiliyah. Tapi perlu kamu ketahui, di sana ada syarat yang tidak boleh diabaikan, yaitu berlaku adil. Padahal kamu tahukan kalau manusia tidak bisa berlaku adil sebagaimana terdapat dalam Al Quran surah An Nisa’ ayat 129. Aqsa, dalam cinta sejati tidak ada tempat untuk orang ketiga”.

“Najma, bukankah orang tidak bisa dinilai adil kalau dia belum mencobanya?”. Tanya Aqsa untuk memberi legitimasi.

Sambil tersenyum kecut Najma memberi jawaban, “itu hanya apologi kamu untuk mencari sebuah pembenaran atas egoisme laki-laki. Dan perlu kamu ketahui Aqsa, bahwa tidak semuannya bisa seenaknya dicoba-coba untuk mengetahui apa hasilnya, iya kalau masih ada kesempatan sesudahnya, kalau tidak?. Contoh yang paling mudah adalah mati, begitu juga dengan sikap adil”.

“Tapi kenapa Rasulullah melakukan poligami, bukankah itu merupakan sunah, ha…ha…ha…”. Aqsa tertawa terbahak-bahak.

“Aqsa, kita harus memahami mana yang sunah dan mana yang produk budaya. Kita harus melihat latar belakang poligami Rasulullah. Ingat, Rasulullah poligami setelah Khadijah meninggal. Dari sini kita bisa melihat pada hakekatnya Nabi Muhammad berprinsip monogami. Kalaupun Nabi Muhammad berpoligami dengan janda yang sudah tua-tua bahkan ada banyak istri Nabi yang ditawarkan dulu pada sahabatnya, karena para sahabat tidak ada yang bersedia menikahinya maka baru diperistri oleh Nabi sendiri. Dan hanya Siti Aisyah, istri Nabi yang masih gadis saat dinikahinya. Jadi konteks poligami Rasulullah adalah karena kepedulian sosial bukan semata-mata libido atau nafsu belaka. Saya di sini hendak menyebut Muhammad sebagai nabi dan politikus sekaligus. ‘Politikus’ saya maknai sebagai seseorang yang harus berjuang untuk ‘dealing with possibilities’, menghadapi kenyataan konkret yang serbasarat kemungkinan-kemungkinan. Muhammad telah memperlihatkan bukan saja sebagai seorang yang melakukan reformasi moral melalui karier kenabian, tetapi juga reformasi sosial, bahkan politik dan budaya. Dan hal ini pernah dicatat oleh sejarah, dimana Ali Bin Abi Thalib meminta izin pada Rasulullah untuk berpoligami namun dilarang dengan keras. Beliau bahkan mengulangi sampai tiga kali melakukan pernyataan ketidaksetujuannya terhadap niat Ali berpoligami. Sejarah pun kembali mencatat, Ali baru menikah lagi setelah Fatimah wafat. Sebagai Rasul, tentu saja beliau sadar bahwa pembelaan terhadap anak perempuan dan penolakannya yang keras terhadap poligami akan diteladani para ayah dari umatnya. Keberatan Rasul sangat logis dan bahkan sangat manusiawi. Ayah siapa yang rela melihat anak perempuannya dimadu. Berarti di sini Rasulullah berketetapan bahwa hanya perkawinan monogami yang menjanjikan terwujudnya mawaddah wa rahmah (cinta kasih yang tak bertepi), mu'asyarah bi al-ma'ruf (kesantunan dan kesopanan), sa'adah (kebahagiaan) dan sakinah (ketenteraman dan kedamaian). Kemudian dari cara pandang budaya menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Paulo Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa.

Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri, tidak bisa melayani suami dengan baik misalkan. Sekarang aku sarankan jika mau poligami sebaiknya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah, harus menunggu istri pertama meninggal terlebih dahulu baru poligami. Itupun harus dengan janda yang tua, miskin dan banyak anaknya, maka sekarang aku rekomendasikan kepada laki-laki bila nantinya mau poligami maka silahkan berpoligami dengan janda korban bencana alam atau korban kerusuhan mei 98 yang ditinggal mati oleh suaminya, maka aku akan salut padanya”. Diikuti tawa oleh Najma. “Nah siapa yang mau berpoligami seperti itu?. Aku melihat semangat yang melatarbelakangi poligami sekarang ini bukan karena itu. Tapi lagi-lagi soal biologis!!!. Lihat saja sudah bisa dipastikan istri kedua lebih muda dari istri yang pertama dan tentunya istri yang kedua kebanyakan juga lebih cantik dan lebih menarik. Aku yakin kalau istri pertama belum tentu digauli sekali dalam satu minggu tapi istri yang muda bisa tiga kali dalam sehari. Karena itu, menejemen qalbu saja ternyata tidak cukup, harus diiringi dengan menejemen syahwat. Ini baru nafkah batin belum nafkah yang lahir. Padahal di sana ada meteri, belanja dan juga perhatian yang kesemuanya harus adil. Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi ‘hak penuh’ laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang. Semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, ‘poligami membawa berkah’, atau ‘poligami itu indah’, dan yang lebih populer adalah ‘poligami itu sunah’, capeek dech…”.

“Jadi begitu ya menurutmu?. Oke, sekarang kita beralih pada topik kepemimpinan. Menurut kamu apa makna Arrijaalu qawwaamuuna ‘ala-n-nisa?”. Aqsa berujar lirih.

“Arrijaalu qawwaamuuna ‘ala-n-nisa,  itu berlaku hanya dalam ranah domestik, laki-laki sebagai pemimpin rumah tangga. Sedangkan untuk ranah publik maka semua sama. Di mana antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam hal pendidikan, pemerintahan, pekerjaan dan tentunya sosial kultural dalam masyarakat. Dan sekalian aku jelaskan lanjutan ayat tersebut,  karena Allah telah melebihkan sebagian yang lain dari pada sebagian yang lainnya, aku yakin kamu akan menanyakannya. Kelebihan di sini adalah dibebankannya tanggung jawab kepada laki-laki untuk memberi nafkah kepada istri dan anaknya dengan penghargaan sebagai pemimpin rumah tangga. Hal ini setara dengan kewajiban yang dibebankan kepada perempuan di mana dia harus melahirkan dan menyusui. Kewajiban menjadi pemimpin keluarga ini sendiri akan gugur dengan sendirinya bila laki-laki sudah tidak mampu lagi untuk mengemban kepemimpinan itu. Misalkan sakit yang menahun, seperti pikun atau strok mungkin”. Suara Najma berapi-api.

“Terimakasih....jawabanmu menarik. Najma, kamu pingin menikahkan?”.
”Ya jelaslah...karena aku perempuan normal. Emang kenapa?”.

”Bagaimana sikap kamu bila dihadapkan pada beberapa permasalahan menjelang kamu menikah. Misalkan, bila kamu mau menikah tetapi suami kamu mengatakan dengan penuh kejujuran kalau ternyata singgasananya pernah disingahi putri mahkota. Pertama dia mengatakan sebelum menikah maka apakah kamu masih mau menerimanya?. Kedua, dia mengatakan setelah menikah?”.

“Kenapa Aqsa kamu bertanya begitu, jangan-jangan kamu sudah tidak perjaka lagi, he..he..jangan tersinggung lho, ini hanya canda. Jangan dianggap tidak serius”.

“Santai aja Najma, kalaupun aku sudah tidak perjaka cukup istriku saja yang tahu. Bodoh sekali aku bilang-bilang pada kamu. He..he..”. Mereka asyik bercanda mendendangkan dialektika yang mengalun syahdu.

“Eeehhhmmm…”. Agak lama Najma berpikir, “sekarang begini Aqsa, kalau dia mengatakan sebelum menikah dan setelah menikah asalkan dia benar-benar menyesal dan bertaubat, kemudian berjanji untuk tidak mengulangi lagi dan aku pun tidak ragu dengan janjinya maka aku akan menerimanya kembali”.

“Yang bener Najma…Sudah bekas orang lain lho. Padahal dia melakukannya dengan penuh kesadaran sedangkan di satu sisi kamu mati-matian mempertahankan mahkota kamu yang hanya akan kamu berikan dan untuk semata-mata kebahagiaan suami kamu”.

“Aqsa… semua orang mempunyai masa lalu, aku kira alangkah bijaknya kalau kita mau memaafkan dan menerimanya kembali. Bukankah itu yang diajarkan oleh agama kita”.

“Wah…wah…bagus banget”, dengan penuh canda Aqsa berusaha mengejeknya untuk melihat sejauh mana kekuatan prinsip yang dipegang Najma.

“Sekarang begini, kalau kamu telah menikah dengan seorang suami yang selama ini menunjukan semua sikap yang memang menjadi idaman kamu bahkan mungkin menjadi idaman semua perempuan. Akan tetapi pada perjalanan rumah tangga, kamu menemukan suami kamu itu berselingkuh di depan mata kamu, padahal kamu telah mempunyai seorang anak. Bagaimana sikap kamu sebagai seorang istri, apakah tetap akan menerimanya, padahal kamu telah berusaha menjadi istri yang baik, ada kesempatan berselingkuh kamu tidak mengambilnya dikarenakan besarnya cinta dan ketulusan hatimu?”.

“Tentu aku akan marah, namun sebelum itu aku akan bertanya apa latar belakangnya, apakah karena menurutnya aku sudah tidak bisa membahagiakannya, apa karena aku tidak cantik lagi, apa kerena ada sikap aku yang menurutnya tidak baik atau karena apa?”.

“Kalau semua alasan itu ada padamu?”.
“Aku menerimannya”.
“Kalau alasan itu hanya dibuat-buat”.
“Asalkan dia sungguh-sungguh bertaubat maka aku tetap menerimanya”. Jawab Najma tegas.
”He..he...bagus-bagus”.

“Biar adil sekarang giliran aku yang bertanya. Kalau kamu Aqsa, bila dihadapkan pada permasalahan yang sama dengan apa yang kau sampaikan pada aku, apa yang akan kamu lakukan?”.

“Kalau orang yang akan aku nikahi ternyata sudah tidak perawan dan dia mengatakan sebelum menikah, dia menyatakan penyesalan yang mendalam dan sungguh-sungguh berniat untuk memperbaiki diri maka aku akan menerimanya. Kalau dia mengatakan sesudah menikah maka akan aku tanyakan kenapa kok mengatakannya setelah menikah, apa takut akan aku batalkan pernikahan itu atau apa?”.

 “Kalau karena takut akan kamu batalkan?”, Tanya Najma.
“Ya…Akan aku terima bila ada pertimbangan lain”.
”Maksud pertimbangan lain?”.

 ”Maksudku pertimbangan lain adalah mungkin aku sangat cinta sekali padanya dan dia sungguh-sungguh ingin memperbaiki diri. Kalau tidak ya lebih baik mencari perempuan lain”.

”Kalau cintamu sekedar angin-anginan?”.
”Buat apa ku pertahankan”.

“Nah aku tanya lagi, bila kamu mempunyai istri, di mana istri itu kamu anggap perempuan yang paling perfect yang pernah kamu temukan, kemudian dia berpaling darimu, padahal kamu begitu dalam mencintainya, setiap langkah hidupmu dalam setiap tetesan keringat hanya kamu berikan demi melihatnya bahagia dan kamu selalu menjaga diri karena semata-mata ingin melihatnya tersenyum, tapi ternyata dia melakukan hal yang tidak sepatutnya dilakukan oleh seorang istri bila tidak dengan suaminya, dia melakukan dengan penuh kesadaran tanpa paksaan, apa Aqsa yang akan kamu lakukan?.

“Aku akan meminta kepada istriku agar dia mengambil sikap, memilih aku atau dia”.
 “Kalau memilih dia?”.
“Maka akan aku antarkan dia menuju pelaminan agar yang haram menjadi halal”.
“Kalau istrimu memilih kedua-duanya?”.
“Aku akan memilih mundur dengan teratur sebagai seorang laki-laki, karena bagiku cinta tidak sama dengan keinginan untuk memiliki”.

“Wah..wahh…hebat. Bila dia mengakui kekhilafannya dan ingin kembali padamu untuk menghimpun kembali kepingan hati yang telah tercecer, dengan penuh kesungguhan?”.

Perlahan Aqsa memejamkan mata dan menarik nafas yang dalam lalu dia mengatakan, “aku dengan senang hati menerima dia kembali dan memaafkan semua kesalahannya, namun ada syaratnya”.

“Apa syarat itu?”.
“Aku akan berpoligami”.

Najma sontak terkejut, “kenapa Aqsa kamu mau menerima dia harus dengan syarat mau dipoligami, kenapa kamu tidak memberi pilihan yang seimbang, pilihan yang kamu berikan itu bukan madu atau racun, tapi menurut aku kamu memberi pilihan racun dengan racun?”. Kata poligami adalah kata yang paling Najma benci selama ini. Karena baginya poligami adalah sebuah bentuk penindasan apapun alasannya.

“Itu bukan syarat Najma, apa dia tidak berpikir sedikitpun tentang aku ketika dia melakukan itu dengan orang yang tidak halal baginya. Aku bersungguh-sunguh mempersembahkan seluruh jiwa dan raga ini demi melihatnya tersenyum dan bahagia. Tuhan pun tidak mau diduakan. Dan kenapa dia melakukan dibelakangku, andaikan dia bilang kalau sudah tidak ada cinta lagi yang hendak disemai, maka akan aku persilahkan dia untuk menikah dengan orang yang dia cinta, karena aku sadar bahwa semua manusia berhak untuk memilih dia akan hidup dan menghimpun kebahagiaan dengan siapa”.

“Kalau dia tidak mau kamu madu, Aqsa?”. Tanya Najma dengan penuh penasaran.
 “Aku akan mempersilahkan dia memilih lelaki lain, cukup simpel bukan…he..he..he..Emang perempuan hanya dia di dunia ini. Sekarang giliranku untuk bertanya. Apa makna mahar buatmu?”.

“Kenapa kamu bertanya begitu, kamu keberatan ya memberikannya?”. Najma mencoba membaca alur pikiran Aqsa.
“Jangan salah faham Najma, selama ini aku merasa laki-laki menjadi obyek eksploitasi ekonomi”.
“Kok bisa?”. Tanya Najma.

“Maksudku, kalau nikah itu dilakukan sama-sama suka, sama-sama ikhlas dan dirasakan sama-sama enaknya kenapa laki-laki dibebankan kewajiban untuk membayar mahar?. Menurutku yang baik adalah sebaliknya. Bukankah sebuah anugerah jika perempuan telah laku”.

“Enak aja kamu bilang. Mahar dalam Al Qur’an disebut dengan sadukhatihinna nihlah atau sesuatu pemberian yang dilakukan dengan rela hati. Mahar adalah lambang kecintaan, penghormatan dan penghargaan, bukan sebuah bentuk pembelian. Dan mahar merupakan cermin kesiapan laki-laki untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Karena bersifat pencerminan maka sedikitpun jadi, selama bersifat materi. Seperti yang telah aku kakatakan tempo hari, bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga maka dia mempunyai kewajiban memberi nafkah. Sebagaimana seorang pemimpin negara, dia harus menjamin rakyatnya agar sejahtera. Mahar adalah awal dari sebuah pemberian nafkah yang dilakukan calon suami. Maka ada timbal balik antara hak istimewa yang diberikan kepada suami dengan kewajiban yang dipikulnya. Dan hak istimewa ini juga diberikan pada istri. Bila istri hamil atau menyusui maka boleh dia tidak puasa tapi harus membayar fidyah. Bahkan kalau perempuan haidh maka gugur kewajiban sholatnya. Nah, selama ini terjadi kesalahan pemahaman yang telah turun menurun. Orang banyak melihat bila mahar adalah sebuah bentuk pembelian. Karena sudah dibeli maka mau diperlakukan seperti apapun terserah yang membeli. Jahat sekali, perempuan dianggap seperti barang saja. Aqsa, hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak dengan pihak lain, bukan pula penyerahan diri seseorang kepada orang lain. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Aku masih ingat ketika kamu mengirim sms, kalau Allah menciptakan dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, dua kaki untuk berjalan, tapi kenapa Allah menciptakan satu hati untuk mencintai?. Berarti di sini perlu satu hati yang lain untuk dicintai. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini mengisyaratkan bahwa suami sendiri belum lengkap, istripun demikian. Kamu itu sering sms dengan kalimat-kalimat penuh hikmah, tetapi tidak meresapinya”.

Jawaban Najma membuat rasa ingin tahu Aqsa semakin dalam. ”Terus kapan kamu mau menempuh hidup baru?”.
”Apa maksud kamu dengan hidup baru?”. Tanya Najma untuk menggali maksud Aqsa lebih dalam.
”Ya..menikah lah...”.

“Aqsa…boleh aku mengoreksi istilah yang kamu gunakan. Karena aku kurang sepakat kalau istilah menikah diganti dengan menempuh hidup baru”.
“Ok..silahkan”.

“Aqsa…kalimat selamat menempuh hidup baru!, memang itu adalah ucapan umum untuk setiap pasangan yang baru memasuki gerbang pernikahan. Gerbang yang di amini banyak orang sebagai pintu menuju kehidupan baru yang diharapkan lebih menyenangkan. Kenapa harus baru?, haruskah kita berubah menjadi seseorang yang lain setelah memutuskan untuk hidup bersama orang lain?. Ucapan itu haruslah dikoreksi, tak harus menjadi baru dalam pengertian sikap, perilaku dan penampilan. Karena pernikahan bukanlah pengabdian, apalagi akhir dari sebuah kebebasan. Pernikahan, bagi Said Jawdat, lebih kurang sama dengan agama. Ia tidak akan tumbuh dan mekar dengan cara-cara paksaan, tidak hidup dan bersemi dari represi. Ia justru tumbuh dengan adanya perbuatan baik (ihsân). Sejarah membuktikan, para tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya dengan cara-cara  represi akan terjerembab, dan pernikahan sebagaimana keimanan atau kekufuran, selamanya tidak akan bisa dipaksa. Pernikahan adalah penyatuan dua karakter berbeda untuk bisa saling mengerti, mengasihi dan memahami perbedaan yang ada diantara keduanya. Dan bukan untuk merubah salah satunya. Apalagi dengan mahkota 'kepala rumah tangga' yang terlanjur disandang kaum pria. Tapi perempuan bukanlah cinderella yang baru bisa menikah setelah lelah mencari sepatu kacanya yang disimpan pangeran antah berantah. Sekali lagi atas nama cinta. Menikah memang harus bermaterei pemerintah dan bersegel agama, tapi yang tidak kalah penting dari semua itu harus lah ada legalisasi cinta yang tumbuh tulus di antara keduanya. Bukan intimidasi sepihak, apalagi ada label 'jual beli' di mana pihak perempuan selalu jadi subjek penderita. Zaman sudah berubah. Hidup bersama, memutuskan bersama dan saling menopang ketika badai melanda, sehingga bebanpun terbagi merata. Menyedihkan sekali melihat seseorang yang berubah setelah ditinggal oleh pasangannya. Kembali sibuk membuka cermin dirinya yang sengaja disimpan ketika hidup dengan seseorang yang menginginkannya untuk tampil dan bersikap sesuai selera pasangannya. Menyenangkan kah itu?.

Manusia adalah manusia dan tak ada seorang manusiapun yang mau diperlakukan seperti boneka. Mencintai seseorang bukan untuk merubahnya tapi membantunya untuk semakin menemukan jati dirinya. Semakin memperkuat sayap kebebasan tuk meraih impian-impiannya yang tertunda. Dan berdecak tulus saat prestasi diraih melebihi apa yang tergambar di angannya. Membantu penuh cinta dan ketulusan saat kegagalan tengah melingkari garis nasibnya. Itulah kehidupan baru yang sesungguhnya. Terakhir aku ingin menjawab pertanyaanmu, yang jelas aku tidak akan menikah dengan laki-laki penindas perempuan”.

Mendengar semua jawaban itu Aqsa bengong dan terkesima. Dia mendapatkan sebuah jawaban yang mengesankan yang belum pernah dia dapatkan. Sebuah prespektif lain yang lahir dari sudut pandang yang berbeda. Tak terasa suara adzan mulai berkumandang. ”Najma, terimakasih ya...telah mau berbagi. Tapi maaf bagaimana kalau diskusi yang menarik ini kita lanjutkan lain kali. Sekarang aku mau tidur dulu karena nanti jam delapan aku harus munaqosyah[1]”.

”Oke...eh bagaimana rasanya mau munaqosyah?”.
”Rasanya seperti orang mau menikah, he...”.
”Ah...kamu bisa aja. Kayak orang pernah menikah”.
”Hee..he...assalamu’alaikum”. Klik.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Ujian pendadaran skripsi

*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
                                 Mahasiswa Doktor di Shanghai University

0 Comments

Inlander

27/10/2019

1 Comment

 
Picture
Inlander
Oleh : Anang Masduki*
Bunga itu bertubuh mungil dengan balutan kelopak yang panjang. Memancarkan cahaya dan aura yang membuat kumbang senantiasa ingin mendekatinya, berlama-lama menungguinya hanya sekedar untuk merasakan semerbak bau harum kharisma yang dipancarkannya. Bunga itu biasa disapa Najma. Sorot matanya redup membuat setiap lelaki merasakan kedamaian bila bersamanya, namun menyimpan pemberontakan dalam jiwanya. Bibir manis tiada lepas dari suara kejujuran, rasa malu senantiasa memerahkan pipinya, perawatan rambut dia lakukan bukan dengan mengunjungi salon kecantikan melainkan dengan balutan jilbab, kesopanan adalah lambaian keserasian antara langkah kaki dan gerak tangan, tak lupa dia bersihkan muka dengan  wudlu. Sungguh sangat alami, bukan?.

Hal lain yang membedakan Najma dengan perempuan kebanyakan adalah dia bahkan tidak menyadari kalau dirinya cantik. Karena memang kecantikannya tumbuh dari dalam kesucian jiwanya dan tersembunyi dibalik intelegensinya. Kecantikan yang cenderung pada kecantikan budi pekerti yang baik dan kelembutan hati, seakan-akan setiap orang yang mengetahuinya akan berusaha menjaga kemurnian sesuatu yang sangat berharga ini dan tidak akan pernah mengulurkan tangan kearahnya agar tidak mengotori atau menghilangkan keindahannya. Najma selalu berlindung di balik kecerdasannya, kecerdasan inilah yang selalu melandasi setiap langkah yang dia ambil dan perkataan yang dia ucapkan. Bahkan kecerdasan inilah pula yang menghiasi senyumannya, sungguh dia berada di puncak kecerdasan yang selalu diimpikan oleh setiap perempuan seumurannya. Lama dia berproses untuk mencapai cakrawala ini. Tempat paling luas di mana dia mencari cakrawala yang tinggi telah ada sejak dia di sekolah. Dia sudah mampu menjadi seorang pribadi yang menonjol. Dia selalu memperhatikan penampilan, pakaian serta pilihan pembicaraan dan pergaulannya, sehingga dia selalu mendapat penghormatan di antara murid-murid yang lain. Saudara-saudara dari keluarganya mengangkatnya ke dalam golongan manusia terhormat yang tak pernah dia impikan. Najma sendiri mulai sadar dengan hal ini, dia mulai merasa dengan kecantikannya (kecerdasannya) dan daya tariknya, berpengaruh kuat bagi setiap orang-orang di sekelilingnya.

Bermuara dari itu, dia melihat cakrawala kehidupan yang dulu jauh darinya, cakrawala kebahagiaan, kemuliaan dan kekuatan sekarang telah menyatu dengan jiwanya. Sehingga dia tetap merasa mulia dengan tubuh mungil dan tidak merasa lebih buruk dari setiap perempuan yang bertubuh jangkung. Pernah suatu waktu dia berhenti di depan cermin, diperhatikannya tubuhnya. Dia perhatikan setiap bagian tubuhnya untuk memastikan bahwasannya belum ada bagian yang hilang dari kecantikannya dan belum terlukai oleh garukan tangan yang membuat itu semua pudar. Jujur, wajahnya biasa-biasa saja. Namun kepak keserasiannya dan kalimat lembut indahnya diam dalam kerupawanan yang melebihi taman firdaus. Bila telah mengenal Najma rasanya semua manusia ingin menulis puisi. "Pada kecantikan perempuan, Aku temukan kesempurnaan Tuhan”, kira-kira begitulah testimoni para mistikus muslim dalam mematrikan makna perempuan pada acuan eksistensi parennialnya. Dan tentu saja, arti batin ungkapan di atas hanya dapat diserap melalui qira’at sufistik. Sehingga tiada berlebihan jika berkata “Najma adalah  hasil kreasi alam dan dia adalah masterpiece keindahan Sang Pencipta”.
 
                                                                                                                     ***

Najma adalah anak sulung dari empat orang bersaudara, terlahir dari keluarga terhormat. Adiknya nomor dua laki-laki yang bernama Rozy, lalu yang ketiga perempuan bernama Mahmudah, adapun adiknya terakhir laki-laki dengan nama Nazar. Ibunya bernama Salamah berasal dari Salatiga dan Ayahnya bernama Abdulrahman berasal dari Jogjakarta sebelah utara, dekat lereng merapi. Aktivitas sehari-hari Pak Abdulrahman sebagai Jaksa di Republik ini yang ditugaskan di Bandung. Beliau senantiasa mengedepankan kejujuran sebagai landasan pengabdian dan menjadikan pengabdian sebagai landasan pekerjaan serta menjadikan pekerjaan sebagai siklus ibadah. Sungguh pekerjaan yang sangat mulia di tengah-tengah carut marutnya bangsa. Beruntung republik ini mempunyai aparat penegak hukum seperti Pak Abdulrahman, kalau semua penegak hukum seperti beliau, praktek jual beli hukum akan terminimalisir.

Karena terlahir dari keluarga berpendidikan dan religius, maka semua anak Pak Abdulrahman ditekankan menempuh pendidikan dasar di pondok pesantren. Begitu juga dengan Najma. Najma menempuh pondok modern di Temanggung. Pada pondok itulah Najma berteman akrab dengan Asty dan Elly. Mereka bertiga tidak pernah berpisah, bila terlihat salah satu di antara mereka maka yang lain dapat dipastikan pasti berada tidak jauh.

Semasa kecil Najma tumbuh menjadi anak yang pendiam dan sangat pemalu. Tapi dia  tergolong anak yang cerdas soal pelajaran di sekolah. Meskipun tidak selalu mendapat rangking satu tetapi lima besar dapat dipastikan dalam gengamannya.

Ketika menempuh pendidikan di pondok, banyak sekali laki-laki yang iseng dengan menggoda Najma, yang rese, dan jahil terhadapnya. Di antara mereka banyak yang mengirim surat pertanda suka. Semua itu selalu membayangi Najma sehingga muncul kekhawatiran, dan kekhawatiran itu berubah menjadi ketakutan. Bahkan ada salah satu teman laki-laki Najma yang menaruh hati sampai-sampai mengintip Najma berganti jilbab. Dari sini psikologis Najma pada titik yang paling rendah. Yang semula pemalu, pendiam karena tekanan batin maka tumbuh menjadi seorang perempuan yang minder dan cenderung takut dengan laki-laki. Jangankan berbicara di depan umum, dapat dipastikan setiap Najma berjalan dengan Asty dan Elly kemudian berpapasan dengan laki-laki maka Najma merunduk lalu bersembunyi di balik bahu Elly dan Asty sambil memegang erat tangan kedua temannya. Kalau kebetulan dia berjalan sendirian, maka akan diambil jalan memutar. Dia pun merasa tidak nyaman bila diajar oleh ustadz laki-laki.

Najma merasa sangat terasing karena kesulitannya bergaul. Mungkin satu-satunya penghibur adalah Asty dan Elly. Namun Najma merasa kedua temannya masih beruntung karena dekat dengan orang tua. Asty dan Elly berasal dari Temanggung. Sedangkan Najma jauh dengan orang tua. Hampir dipastikan setiap malam Najma selalu menangis, melihat dan merenungi dirinya sendiri, bersedih hati kemudian meratapinya. Berhubung usia yang masih belia sekali sehingga bingung bagaimana mencari solusinya, kalaupun bercerita dengan teman maka sama-sama hampa tanpa solusi. Hal ini berlanjut sampai sekolah menengah bahkan sampai memasuki bangku kuliah. Hari-hari yang dia lalui tanpa makna. Tiap jam, menit bahkan detik, kehampaan. Hanya alam yang dengan setia menemaninya dalam dunia dimensi tanpa batas. 

Lulus dari pondok, Najma berpisah dengan kedua temannya. Elly dan Asty melanjutkan kuliah di kampus putih Jogjakarta sedangkan Najma melanjutkan kuliah di Kampus Jingga. Najma mengambil jurusan Teknik Informatika. Namun mereka bertiga masih sering bermain bahkan tidak jarang menginap di rumah Najma. Itung-itung menemani Najma, karena ayah dan ibu Najma tinggal di Bandung, di tempat tugasnya. Berhubung jarak rumah Najma dengan kampusnya hanya sekitar dua puluh kilo meter, maka cukup ditempuh dengan naik motor. Adapun Asty dan Elly harus mencari tempat kos walau seminggu sekali mereka bisa pulang kampung.
Awal-awal kuliah, praktis Najma menjadi mahasiswa yang datang, duduk, absen kemudian pulang. Tak ada satupun aktivitasnya kecuali hal-hal yang berhubungan dengan pelajaran. Bermain ketempat teman juga sangat jarang karena rasa malu atau mungkin lebih tepatnya rasa minder yang terlampau besar, maka membuat pergaulan Najma menjadi terbatas.

Secara tidak sengaja suatu saat teman Najma menawarinya untuk masuk salah satu organisasi pergerakan mahasiswa. Awalnya Najma sama sekali tidak tertarik untuk mengikutinya, karena berbagai macam argumen yang disampaikan, Najma mendaftarkan diri dan tekun mengikuti latihan pengkaderan. Dalam pengkaderan semua peserta didorong untuk berani berbicara di depan umum, berdiskusi dan banyak membaca buku. Najma mulai merasa nyaman dengan keadaannya, sehingga dia termotifasi untuk berubah. Bermula dari sinilah Najma mengalami titik balik. Perlahan-lahan Najma mulai berani berbicara di depan umum walau karena dipaksa keadaan ketika pengkaderan. Suka membaca buku dan tumbuh dalam benaknya kegemaran berdiskusi. Lama-kelamaan perubahan itu berjalan dengan dinamis, akhirnya Najma berubah 180 derajat. Najma menjadi seorang aktivis perempuan yang tidak canggung lagi ketika berpapasan dengan laki-laki, bahkan sekarang kalau ada temannya laki-laki, mereka sering diajaknya berdiskusi, berdebat dan berdialektika.

Kesedihan dan cucuran air mata Najma ternyata belum reda walau telah kuliah dan aktif di organisasi pergerakan. Banyak sekali teman kuliah dan teman pergerakan yang merasa nyaman berteman dengan Najma. Ada yang sekedar menjadi teman curhat, teman berbagi dan banyak pula yang menaruh hati dan mengungkapkan perasaan pada Najma, mereka berharap mempunyai status, entah sekedar menjadi pacar atau berharap menjadi calon pendamping hidup. Akan tetapi cukup jelas prinsip Najma, berteman, bersahabat silahkan, status?, nanti dulu.

Namun dasar lelaki nekat, ada yang sampai mengatakannya sebanyak tiga kali, akan tetapi Najma tetap kokoh pada pendiriannya. Semua itu disebabkan karena Najma belum pernah sekalipun merasa suka dengan lawan jenis, apalagi belum lama keringnya rasa trauma. Pernah suatu hari Asty mengatakan, “jangan-jangan kamu ini tidak normal Najma?”. Namun Najma hanya terdiam dan bergeming dengan jawaban datar, “aku tidak tahu apa yang telah terjadi dalam hati dan pikiranku”.Tidak jarang penolakan yang diucapkan Najma berbuah kekecewaan dan kebencian pada diri laki-laki yang menaruh hati padanya. Sehingga yang semula menjadi teman diskusi di kelas dan di organisasi menjadi renggang dan mungkin tepat seperti syair sebuah lagu yang berasal dari negeri Jiran, “berpaling muka bila saling bertatap mata”, hal ini membuat Najma menjadi sedih. Kenapa ini semua harus terjadi. Dan kesedihan itu bertambah, Najma  banyak menerima teror dengan kata dan kalimat jorok yang dikirim lewat sms dikemudian hari. Kalimat-kalimat itu membuat Najma jijik, stres, binggung bercampur marah dan penasaran. Dalam waktu yang bersamaan Najma juga mendapat sms yang berisi ratusan puisi, syair, pantun dan kata-kata mutiara dari nomor lain yang juga tidak dikenalnya. Sampai-sampai Najma hampir kembali seperti dulu lagi.

Dunia terlihat seperti gugusan bayang-bayang, tercipta laksana segumpal cahaya yang terang benderang, mengitari hati dan melukis  warna-warni impian. Hidup tak bisa diraba dengan sekali baca. Bahkan berkali-kali baca pun belum ada jaminan terpahami. Ia seperti kuda yang berlari kesetanan. Atau bisa jadi mahluk kejam serupa shagol gurun. Membantai, mengerat siapa pun yang berani masuk mengintainya di padang halaman yang datar berpasir tanpa tepi.
 
                                                                                                                 ***

Kisah ini berawal ketika suatu hari di penghujung abad duapuluh dan sebentar lagi memasuki milenium ketiga. Aqsa mendengar pada salah satu kampus di kota Jogjakarta ada seorang gadis. Dia seorang aktivis yang gigih dalam memperjuangkan akan hak-hak perempuan. Aqsa pun penasaran dan terdorong untuk mendekatinnya. Dengan misi tidak lain dan tidak pula bukan untuk mencari tantangan baru dalam petualangannya selama ini. Dengan terget untuk menjadikan korban berikutnya. Sebuah niat yang sungguh jauh dari kemulyaan. Dengan salah seorang temanya yang bernama Pranoto, Aqsa datang ke kampus tersebut untuk menemui sang aktivis. Berhubung tidak ditemuinya, dia hanya sempat mendapatkan nama dan nomor telpon.

Entah, Tuhan punya rencana apa di balik ini semua. Salah satu perusahaan penyedia jasa pulsa memberi fasilitas gratis sepuluh kali sms ke operator yang sama untuk setiap mengirim sms sepuluh kali. Sms gratis tersebut hanya berlaku satu hari, untuk nomor yang berasal dari perusahaan yang sama. Sebuah kebiasaan Aqsa, ketika mendapatkan fasilitas gratis sms maka selalu digunakanya untuk mengirim puisi, syair  dan kata-kata mutiara, baik yang muncul dari idenya sendiri maupun yang berasal dari hasil kutipan buku. Entah sudah berapa ratus kali dia mengirim sms. Dan ketika mendapatkan bonus sms dia mulai mencari mangsa, maka itu kesempatan Aqsa untuk iseng ngerjain siapa saja yang berjenis kelamin perempuan. Berhubung pikiran pusing dan terkadang sumpek karena masalah skripsi. Didapatinya nama Najma sebagai targetnya. Walaupun Aqsa belum kenal ataupun melihat Najma, begitu juga sebaliknya. Aqsa terus saja mengirim sms yang berisi puisi yang dia kutip dari berbagai sumber. Sms itu diantarannya:
 “Banyak orang berpikir untuk mencari jalan kehidupan yang baik, tapi sedikit sekali orang yang berpikir jalan kematian yang baik”.
“Sahabat sejati tuch harus pintar matematika. Bisa mengalikan kegembiraan, bisa mengurangi kesedihan, bisa menambah semangat dan bisa  membagi tawa dan canda”.

 “Sahabat adalah dia yang menghampiri kita ketika seluruh dunia menjauh, bukan datang kalau sedang butuh. Karena persahabatan itu seperti tangan dan mata. Saat tangan terluka maka mata menangis. Saat mata menangis maka mata menghapusnya”.

“Inginku kirim bunga, takut ia akan layu. Ingin ku kirim senyum, takut tak dibalas. Ingin ku kirim rindu, takut hasrat tak kesampaian. Jadi, ku kurim doa agar dirimu inggat aku selalu”.

“Allah menciptakan dua mata untuk melihat, dua telinga untuk mendengar, dua kaki untuk berjalan, tapi kenapa Allah menciptakan satu hati, tidak lain kecuali untuk mencintai?. Berarti harus ada satu hati lagi untuk melengkapi”.

 “Cinta tidak pernah ada jika hati telah tiada. Cinta adalah merdeka, maka dia tetap ada walau pada hati yang terpenjara. Sebab cinta adalah kegaiban hati, maka hanya hati yang berhak memiliki cinta”.

 “Pelangi hati kesayanganku mempunyai delapan warna. Mejikuhibiniu, dan satu lagi kamu, selamat malam pelangiku”.

”Aku ragu akan ada dan tiadanya diriku, namun cintaku menyatakan aku ada. Don’t destroy yourself because of someone, there many people will love you deeply with different ways”.

Beberapa hari kemudian Aqsa menggubah puisi karya Rabi’ah al Adhawiyah, dari buku yang baru saja dia baca, “Aku mencintaimu dengan dua cinta. Yaitu cinta karena diriku dan cinta karena dirimu. Cinta akan diriku adalah keadaan di mana aku senantiasa mengingatmu. Cinta dirimu adalah keadaanku mengungkap tabir sehingga engkau kumiliki”.

Lalu dia mengirim lagi. Sekarang yang dikirimnya bukan lagi puisi tetapi pantun. “Nasi rames dari Jogja, yang dapat sms cakep juga. Buah manggis dimakan ulet, yang baca sms manis banget. Ada snoopy di dekat kingkong, I’m sorry terpaksa bohong. He..he..”.
Dikirimkanya kata-kata itu pada Najma. Sehabis dikirim tak lupa dia menuliskan puisi, syair, pantun dan kata-kata mutiara itu pada dinding kamar kosnya, dan begitu seterusnya. Sampai dinding kamar Aqsa penuh. Proses kirim-mengirim sms itu berlangsung hampir satu tahun lamanya.

Aqsa sebenarnya menyadari bahwa kata-kata yang dia dapatkan dari buku yang pernah dibaca, lalu dia kirim kepada Najma sebagai amunisi untuk meraih simpati adalah tidak baik, karena tertutupnya mata hati Aqsalah yang membuat semua kebaikan menjadi sebaliknya.
 
                                                                                                                     ***

Elly dan Asty sering menginap di rumah Najma, mereka saling bercerita dan saling berbagi tentang semua hal. Najma menceritakan rasa penasarannya selama ini. Karena beberapa bulan terakhir ini Najma selalu mendapatkan sms yang berisi beraneka ragam puisi, pantun, syair dan kata-kata jorok yang tak jelas dari siapa pengirimnya. Beberapa nomor baru silih berganti menghiasi layar handphonnya. Najma mencoba mengkonfirmasikan hal itu kepada Elly dan Asty, namun mereka berdua juga tidak tahu itu nomor handphon siapa. Sehingga bertambah penasaran hati Najma, apalagi ketika dibalas sms itu dengan pertanyaan, “maaf ini siapa, jangan-jangan salah kirim?”.

Mendapat balasan demikian, Aqsa merasa ada kesempatan untuk memberikan sebuah jawaban yang manis. Kebetulan dia baru saja membaca novel yang berjudul sebab cinta tidak harus berkata karya Akhi Dirman, “apakah bila tak bernama mawar maka mawar tak akan harum, apakah bila tidak bernama matahari maka matahari tidak akan bersinar. Maka selayak bidadari bersayap ungu, aku berikan senyumku pada semesta, agar tempatku berpijak tersenyum padaku. Maka boleh kau panggil aku apa saja asal itu atas nama cinta. InsyaAllah tidak salah kirim, namamu Najma kan?”.

Membaca balasan itu, Najma sangat terkejut. “Terima kasih pujangga, kata-katamu indah, bahasamu bagus. Namun sayang tidak seindah dan sebagus kepribadianmu. Perlu anda ketahui kalau namanya bunga kamboja harumnya jelas beda, kalau namanya bulan sinarnya semu belaka. Kenapa kita meski kucing-kucingan, kalau kamu memang gentelman, tunjukkan identitasmu”.
Begitu pedas kalimat itu terbaca, “ok. Tunjukan di mana alamat kosmu. Bukan hanya identitas yang akan kuberikan, sekalian wajahku akan aku perlihatkan”.

Najma membisu, ada rasa khawatir dalam hatinya. Khawatir yang bercampur dengan rasa penasaran. Namun dia masih keberatan menyampaikan alamat rumahnya. Kemudian dia membalas, “kamu tidak tahu ya siapa aku ini, aku adalah preman Kampus Jingga”.
“Sepreman-premannya kamu, masih tetap perempuan kan?”, balas Aqsa dengan nada mengejek.
Muncul kesan pada diri Najma bila yang sedang sms dengannya adalah seorang laki-laki yang suka mengangap rendah martabat perempuan. Rasa sebel mulai menjalar, Najma membalas, “saya tunggu sampai jam 12 malam, kalau tidak menunjukan identitas jangan pernah berharap akan aku balas smsmu”.

Aqsa tak bergeming, tetap tanpa beban  dia masih mengirim puisi setiap hari, karena memang dia juga tidak pernah mengharapkan balasan atas puisi yang dikirimnya. Hanya semata menghabiskan bonus sms, bila tidak dihabiskan dalam waktu satu hari maka akan hangus. Sukur-sukur menghabiskan bonus akhirnya mendapat bonus yang lain. Yaitu bertekuk lutut, meratap-ratap untuk mengemis demi mendapat cinta Aqsa. Namun anehnya sms Aqsa juga selalu mendapat balasan dari Najma, entah dalam bentuk perlawanan dialektika ataupun sekedar memahami karakter pribadi masing-masing.

Rasa penasaran Najma telah mencapai puncaknya seperti pohon keberatan buah, sedangkan akarnya telah rapuh karena dimakan usia. Kalau bukan karena sifat baiknya budi pekerti mungkin pohon itu sudah roboh yang tidak akan memberikan lagi buah dan mungkin akan mencelakai orang yang berteduh di bawahnya.

Waktu terus berjalan, tanpa terasa memasuki bulan ramadhan. Dengan bantuan teman sekelasnya, nomor yang mengirim sms dengan kalimat jorok itupun dapat dilacak, Najma merasa sedikit lega. Pelakunya adalah teman satu kampus dan satu organisasi dengan Najma, dia bernama Karman. Tanpa pikir panjang Najma mengajak Asty menemui Karman. Tak ada rasa takut ataupun gentar. Najma meminta klarifikasi atas semua tindakannya meneror selama ini. Ternyata Karman merasa kecewa karena Najma telah menolak cintanya.

Dunia dan manusia sebagai pioner penghuninya terkadang memang aneh. Bukankah cinta tidak bisa dipaksakan?. Terkadang memang manusia tidak menyadari kalau cinta ibarat sebiji buah yang telah diciptakan oleh Sang Maha Pecinta. Tinggal buah tersebut tumbuh di tempat yang tepat atau tidak. Namun itupun belum cukup, walau cinta tumbuh di tempat yang tepat, bila tidak dipelihara, tidak diperhatikan dan tidak dirawat dengan baik maka niscaya cinta itu lama-kelamaan akan layu kemudian mati. Satu masalah terbongkar, Najma menjadi sedikit tenang. Sekarang tinggal sms yang berisi puisi, syair, pantun yang bergaya romantis belum terungkap. Walau Najma telah menanyai hampir seluruh temannya di kampus namun tidak juga ada yang mengenali nomor tersebut.
Entah malaikat yang bernama siapa, telah meniupkan cahaya pada diri Aqsa. Ada perasaan khawatir puasanya akan sia-sia bila terus berbohong pada Najma. Aqsa memutuskan untuk mengatakan siapa sebenarnya dirinya dan berkenalan baik-baik dengan Najma. Menjelang tengah malam Aqsa menghubungi Najma, lama sekali handphon itu tidak diangkat, saat itu Najma menduga jangan-jangan itu hanya permainan, kurang kerjaan dan iseng belaka. Karena rasa penasaran yang selama ini terpendam akhirnya diangkatnya juga.

“Assalamu’alaikum....”. Sapa Aqsa dengan suara yang mantap.

“Wa’alaikum salam.....”. Jawab Najma.

“Maaf bila selama ini saya telah menganggu kamu dan telah membuat dirimu penasaran. Namaku Aqsa yang lahir dan dibesarkan di Ngawi. Sekarang masih kuliah di kampus Putih dan lagi mengerjakan skripsi. Ini aku masih di depan komputer. Sudah hilangkan rasa penasaranmu?, sekarang giliran kamu yang cerita”.

Aqsa adalah nama yang masih asing di telinga Najma, dengan rasa penasaran yang masih di ubun-ubun Najma bercerita, “ok tidak apa-apa, santai saja. Aku lahir di Salatiga dan dibesarkan di Bandung. Itu terjadi karena Ayahku ditugaskan untuk bekerja di sana”. Belum selesai Najma bercerita telpon itu telah putus, karena pulsa yang tidak mau mengerti akan kebutuhan anak manusia.

*Anang Masduki
: Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
                                 Mahasiswa Doktor di Shanghai University

1 Comment

Ilusi

18/10/2019

0 Comments

 
Picture

Ilusi

Oleh : Anang Masduki*
Hidup selalu berjalan, melewati hari demi hari yang ditandai dengan silih bergantinya malam dengan siang, selang selingnya musim panas dengan penghujan. Adakalanya hujan lebat disertai dengan badai dan kemudian mengakibatkan banjir, ketika musim kemarau tiba terkadang menyebabkan kekeringan. Begitu pula dengan kehidupan ini. Dan sifat manusia ketika musim panas mengeluh kepanasan sedangkan ketika musim penghujan datang mengeluh karena kebanjiran, mereka tidak mencoba bertanya pada diri mereka sendiri. Padahal dalam kitab yang penuh dengan hikmah disampaikan bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut karena ulah manusia itu sendiri. Ketamakan dan kerakusan manusia itulah penyebabnya. Sebagaimana pula telah disampaikan oleh Mahatma Ghandhi bahwa sesungguhnya dunia dan semua isinya dapat mencukupi seluruh kebutuhan penghuninya, akan tetapi tidak akan pernah dapat mencukupi kebutuhan walau hanya satu orang kalau orang itu rakus. Memang ada-ada saja cerita anak manusia. Kata orang-orang tua.

Malam itu, Aqsa membaringkan tubuhnya di dalam kamar setelah lelah jalan-jalan menghabiskan malam menikmati keramaian Malioboro. Tersungging senyum dari bibirnya, merenda hati yang penuh dengan kepuasan. Walau rasa lelah mendera, itu semua tertutupi oleh rasa bangga, bangga akan apa yang telah dia dapatkan, apa yang telah ia rasakan dan apa yang mungkin telah menjadi sebuah ketetapan atasnya. Dia bak seorang panglima militer yang baru memenangkan kudeta atas pemerintahan yang sah, dia seperti seorang jawara yang memenangkan sayembara dengan hadiah menjadi menantu puteri raja plus putra mahkota dengan mewarisi tahta. Tak dihiraukannya keadaan hiruk-pikuk di luar kamarnya. Anton, Jamal, Benjol dan Maymoto asik main poker untuk menghabiskan malam sambil mendengarkan lagu Kuch kuch hota hay dan tentunya satu gelas besar kopi untuk mereka atas nama kebersamaan sebagai temannya. Aqsa masih menyendiri di dalam kamarnya. Sepertinya, setiap makhluk yang merasa dirinya tampan selalu menjaga jarak.

Dicobanya, mulai menghitung berapa perempuan yang telah dia taklukkan, berapa perempuan yang telah menjadi korban atas nama ambisi, gengsi dan prestisnya. Dalam kesombongannya dia berucap “pantas bila perempuan menjadi the second person dan itulah taqdir”. Dia akan terus mencari korban, namun perlu diketahui semua yang ada di langit dan di bumi pasti akan berakhir, artinya sesombong, sebangga dan sepongah apapun pasti ada titik kulminasinya. Dan setiap amal perbuatan pasti akan mendapat balasan yang setimpal. Semua diciptakan dengan perhitungan, semua diciptakan dengan penuh keadilan dan semua diciptakan dengan keseimbangan. Ada putih dan ada hitam, ada suka dan ada duka, ada bahagia dan ada derita, ada laki-laki dan ada perempuan. Tidak ada suka bila tidak ada duka, tidak ada bahagia bila tidak ada penderitaan, tidak ada warna putih bila tidak ada warna hitam dan tidak ada jenis kelamin laki-laki bila tidak ada jenis kelamin perempuan. Semua diciptakan ada pembandingnya.

Senyuman yang memang dibuat agar senantiasa menghiasi keelokan wajahnya ditambah dengan postur tubuh yang memang ideal untuk orang Indonesia. Kulit sawo matang menambah bersemangat para perempuan memberikan stigma manis pada dirinya. Rambutnya hitam lebat, wajah ovale seperti lelaki blasteran Eropa dan Jawa, alisnya tebal, tatapannya tajam menandaskan ketegasan, kaki dan tangan bahkan dadanya lebat berbulu, hidungnya mancung. Sungguh bagaikan purnama disiang hari. Bahkan ada yang lebih parah dalam menilai ketampanan Aqsa. Walau Aqsa seorang diri tetapi banyak perempuan melihat ada dua sosok yang tampan. Yaitu Aqsa dan bayangannya. Dan mungkin pencitraan itu belum bisa mewakili seluruh isi hati para kaum Hawa dalam mencitrakan sosok seorang manusia bernama Aqsa, terlepas itu semua hanya terlintas dalam akal atau terpatri dalam hati.

Sebuah gambaran dari satu sisi di mana hanya dalam hal fisik. Pada sisi lain dia ternyata juga seorang aktivis baik intra maupun ekstra kampus. Lidahnya sangat lincah dalam membahasakan sesuatu sehingga dia merupakan orator ulung, maka tak jarang bila ada demonstrasi dia pasti selalu mendapat jatah untuk berorasi. Begitu juga ketika berada dihadapan perempuan sudah bisa dipastikan perempuan itu akan hanyut oleh deras dan berbobotnya rayuan yang terkulum di atas senyumannya. Rayuan yang menembus batas-batas keteguhan prinsip nilai bagi siapa saja yang  tidak mendasarkan hati dengan kokohnya keimanan. Tak jarang dalam hatinya sendiri tertawa, “dasar perempuan, lebih suka kalau laki-laki berbohong dari pada berperilaku jujur”.

Sering dikala sendirian dicobanya mencari-cari jawaban kenapa perempuan selalu suka dirayu, dipuji walaupun mereka tahu kalau itu semua adalah bohong. Lalu terlintas dalam pikirannya, “dikarenakan perempuan lebih pandai dalam mendengar dan merasa sebagaimana laki-laki lebih pandai bertutur dan berpikir”.

Mungkin banyak yang sepakat bahwa genealogi rayuan adalah gombal, dan semua bentuk gombal adalah hal yang dilebih-lebihkan. Hal yang dilebih-lebihkan sangat kontras dengan hal yang punya kelebihan. Jadi substansi rayuan adalah bohong. “Engkaulah perempuan tercantik di dunia, aku tidak bisa hidup tanpamu, engkaulah taman bunga yang menghiasi dinding kalbuku”, mungkin adalah kalimat biasa yang akan membuat seorang perempuan bosan bila terlalu sering mendengarnya. Akan tetapi menjadi lain bila yang mengatakan adalah Aqsa,  kalimat itu menjadi susunan kata-kata yang menyalurkan sugesti dan kekuatan alam melalui jalur nonfisika dan bebas dari hukum-hukum tentang energi mekanika yang luar biasa. Dapat dipastikan kebanyakan perempuan akan merinding bulukuduknya karena tersanjung, akan memerah pipinya karena malu-malu tapi mau, akan mengembang hatinya sehingga baju yang longgarpun terasa sempit dan akan pulang untuk bercermin sambil mengatakan, “laki-laki memang tidak pernah bohong”.

Akan tetapi ada juga perempuan yang benar-benar tangguh. Dia berpendirian, sebesar apapun badai rayuan memporak-porandakan telinganya, dia tetap akan mengatakan, tidak akan pernah menganggap serius apalagi menjadikan beban pikiran terhadap rayuan Arjuna yang turun dari langit manapun, sebelum Arjuna itu mengkhitbahnya. Setelah terjadi khitbah baru dia mempertimbangkan apakah menerima atau menolaknya. Dialah perempuan yang cerdas, punya integritas, berkepribadian, berkarakter dan perempuan yang punya prinsip. Dialah perempuan yang  qurrataa’yun.
 
                                                                                                                         ***
Saat ini ada empat perempuan yang menjadi kekasih laki-laki flamboyan itu. Dulu, banyak sekali. Kekasih Aqsa tiga berada di Jogjakarta dan yang satu ada di kampung halamannya. Dari tiga yang ada di Jogjakarta, mereka adalah Erna yang sedang menempuh kuliah pada fakultas kedokteran di kampus biru, kemudian yang satunya adalah Friska, dia kuliah di fakultas hukum kampus hijau dan terakhir bernama Nadya, dia adalah teman satu kelas Aqsa. Adapun yang di kampung halaman bernama Lusi. Dari kesemua pacar Aqsa memang mempunyai karakter yang berbeda-beda, namun ada satu kesamaan di antara mereka yaitu sama-sama cantik.

Sudah menjadi rutinitas dan merupakan sebuah kesepakatan kalau setiap hari senin dan kamis waktu Aqsa untuk Nadya, sedangkan selasa dan jum’at untuk Erna, adapun hari rabu dan sabtu untuk Friska. Itu jadwal yang ideal untuk membagi waktu buat ketiga pacar penghiburnya. Kesepakatan itu ada memang untuk dilangar. Mungkin itu tepat untuk mengambarkan mereka. Karena, pada kenyataan tidak jarang di antara ketiganya meminta waktu yang bersamaan untuk keluar buat sekedar main atau ngabuburit ketika menjelang buka puasa. Tapi bukan Aqsa namanya kalau tidak bisa menyatukan ketiga-tiganya. Untuk Lusi disediakan waktu khusus bila pulang kampung saja. Aqsa dan Lusi menjalin komunikasi dengan sms dan sesekali lewat telpon itupun bila ada gratisan.

Sungguh kasihan bila ada orang yang dapat mengetahui apa yang terkandung di dalam hati Aqsa dan keempat kekasihnya. Suatu hal yang sangat ironis dan kontras.  Friska, Nadya, Erna dan Lusi di mana mereka sungguh sangat besar dalam menaruh harapan, tetapi di lain pihak, jauh berada di dalam lubuk hati Aqsa terdapat kepalsuan dan kebahagiaan semu yang sewaktu-waktu dapat menjadi lava panas yang tanpa melihat siapa, di mana dan kapan untuk menerjang semuanya. Lava yang siap melapukkan tulang dan meleburkan hati yang menilai sesuatu hanya berdasar apa yang terlihat. Sungguh pandai Aqsa berpura-pura. Baginya perempuan itu sama saja, sama-sama menjadi permainan laki-laki dan yang manapun boleh dipermainkan, sehingga tidak pernah ada perasaan kasih dan sayang, apalagi cinta.

Menurut Buya Hamka sungguh kontras filosofis cinta antara laki-laki dan perempuan, tetapi ini bukan cinta yang penuh kepura-puraan tentunya, melainkan cinta yang suci dan sejati. Bila seorang lelaki telah mencintai seorang perempuan maka apabila ada orang lain yang meliriknya, yang menkagumi kecantikkanya, memuji kabaikannya maka orang laki-laki itu akan sangat marah karena besarnya rasa cemburu. Tetapi kalau ada orang yang mengatakan bahwa perempuan yang dicintai itu jelek, dan banyak mempunyai kekurangan, maka laki-laki akan merasa senang karena bagi laki-laki perempuan itu adalah miliknya dan tak seorangpun boleh melirik, menyentuh apalagi memilikinya. Sedangkan bagi perempuan, bila ada perempuan lain yang mengatakan kalau pasangannya bodoh, buruk parasnya dan miskin maka dia akan marah dan kecewa, tetapi bila banyak perempuan lain yang memuji pasangannya maka dia akan bangga dengan sebangga-bangganya. Karena cinta bagi perempuan ibarat memiliki emas dan berlian atau pun intan permata yang cenderung diperlihatkan, bila semakin banyak orang yang memuji dan mengaguminya maka dia akan semakin bangga. Disinilah posisi cinta Aqsa. Aqsa memposisikan cintannya seperti memiliki intan permata untuk dia perlihatkan, pamerkan, banggakan dan dia sombongkan karena memang semua perempuan yang menjadi kekasihnya mempunyai kelebihan, baik kelebihan materi maupun fisik. Dalam ruang prestisnya, perempuan harus dapat memuaskan, mendatangkan pujian dan mampu menjadi lumbung ekonomi saat kelaparan.

Perlakuan dan sikap Aqsa terhadap perempuan seperti itu bukan tanpa sejarah yang melatar belakanginya. Sejak kecil Aqsa memang mempunyai wajah imut. Sehingga selalu terlihat mengemaskan, menyenangkan dan lucu. Tentu banyak para remaja putri atau ibu-ibu tetangga suka mengajaknya bermain, mengendong atau memberi oleh-oleh dan mainan agar bisa mencium atau mencubitnya. Mulai menginjak bangku sekolah menengah pertama di mana anak-anak seusianya mulai mengenal apa yang mereka sebut sebagai pacaran, Aqsa merasa sangat asing dengan kalimat tersebut, apalagi merasakannya. Hal ini terjadi karena sikap lemah gemulai, nada bicara yang lembut, pakaian selalu rapi, lebih banyak bergaul dengan teman perempuan sehingga semua temannya menyebutnya hermaprodyt, laki-laki tidak normal, banci, waria, remaja tak gaul, ”katrok”. Dengan stereotip dan ejekan yang bertubi-tubi inilah Aqsa menapaki titik puncak psikologis. Aqsa marah, benci dan bertekad untuk berubah. Hal itu terjadi sampai memasuki bangku di sekolah menengah atas. Saat itu, dia melihat, jika ingin disebut laki-laki sejati, maka harus mempunyai badan yang kekar, wajah yang garang, tegap saat berjalan dan harus punya sikap pemberani. Untuk mewujudkan hal itu semua sampai-sampai Aqsa merelakan waktu dan menguras uang sakunya guna fitnes di pusat kebugaran. Aqsa merubah penampilan menjadi laki-laki yang urakan, sering bolos, nakal, telinga dan lidah ditindik serta suka berkelahi. Memang penampilan barunya ini merubah stereotip yang melekat pada Aqsa selama ini. Namun stereotip itu terlalu berlebihan, karena sekarang perempuan justru takut dengan perilaku, sikap dan karakter Aqsa yang cenderung frontal, berlebihan tanpa kontrol. Ejekan semua kawannya ketika malam minggu ”kok tidak apel, bujang lapuk”, membuat panas kuping Aqsa dan hatinya serasa terpanggang ditengah terik matahari gurun sahara. Panas dan begitu menyakitkan kiranya. Hal ini berlanjut hingga Aqsa memasuki bangku kuliah.

Saat menemukan dunia baru di bangku kuliah, Aqsa merasa juga harus merubah semua sikap dan perilakunya untuk menemukan hal yang selama ini dia dambakan. Masuklah dia dalam sebuah organisasi pergerakan mahasiswa baik intra maupun ekstra di kampusnya. Di sana dia mulai belajar manajemen kepemimpinan, manajemen aksi, analisis sosial, teori sosial dan politik, belajar berorasi dan juga belajar diplomasi. Karena dia mencoba mempelajari berbagai disiplin ilmu tentu yang dia dapatkan tidak maksimal atau dengan kata lain hanya setengah-setengah. Namun itu cukup untuk menjadi modal awal. Perlahan-lahan sikap dan perilakunya selama ini mulai berubah. Tuturkatanya menjadi teratur, terarah dan sistematis. Dia sedikit-demi sedikit tahu bagaimana harus menempatkan diri di depan orang untuk lobi-lobi demi mendapatkan jabatan di kelas ataupun kampus. Dia mulai membuka pergaulan seluas-luasnya tidak hanya dengan internal kampus melainkan juga di luar kampus. Berubahnya perilaku itu pulalah yang ternyata memunculkan harapan yang selama ini menjadi mimpinya. Prestis dia dapatkan, yang berujung pada terpilihnya Aqsa sebagai Ketua Senat Mahasiswa dan dikagumi banyak perempuan yang akhirnya mampu mengobati kekekecewaan dan amarahnya selama ini. Kesuksesan bagi Aqsa sekarang indikatornya cukup sederhana, yaitu sukses dalam politik dan dalam percintaan.
 
                                                                                                               ***
Pernah pada suatu sore, Aqsa dan teman-teman kos sebagaimana biasa selalu menghabiskan waktu dengan bermain futsal di halaman. Berhubung hujan tak jua kunjung reda, mereka menghabiskan waktu dengan minum kopi sambil main gitar di serambi kos lantai atas. Jamal adalah yang paling jago main gitar, namun suaranya justru yang paling jelek. Saat asyiknya Jamal memamerkan kemampuannya, Anton berujar, “Aqsa, kita-kita di sini kan jomblo semua kecuali kamu, kalau merasa menjadi teman yang baik tolong ya dibagi pacarnya. Masa yang lain belum dapat kamu sudah mengantongi empat. Dasar kamu memang rakus”.

“Dengar Ton, aku sih mau saja membaginya, tapi sekarang yang menjadi masalah adalah mau nggak mereka sama kalian?. Dan kenapa kok jumlahnya empat?, karena batas poligami itu adalah empat”. Jawab Aqsa sambil tertawa penuh kebanggaan.

Mendengar percakapan yang menarik, Jamal menghentikan memetik senar gitar. Dia ikut nimbrung obrolan dengan berkata, “Aqsa, apakah kamu tidak merasa kasihan memanfaatkan mereka?”.

Aqsa terkejut, “apa maksudmu dengan memanfaatkan mereka?”.

“Mereka selalu menyediakan semua kebutuhanmu, mulai kuliah, logistik makanmu, merawatmu ketika sakit, mereka tak segan-segan mengeluarkan uang untuk biaya kuliahmu jika kamu telat kiriman dan bahkan mungkin juga kepuasan akan hasratmu. Kamu tidak hanya merusak hatinya tapi juga fisiknya. Aku yakin suatu saat kamu pasti memutusnya. Karena melihat pengalamanmu selama ini yang selalu berganti-ganti pacar. Dan kamu bilang berkali-kali kalau kamu sama sekali tidak menaruh hati padanya”. Papar Maymoto.

Merasa terpojok Aqsa mencoba menyanggah, “kita bahas dulu masalah memanfaatkan, kawan mata rantai kehidupan tiada terlepas dari momentum. Dalam konteks mencari pasangan, usia sangat dominan mempengaruhi idialisme. Dimana usia 20-27 itu dalam memilih yang dilihat adalah ’siapa saya’, usia 28-35 ’siapa dia’, usia 36 ke atas adalah ’siapa saja’. Kita ini masuk pada level pertama dan itu wajar bila kita bebas memilih sesuka kita. Iniloh siapa saya!!”. Suara Aqsa meninggi sambil berdiri dan menepuk dada. ”Bila masuk level kedua, kita harus agak menurunkan idialisme itu, siapa sih orang yang kita bidik, bagaimana kualitasnya, a, b, c semua kita fokuskan untuk mengukur dan menilai dia. Baru berpikir apakah kita mampu mengapai atau tidak. Kalau sudah masuk pada level ketiga, maka bila mencari pasangan itu sudahlah yang penting berbeda jenis kelamin sajalah, asal perempuan. Tapi ya jangan lantas kerbau, sapi, kambing atau bahkan ayam asal betina menjadi sasaran kawan....”. Diiringi oleh tawa Aqsa.

”Tapi tetap sajakan semua berujung pada perusakan, entah fisik atau kejiwaan”. Anton menghentikan tawa Aqsa.

”Oh...sory, kelupaan. Kemudian ketahui kawan, bahwa perempuan tercipta dari bagian laki-laki, dia hadir untuk melengkapi kehidupan laki-laki dan perempuan ada untuk membahagiakan laki-laki. Jadi kalau tugas perempuan untuk melayani para laki-laki itu kodrat. Aku tidak bisa membayangkan betapa mudahnya bila empat perempuan mengurus satu suami. Ada yang masak, ada yang mengurus anak, ada yang mencuci dan ada satu yang mijitin suami. Sangat meringankan perempuan bukan?. Adapun mereka mengeluarkan apa yang mereka miliki untukku, itu biar dia belajar untuk berkorban, merawat, memperhatikan dan mengabdi agar menjadi istri yang baik. Bukankah perempuan seperti itu tugasnya?, menyenangkan suami. Kalau dia nanti akan sakit hati bila aku putus, biarlah itu menjadi pengalaman bagi mereka. Manusia itu menurutku perlu belajar sakit hati juga, biar tahan banting. Namun perlu kamu ketahui Maymoto, aku memang telah melihat apa yang seharusnya tidak aku lihat, namun menjaga agar air suci itu tidak jatuh pada tempat yang tidak halal adalah jihad bagiku. Kamu tidak adil jika memposisikan aku pada posisi yang selalu salah, karena kenikmatan itu juga mereka rasakan, bahkan mereka inginkan. Kanapa sih kalian ini, mereka saja tidak mempermasalahkan kok kamu yang sewot, iri ya?”.

“Tidak, kita tidak iri. Kita sayang sama kamu, maka kita mengingatkanmu”. Jawab Benjol dengan wajah datar.

“Enggak.....aku nggak mau kamu sayangi, emang kita homo apa?. Eh.....perempuan itu harus tunduk dan patuh pada suami.

Perempuan harus pandai memasak, bersolek dan pandai mengurus anak dan suami. Maka ketika kalian melihat pacarku memasak, merawatku ketika sakit itu jangan terkejut. Semua aku lakukan agar mereka belajar untuk membahagiakan suaminya nanti. Bukankah baik dan begitu mulia niatku?. He..he..he..”.

“Baik apanya, itu menjadikan budak tahu?”. Jawab Jamal dengan raut muka penuh tendensi.

Melihat raut muka Jamal yang kelam karena berpadunya rasa kecewa dan cemburu, membuat Pranoto tak kuasa menahan tawa yang mengelitik di dada. Jamal adalah teman kos mereka yang sudah berkali-kali mengatakan cintanya pada beberapa perempuan, baik yang dia kenal karena teman satu kampus atau teman yang memang sengaja diperkenalkan oleh Anton, Maymoto, maupun Aqsa sendiri. Berhubung sikap kaku, wajah yang garang bak seorang panglima perang, yang terjadi semua perempuan memilih menjaga jarak terlebih dahulu. Singkat kata, Jamal sudah dipaksa menyerah sebelum pertandingan yang sebenarnya dimulai. Dengan sikap sempurna, mau tidak mau dia harus mundur dengan teratur.

Sikap Jamal seperti itu merupakan kesalahan dirinya dalam menafsirkan semua nasehat Aqsa ketika memberi pelajaran bagaimana cara menaklukkan hati perempuan. Tips itu Aqsa peroleh dari internet ketika awal-awal memasuki bangku kuliah. Dan dengan tips inilah Aqsa memperdaya hati perempuan, semaunya dan secara sporadis. Sederhana tips yang disampaikan Aqsa dalam menaklukan perempuan. Pertama, Jujur dan gentle. Yaitu begitu bertemu dengan seorang perempuan yang sesuai dengan apa yang diidam-idamkan, maka tunjukan bahwa engkau adalah pria jujur, sopan, sekaligus charming. Perlu ditunjukkan juga kalau sangat antusias untuk mendengarkan bila perempuan bercerita. Kedua, Jangan terlalu banyak menilai. Semua orang tahu, tidak ada manusia yang sempurna atau nobody’s perfect. Dan siapa yang nggak jengkel kalau dinilai-nilai terus, apalagi bila dibanding-bandingkan dengan perempuan lain, bisa-bisa si perempuan yang menjadi target malah menjauh. Ketiga, Jangan mengikat. Laki-laki boleh saja menyukainya, sekaligus berharap perempuan akan membalas tentunya. Tapi bukan lantas harus mengekang atau mengikatnya. Beri perempuan ruang gerak. Maksudnya, jangan keseringan menyorongkan diri di sekitar dia. Biarkan dia menebak-nebak, sedang dimana, sedang melakukan apa dan sama siapa. Asal tahu saja, ketidakhadiran seorang laki-laki itu, justru bisa menumbuhkan kerinduan dalam diri perempuan. Keempat, Willing. Saat perempuan bercerita sesuatu, seorang laki-laki harus menunjukan kesan bahwa dia tertarik dan antusias mendengarkan ceritanya. Harus ditunjukkan pula bersedia mendengarkan keluhan dan curahan hatinya. Entah cerita biasa-biasa saja atau masalah keluarga, pekerjaan, hobi, sampai mimpi-mimpinya. Jangan lupa untuk menanggapi cerita-ceritanya dengan pendapat yang brilian, tanpa terkesan menggurui. Kelima, Banyak senyum. Sudah jadi rahasia umum kalau senyuman itu merupakan salah satu senjata ampuh untuk menebar pesona. Pun, kata para ahli, tersenyum itu merupakan refleksi diri seseorang yang punya pemikiran positif. Nah, kalau laki-laki memang gemar tersenyum, maka tularkan kebiasaan tersebut ke perempuan yang ditaksir. Caranya?, bikin dia tersenyum lewat joke-joke yang dilontarkan. Tapi harus diingat, don’t be selfish. Jangan cuma yang ditaksir, yang menaksirpun harus bisa tersenyum, dan akan lebih baik jika bisa membuat teman-temannya bahkan juga keluarganya untuk tersenyum. Coba saja lihat hasilnya. Apalagi survei membuktikan kalau 9 dari 10 wanita lebih menyukai cowok yang punya selera humor tinggi. Keenam, Jadilah yang terbaik. Menjadi yang terbaik, bukan lantas harus melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mampu dilakukan. Jangan memaksakan diri, to be the best doesn’t mean have to do metters that can’t be done saja. Seorang laki-laki pasti tahu apa yang digemari para perempuan. Dengan tampil bersih, harum, nafas segar, dan nggak terlalu berantakan, perempuan pasti banyak yang melirik. Ketuju, Jangan mengejar duluan. Laki-laki harus mencoba untuk menahan keinginan melancarkan aksi terlebih dahulu. Harus agak sabar, boleh saja menelepon, tapi jangan terlalu sering, selusin kali dalam sehari misalnya. Diusahakan juga untuk tidak sering-sering mengirim SMS atau e-mail yang isinya penuh dengan bullshit. Seperlunya saja, tapi diusahakan agar isi pembicaraan cukup bermakna dan membuat dia terpesona. Delapan, Jual mahal sedikit. Yang ini merupakan lanjutan atau bentuk lain dari nasihat yang melarang laki-laki untuk mengejar perempuan duluan. Meskipun mungkin si perempuan tahu betul bahwa si laki-laki sebenarnya ngebet dan “tergila-gila” dengannya, coba kukuh untuk tidak melayani apa maunya. Pura-pura cuek kalau sedang di dekatnya. Sembilan, biarkan perempuan menebak-nebak. Perlu diketahui bahwa, mahluk yang namanya perempuan itu gemar akan sesuatu yang bersifat misterius. Itulah kenapa banyak perempuan yang menjadi pengarang cerita-cerita berbumbu petualangan dan misteri, seperti Agatha Christie atau Enid Blyton. Bikin dia seperti itu. Caranya adalah jangan sekali-kali langsung membuka diri. Beri perempuan sedikit demi sedikit saja tentang siapa sebenarnya si laki-laki. Soalnya, kalau langsung membuka diri bisa-bisa dia akan bosan dan bilang “sudah nggak ada tantangan lagi”. Makanya biarkan rasa ingin tahunya terus tumbuh dan berkembang. Dengan begitu, dia pun akan selalu berharap untuk mengenal lagi, lagi dan lagi. Terakhir, Jangan sok akrab. Tidak sedikit laki-laki yang bertanya-tanya, kenapa para perempuan lebih memilih menjadi sahabat ketimbang menjadi kekasih. Salah satu jawabannya adalah, perempuan mungkin merasa hubungan dengan laki-laki sudah kelewat dekat, sehingga lebih enak untuk dijadikan teman. Nah, bila laki-laki benar-benar suka sama perempuan, sebaiknya jangan dulu sok akrab. Dan sebagai kata-kata pamungkas Aqsa menutup teorinya, ”bila seorang laki-laki ketika berhadapan dengan perempuan harus berani menatap matannya, menyuarakan maksud hati dengan lantang, tunjukan sikap yang tegas dan wajah harus terlihat seperti Gajah Mada. Jika perempuan sudah diraih hatinya, laki-laki mau melakukan apapun, dia pasti pasrah”.

Sikap Jamal sangat berbeda dengan Benjol, akan tetapi kesimpulannya sama. Sama-sama berakhir dengan penolakan. Benjol sangat agresif dalam mengambil pendekatan, cenderung berlebihan dan yang paling parah dia tidak bisa mengontrol ucapannya. Kalimat yang saru[1], rasa sombong dan sikap ’GR’ yang berlebihan, ganjen didukung penampilan yang urakan melekat pada sosok Benjol. Jelas, yang terjadi perempuan merasa jijik dan canggung berteman dengannya.

Kelihatannya Aqsa harus membutuhkan waktu yang cukup lama guna mengajarkan peletnya[2] pada Jamal dan Benjol. Berbeda dengan Anton dan Maymoto. Walau mereka berdua tergolong masih saudara dan berasal dari kampung yang sama pula, yaitu kecamatan Majenang kabupaten Cilacap. Akan tetapi berbeda urusannya dalam soal percintaan. Mereka mencintai orang yang sama dan senantiasa bersaing dengan ketat dan sportif. Persaingan ini cukup seimbang. Yang terjadi sang perempuan senantiasa dirundung kebingungan untuk menetapkan sebuah pilihan.

Beda pula cerita mereka semua bila yang menjadi perbandingan adalah Pranoto. Dia lebih suka memposisikan diri bak seorang brahmana atau mahaguru, bahkan resi yang berpandangan haram dalam urusan pacaran. Namun entah kenapa setiap ucapannya untuk memberi pencerahan pada semua muridnya di komplek rumah kos itu belum menyentuh ke dalam lubuk hati.

_____________________________________________________________________
[1] Saru berasal dari bahasa Jawa, yang berarti jorok

[2] Pelet berasal dari bahasa Jawa, yang berarti guna-guna.
_____________________________________________________________________
*Anang Masduki : Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
                                 Mahasiswa Doktor di Shanghai University

0 Comments
    Picture

    KARYA FIKSI

    Berisi hasil karya dan tulisan tentang karya fiksi, baik berupa Cerpen maupun Novel

    Categories

    All

    RSS Feed

    Archives

    December 2019
    November 2019
    October 2019

BERANDA
BERITA     
WAWASAN
  

REPORTASE NETIZEN
​OPINI NETIZEN
AGENDA
GALERI
POLING ARTIKEL FAVORITE
Flag Counter
Picture
​

PCIM TIONGKOK
kabarmutiongkok.org
Di Dukung Oleh BPTI UHAMKA